Tak Ada Cinta Abadi di Dunia: Bagian ketiga dari kumpulan Puisi Imam Syafii
Oleh: Alif Sarifudin Ahmad
Berbuat baik kepada yang membencimu itu seperti para pejuang yang berperang di medan laga, kalau tidak waspada dalam menyikapinya kita bisa hancur atau binasa. Sebaliknya apabila kita niatkan dengan ikhlas, menyayangi sesama, dan dakwah, orang yang membenci kita akan simpati dan menjadi sahabat dunia akhirat. Berbuat baik kepada pembencimu seperti kita menyukai orang yang tidak menyukaimu yang perjuangannya tidak mudah. Itulah risiko dari dakwah dalam menebar kebaikan. Begitu kita-kira ungkapan tentang sebuah cinta di dunia ini dalam aktifitas kita sehari-hari termasuk dalam berkhidmat di sebuah persyarikatan. Para pembaca yang budiman, kembali penulis hadir untuk melanjutkan tulisan sebelumnya, mudah-mudahan para pembaca berkenan menikmatinya untuk saling berbagi dalam dakwah literasi sebagai bagian dari perjuangan dan dakwah.
Imam Syafii melanjutkan puisinya dengan larik-larik sebagai berikut.
وَرِزقُكَ لَيسَ يُنقِصُهُ التَأَنّي
وَلَيسَ يَزيدُ في الرِزقِ العَناءُ
Bagian rezekimu tidak akan berkurang hanya karena sifat tenang dan tidak tergesa-gesa,
Tidak pula rezekimu itu bertambah dengan ambisi dan keletihan dalam bekerja.
Rezeki itu sudah disiapkan oleh Allah SWT untuk seluruh makhluk ciptaan Allah. Kasih sayang Allah akan diberikan kepada makhluk di dunia ini khususnya kita sebagai manusia, terlepas apakah manusia itu beriman atau tidak beriman semua akan mendapat jatah rezeki masing-masing. Allah mempunyai nama yang baik atau Asmaul Husna yaitu zat yang memberikan rezeki atau “Ar-Razzaq”. “Ar-Razzaq” berarti maha pemberi rezeki kepada makhluk-Nya tanpa pernah berhenti hingga sang penerima rezeki meninggal dunia. Bahkan seandainya hamba penerima rezeki itu tidak bersyukur (kufur nikmat), karena Allah mempunyai asma Ar-Razzaq tetap terus memberikan rezeki.
Dalam Al-Qur’ran, sifat Allah “ar-Razzaq” hanya tertulis satu kali saja, yakni dalam surah Adz-Dzariyat ayat 58. Sementara kata “Ar-Raziq” (Raziqin), terdapat dalam enam ayat, seperti dalam surah Al-Maidah ayat 114, surah al-Hajj ayat 58, dan surah Al-Mukminun ayat 72.
Dalam surat Adz-Dzariyat ayat 58 itu Allah SWT telah mengabadikan namanya sebagai satu-satunya Al-khalik yang maha pemberi rezeki. Karena itu dalam bab sifat kematian yang ada pada seorang makhluk, kematian manusia karena memang rezekinya di dunia sudah selesai dan habis.
إِنَّ ٱللَّهَ هُوَ ٱلرَّزَّاقُ ذُو ٱلۡقُوَّةِ ٱلۡمَتِینُ
“Sesungguhnya Allah, Dialah ar-Razzaq Yang mempunyai Kekuatan lagi Sangat Kokoh”.
Kita sebagai orang yang beriman harus yakin bahwa rezeki itu dari Allah SWT. Kadang kesombongan kita muncul manakala sehat, kuat dan diberi kesempatan untuk menjadi orang yang mampu atau kaya. Dianggapnya bahwa rezeki itu karena dicari dengan sungguh-sungguh sampai melupakan waktu. Kita tidak menyadari bahwa saat kita tidak mampu seperti anak-anak, saat sakit, lemah dan tak berdaya, rezeki dari Allah itu tetap akan mengalirnya dengan deras. Saat kita berada di rahim ibu misalnya, rezeki itu datang dari Allah dengan derasnya, bahkan sampai kita menjadi mahasiswa ketika belum bekerja, rezeki pun datang dari Allah SWT dengan wasilah orang tua atau orang lain. Itulah pesan yang disampaikan oleh Imam Syafii tentang rezeki pada puisi di atas.
