Dunia Luar di Mata Muhammadiyah Awal

muhammadiyah malaysia

Foto Dok Ilustrasi

Dunia Luar di Mata Muhammadiyah Awal

Oleh: Muhammad Yuanda Zara

Dewasa ini Muhammadiyah tidak hanya dikenal di antero Indonesia saja, melainkan juga di berbagai belahan dunia. Setelah berdekade-dekade kisah keberhasilan mendirikan berbagai lembaga sosial keagamaan dan, dengan demikian, berkontribusi untuk memajukan masyarakat Indonesia, Muhammadiyah mulai melebarkan pengaruhnya ke luar negeri. Ini ditopang pula oleh kehadiran warga Muhammadiyah di luar negeri, baik karena untuk tujuan melanjutkan pendidikan tinggi maupun untuk bekerja. Internasionalisasi Muhammadiyah terutama terjadi sejak awal tahun 2000. Pengurus Cabang Istimewa Muhammadiyah (PCIM) pun berdiri di berbagai negara, antara lain Mesir, Jepang, Malaysia dan Rusia. Lewat PCIM ini Islam Indonesia dan gagasan kemajuan Muhammadiyah diperkenalkan kepada warga dunia.

Secara keorganisasian Muhammadiyah hadir di mancanegara baru dalam sekitar dua dekade terakhir. Tapi, itu tidak berarti bahwa Muhammadiyah baru memikirkan tentang dunia di luar Indonesia dalam dua puluh tahun terakhir ini saja. Ide tentang sebuah dunia yang jauh lebih luas dari Residensi Yogyakarta (kota di mana Muhammadiyah lahir) dan Indonesia (atau Hindia Timur Belanda di masa lalu) sudah berakar lama di sejarah pemikiran Muhammadiyah.

Ini bisa dilihat dalam sejarah Muhammadiyah di era tahun 1920an atau sekitar satu dekade setelah Muhammadiyah berdiri. Kala itu Muhammadiyah sedang mengalami perkembangan positif, khususnya di Jawa, dan dalam beberapa waktu kemudian akan mencakup ke Sumatera, Kalimantan, Sulawesi dan wilayah lainnya di Indonesia. Cabang-cabang Muhammadiyah lokal sedang mengalami pertumbuhan, dan ini membantu ide-ide modernisme Islam yang dipromosikan Muhammadiyah tersebar ke berbagai daerah di Indonesia. Muhammadiyah di Yogyakarta dan cabang-cabangnya melakukan berbagai upaya untuk menyelesaikan problem-problem sosial-keagamaan, mulai dari di bidang pemurnian ajaran agama, pendidikan dasar hingga pelayanan kesehatan.

Meskipun demikian, warga Muhammadiyah juga merasa bahwa Muhammadiyah tidak hanya harus hadir di Indonesia, tapi juga di bagian dunia lainnya yang membutuhkan partisipasi Muhammadiyah. Mengingat sarana transportasi dan komunikasi kala itu yang masih terbatas, maka bagian dunia paling awal—di luar Indonesia—yang banyak dipikirkan Muhammadiyah adalah dunia yang walaupun secara geografis jauh dari Indonesia namun secara keagamaan sangat dekat, yakni dunia Arab-Islam. Ini adalah tempat lahirnya Islam dan tempat dari mana Kyai Dahlan mendapatkan inspirasi untuk mendirikan Muhammadiyah serta ke mana banyak Muslim Indonesia menuju, baik karena alasan agama maupun studi.

Lalu, bagaimana persepsi warga Muhammadiyah generasi awal terhadap dunia Arab-Islam? Di satu sisi, dunia-Arab Islam dipandang sebagai tempat penting di mana sejarah dan tradisi Islam berakar serta sumber penting bagi pengetahuan tentang ajaran agama Islam. Kyai Ahmad Dahlan (sewaktu masih bernama Muhammad Darwis) naik haji ke Mekkah pada tahun 1883. Di sana ia tak hanya berhaji, tapi juga belajar ilmu agama, mulai dari fikih, tauhid, qiraat, dan ilmu falaq. Pertemuan Darwis dengan intelektual Muslim dan penggagas modernisme Islam ternama, Rasyid Ridha, juga terjadi di dunia Arab-Islam ini, tepatnya di Kota Mekkah.