Rezeki itu sudah ada catatan dalam lauhul mahfudz sehingga kita sebagai makhluk Allah tugasnya adalah ikhtiar saja. Imam Syafii mengingatkan dengan kalimatnya yang indah,
Bagian rezekimu tidak akan berkurang hanya karena sifat tenang dan tidak tergesa-gesa
Tidak pula rezekimu itu bertambah dengan ambisi dan keletihan dalam bekerja
Dua larik puisi ini mengandung pesan bahwa ketenangan, ketergesa-gesaan, ambisi, dan keletihan dalam bekerja itu hanya romantika dalam berikhtiar. Hakikatnya Allah SWT yang memberikan kita hajat selama hidup. Sungguh kalimat yang mengadung pesan sangat dalam agar kita tidak menuhankan dunia. Dari bangun tidur sampai waktu akan tidur lagi bahkan kadang telat tidur karena mencari nafkah di dunia selayaknya diniatkan ibadah agar lebih bermakna. Manusia karena mempunyai sifat Al-Hirsu atau tidak pernah merasa cukup maka dunia ini dicintai setinggi langit sekalipun tidak akan pernah mencukupinya. Ambisi untuk menguasai dunia tidak akan terlaksana kecuali bagi orang yang mempunyai sifat Qanaah atau merasa cukup dengan pemberian Allah SWT.
وَلا حُزنٌ يَدومُ وَلا سُرورٌ
وَلا بُؤسٌ عَلَيكَ وَلا رَخاءُ
Tak ada kesedihan yang kekal, tak ada kebahagiaan yang abadi,
Tak ada kesengsaraan yang bertahan selamanya, pun demikian halnya dengan kemakmuran.
إِذا ما كُنتَ ذا قَلبٍ قَنوعٍ
فَأَنتَ وَمالِكُ الدُنيا سَواءُ
Jikalau qanaah tak ada di hatimu,
Maka Engkau sama tamaknya dengan rajamu. (penguasamu)
Dari dua bait puisi di atas, Imam Syafii berpesan kepada kita bahwa di atas dunia ini tidak ada yang abadi. Kesedihan, kebahagiaan, kesengsaraan, dan kemakmuran akan silih berganti hingga pergi tak abadi. Karena itu jika kita tidak mempunyai sifat merasa cukup atau qanaah berarti kita akan terus rakus seperti para penguasa yang rakus dengan dunia dan kekuasaan. Padahal tidak ada cinta yang abadi di dunia ini. Diibaratkan bahwa dunia ini akan sirna seperti sifat air. Dunia ini seperti air.
Hal ini sebagaimana dalam Firman Allah SWT.,
{ واضرب لهم مثل الحيات الدنيا كماء أنزلناه من السماء}
“dan berilah perumpamaan kepada mereka (manusia), kehidupan di dunia seperti air yang kami turunkan dari langit” (al-Kahfi : 45)
Juga terdapat dalam hadis, dari Al-Mustaurid bin Syaddad–semoga Allah meridhoinya- ia berkata : Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda :
وَاللهِّ مَا الدُّنْيَا فِي الآخِرَةِ إِلاَّ مِثْلُ مَا يَجْعَلُ أَحَدُكُمْ إِصْبَعَهُ فِي الْيَمِّ فَلْيَنْظُرْ بِمَ يَرْجِعُ؟
“Demi Allah, tidaklah dunia dibandingkan akhirat kecuali seperti seseorang dari kalian mencelupkan jarinya ke laut, maka lihatlah apa yang tersisa di jarinya jika ia keluarkan dari laut?” (HR Muslim no 2868).
Dalam hadits lain disebutkan;
مَا الدُّنْيَا فِي الْآخِرَةِ إِلَّا كَمِثْلِ مَا يَجْعَلُ أَحَدُكُمْ إِصْبَعَهُ هَذِهِ فِي الْيَمِّ فَلْيَنْظُرْ بِمَا يَرْجِعُ وَأَشَارَ بِالسَّبَّابَةِ
“Perumpamaan antara dunia dgn akhirat ibarat seorang diantara kalian mencelupkan jarinya ke dalam lautan, maka hendaklah ia melihat apa yang menempel padanya. Lalu beliau memberi isyarat dengan jari telunjuknya”. (HR. Ahmad)
Para ahli hikmah berkata, Dunia ini seperti air. Hal itu dapat dilihat dari sifat air yang tidak bisa menetap pada satu tempat. Bagaikan sebuah cinta bahwa cinta di dunia tidak ada yang abadi. Dunia tidak bisa terus menerus di atas satu keadaan yang sama. Kita terkadang mempunyai perasaan senang dan pada keadaan lain kita merasakan sepi, dst. Karena air akan pergi menghilang dan tidak akan kekal pada satu tempat. Begitu pula dunia yang fana akan sirna dan tidak akan kekal abadi. Karena air tidak ada seorang pun yang bisa memasukinya (air) dalam keadaan tidak basah. Begitu pula dunia tidak ada seseorang pun yang selamat dari fitnah dunia dan penyakitnya. Karena air tatkala sesuai kadar (keperluan)nya maka akan menjadi bermanfaat dan akan menumbuhkan tanaman, akan tetapi jika air tesebut melampaui kadar (keperluan)nya maka akan menjadi malapetaka yang bisa mematikan.
Begitu pula dunia apabila kita dapat mengambil sesuai kadarnya maka akan bermanfaat baginya, artinya jika kita tidak disibukkan dengan dunia yang akan menjadikan majikan dan kita budak dari dunia maka kita akan menjadi sengsara dan celaka. Itulah yang dimaksud menyikapi dunia dengan berlebihan karena bisa mencelakainya.
Ada 4 sifat air yang ada kaitannya dengan cinta dunia yang tidak abadi.
- Air itu tak pernah setia atau tak pernah menetap dalam satu tempat. Misalnya air di dalam gelas, ia tidak selamanya di gelas dan suatu waktu akan tumpah atau hilang. Itulah gambaran dunia dan air. Ada kisah tentang keadaan orang kaya yang memiliki jabatan tinggi. Ketika orang kaya itu akan wafat, dia merasakan kesepian padahal hartanya banyak dan jabatannya selama ini menjadi atribut yang mengagumkan. Hal ini menunjukkan bahwa dunia tak setia. Itulah gambaran cinta di dunia. Kita mencintai harta, tahta, dan dunia tetapi semua tak ada yang setia karena akan ditinggalkan semua.
- Air itu akan cepat hilang. Eksistensi dunia itu seperti air yang akan cepat hilang. Misalnya kita menyukai barang mewah merek terkenal. Tetapi barang mewah itu tidak selamanya menarik. Seperti mobil dan sejenisnya, setiap tahun akan berganti tipe dan merek, singkatnya merek terkenal tidak akan abadi. Semua akan cepat hilang. Itulah gambaran bahwa tak selamanya cinta kepada dunia itu abadi.
- Air itu kalau cukup bisa menyelamatkan. Begitu juga dunia dan kenikmatannya akan menyelamatkan kalau tidak berlebih-lebihan. Air yang cukup bisa menyehatakan dan memenuhi hajat kehidupan, tetapi kalau air itu melimpah dan banyak seperti banjir yang meluap maka akan membinasakan. Ingatlah kisah zaman nabi Nuh AS dan umatnya yang ingkar. Umat Nabi Nuh diluluhlantakkan oleh Allah SWT karena keingkarannya. Dunia itu seperti air kalau banyak akan menghanyutkan dan menjerumuskan. Artinya cinta kepada dunia apabila sampai puncaknya menjadikan tidak abadi.
- Air itu akan membasahimu atau memperbudakmu. Kalau kita terlalu asyik bermain-main dengan air maka akan basah dan menyakitkan. Kita akan masuk angin dan bisa demam hingga menyengsarakan. Begitu juga dengan dunia, kalau kita tidak bisa mengaturnya, dunia akan mencelakakan kita bahkan membinasakan kita.
Akhirnya dari puisi yang disampaikan oleh Imam Syafii di atas mengisyaratkan kepada kita, bahwa ketika cinta ada pada seorang hamba dengan dunia sebagai penyertanya maka perlu diketahui bahwa cinta itu tidak akan abadi menemaninya. Agar cinta yang tidak abadi itu akan menumbuhkan pencerahan lihatlah sifat air berikutnya. Air itu mengalir dari atas ke bawah. Maka, selayaknya bagi orang yang beriman, di dunia ini harus mengalir ketika diberi dunia sebagai wujud cinta sesama. Bahagia itu bagi orang yang bersemangat dalam berbagi. Sebaik-baik manusia adalah yang bermanfaat untuk orang lain. Nashrun Minallahi Wa Fathun Qariib Wa bashshiril Mukmnin.
Alif Sarifudin Ahmad, Ketua PDM Kota Tegal