Di sisi lain, ada warga Muhammadiyah yang berpandangan bahwa dunia Arab-Islam di era 1920an tidaklah ramah pada kaum Muslim Jawa (atau kaum Muslim Hindia Belanda secara keseluruhan). Ini paling jelas tampak dalam bagaimana para syekh Arab mengurus jamaah haji asal Indonesia pada masa itu. Berbeda dengan haji di masa sekarang yang dikelola atas kerja sama pemerintah Indonesia dan Arab Saudi, dahulu perjalanan haji banyak yang diatur oleh pihak swasta, dan ini menimbulkan banyak problem.

Salah satunya ialah buruknya pelayanan para pengelola urusan haji di Arab terhadap kaum Muslim Jawa. Padahal, secara keagamaan Muslim Arab dan Muslim Jawa bersaudara. Tapi kaum Muslim Jawa merasa bahwa mereka tidak diperlakukan dengan baik selama musim haji oleh orang Arab, mulai dari ditelantarkan di pemondokan hingga ditarik uangnya dengan berlebihan.

Di samping melihat ke dunia Arab-Islam, para simpatisan Muhammadiyah juga mengenal sisi dunia lainnya, yang kala itu dikenal dengan sebuah istilah yang masih digunakan hingga kini: Barat. Sumber kemajuan manusia dilihat Muhammadiyah tak hanya ada pada adaptasi pemahaman beragama pada kemajuan zaman, tapi juga pada elemen-elemen progresif di dunia Barat yang di era 1920an merupakan pelopor modernitas, khususnya di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi.

Barat di sini terutama sekali mengacu ke Eropa dan bukan Amerika Serikat (yang baru menjadi negara adikuasa selepas Perang Dunia Kedua). Lebih spesifik lagi, Belanda adalah negara yang ada di bayangan banyak orang Muhammadiyah di tahun 1920an, baik karena Belandalah yang sedang berkuasa di Indonesia saat itu dan karena Belanda jugalah yang memperkenalkan banyak aspek-aspek yang berkaitan dengan dunia modern kepada masyarakat Indonesia.

Muhammadiyah mengambil inspirasi dari sekolah-sekolah Belanda dan mengintegrasikannya pada sekolah agamanya sendiri, misalnya dalam istilah-istilah sekolah, penjenjangan murid, dan mata pelajaran di kelas. Ada pula warga Muhammadiyah yang mendapat pendidikan Belanda, dan kemudian menjadi tokoh-tokoh penting, seperti Raden Sosrosoegondo, Mas Radji, Mas Ngabehi Djojosoegito dan Soemowidagdo. Pengalaman mereka di bawah naungan sistem pendidikan Belanda mereka manfaatkan untuk membantu memodernisasi sekolah-sekolah Muhammadiyah.

Tapi, ada kalanya muncul keraguan di antara warga Muhammadiyah, terutama tentang sejauh manakah Barat harus diikuti. Teknologi yang diperkenalkan Barat relatif netral, tapi bagaimana dengan kebiasaan atau budaya ala Barat? Pada masa kini, misalnya, sudah lazim melihat kaum Muslim mendirikan shalat dengan memakai pakaian yang pada dasarnya dibawa oleh orang Barat, khususnya Belanda, ke Indonesia, misalnya dengan jas. Tapi, di tahun 1920an, ceritanya berbeda.

Hanya orang dari kalangan atas dan berorientasi Barat yang mengenakan pakaian ala Barat (misalnya orang Eropa dan kaum elite pribumi berpendidikan Belanda). Pakaian tidak hanya soal penutup badan, tapi juga menyampaikan pesan tentang ideologi yang dianut pemakainya atau kelas sosial yang dimilikinya. Maka, tak heran bila di tahun 1923 sempat muncul pertanyaan di tengah warga Muhammadiyah tentang apakah sah atau tidak shalat seseorang bila ia shalat dengan berpakaia ala Barat, misalnya dengan berpantalon dan memakai dasi serta tidak memakai penutup kepala.

Muhammad Yuanda Zara, Dosen Ilmu Sejarah Universitas Negeri Yogyakarta

Sumber: Majalah SM Edisi 19 Tahun 2019

Exit mobile version