Aktualisasi Politik Nilai Muhammadiyah
Oleh Prof Dr KH Haedar Nashir, M.Si
Pengkajian Ramadhan yang diselenggarakan Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Jawa Timur di Universitas Muhammadiyah Malang tahun 1339 H / 2018 M mengangkat tema tengang “Politik Nilai: Harapan dan Tantangan”. Suatu tajuk yang menarik dan aktual, lebih-lebih menggadapi tahun politik yang dari hari ke hari semakin menghangat. Meski demikian Muhammadiyah sebagai organisasi dakwah dan kemasyarakatan teta istiqamah dalam posisi dan perannya sesuai Khittah, sehingga tidak terbawa arus kontestasi politik yang sarat kepentingan praktis.
Politik nilai mengandung makna politik yang berbasis dan berorientasi pada nilai. Nilai adalah sesuatu yang berharga dalam kehidupan. Maka, nilai itu tergantung pada rujukan dan konstruksinya, tertutama oleh para penganut atau aktornya. Orang beragama tentu akan menjadikan agama sebagai nilai yang sangat berharga, bahkan termasuk nilai yang suci, luhur, dan utama melebihi segalanya. Orang sekuler tentu menjadikan humanisme-sekular atau sekularisme sebagai nilai yang berharga dibanding lainnya, yang memisahkan atau bahkan menjauhkan kehidupan dunia dari nilai agama.
Sedangkan politik ialah segala hal yang berkaitan dengan urusan kekuasaan, termasuk perjuangan untuk meraih dan mewujudkannya. Menurut Lasswell, politik ialah “who gets what, when and how”, yakni “siapa mendapatkan apa, kapan dan bagaimana caranya”. Dimensi politik itu luas antara lain yang pokok ialah bagaimana pengoperasian negara, perjuangan kekuasaan, kebijakan publik, dan kebajikan umum (public good) yang melibatkan pemerintahan, partai politik, kekuatan-kekuatan masyarakat atau kelompok kepentingan, dan warga negara.
Nilai Agama dan Politik
Agama dan politik dapat harmoni dapat pula kontradiski sebagaimana hubungan antara “al-din wa al-dunya” atau agama dan dunia. Agama berkaitan dengan nilai-nilai luhur dan suci seperti nilai iman, ibadah, amanah, adil, amal shaleh, ihsan, dan nilai keutamaan lainnya dari yang transenden (ilahiah) hingga imanen (insaniyah-dunyawiyah). Politik juga memiliki nilai-nilai berharga seperti keadilan, kebajikan publik, menjujung tinggi hak asasi manusia, menjunjung tinggi hak rakyat, dan sebagainya. Pada nilai-nilai luhur seperti itu tentu terjadi harmoni antara agama dan politik.
Namun sering pula nilai agama dan politik saling berbeda, menjauh, dan bertabrakan. Agama mengajarkan jujur, amanah, menepati janji, adil, dan ihsan sementara politik dalam praktik tidak jarang menunjukkan dusta, hianat, ingkar janji, mementingkan kelompok sendiri sambil menegasikan pihak lain, dan hal-hal yang tak terpuji seperti politik uang, sogok, dan sebagainya. Agamanya mengajarkan mencari harta dan kedudukan secara halal dan baik, sementara politik menghalalkan segala cara termasuk korupsi, gratifikasi, upeti, dan sebagainya. Hal-hal negatif dalam praktik politik seperti itu meski sering dibantah oleh mereka yang berkiprah di dunia politik yang tentu saja politisinya mesti baik, tetapi kenyataan dunia politik sering menunjukkan politik yang pragmatis (orientasi kegunaan) dan oportunistik (orientasi kepentingan) seperti itu.
Dalam kehidupan poliik umat Islam pun ketegangan nilai agama dan politik itu juga sering terjadi, selain harmoni antara keduanya. Perang “Jamal” atau perang “Unta” di Basra Iraq antara pasukan Siti Aisyiyah melawan pasukan Zubair bin Awwam serta sahabat Nabi lainnya yang memihak Ali bin Abi Thalib atas wafatnya Khalifah Usman bin Affan, menunjukkan peliknya hubungan antara nilai agama dan politik. Peristiwa lepasnya kkhalifahan Ali bun Abi Thalib ke Ummayah dalam perjanjian yang kontroversial antara Amr bin Yasir (wakil Ali) dan Amr bin Ash (wakil Muawwiyah) dengan rentetan Perang Siffin yang paling besar, juga tak kontroversial dalam sejarah politik Islam. Demikian pula dalam berbagai tragedi politik Islam lainnya, termasuk yang menyebabkan meninggalnya Usman bin Affan, Ali bin Abi Thalib, Hussein, dan lain-lain. Bahkan dalam peristiwa Saidah bani Saidah yang membelah umat Islam ke dalam tiga golongan kepentingan politik dalam persoalan mengangkat pengganti kepemimpinan Nabi, merupkan contoh paling awal dan klasik dari ketegangan nilai agama dan politik dalam kehidupan kaum muslimun.
Dalam kehidupan politik umat Islam Indonesia pun ketegangan antara aktualisasi nilai agama dan politik itu juga sama peliknya dengan sejarah politik Islam di dunia Islam saat ini. Konflik di tubuh Partai Sarikat Islam di masa awal perjuangan kemerdekaan sampai saat ini, keluarnya NU dan Sarikat Islam dari Masyumi, pecah di tubuh Parmusi, hingga PPP yang saat ini mengalami perpecahan hingga ke ranah hukum. Semua merupakan contoh nyata dari dilema politik Islam, yang di dalamnya terkandung ketegangan antara nilai-nilai keagamaan di tingkat normatif dengan politik di dunia nyata, yang sering saling bertentangan. Lebih-lebih jika politik Islam dihadapkan dengan politik sekuler, yang tidak kalah rumitnya atau bahkan semakin rumit.
Politik, ekonomi, dan aspek mu’amalahah keduniaan itu pada dasarnya baik. Politik menurut Ibn Qayyim ialah “aqrab ila al-shalah wa ab’ad ‘an al-fasad”, yakni mendekatkan kepada segala hal yang baik serta menjauhkan diri dari segala hal yang merusak. Tetapi dalam kenyataan terdapat sejumkah praktik “fasad” dalam politik dan kehidupan dunia lainnya seperti menipu, membohongi, dan menggunakan segala cara yang tak halal. Dalam ketegangan nilai seperti itu maka tergantung pada konsistensi rujukan nilai dari setiap tindakan politik, sekaligus perilaku aktor atau pelaku politik itu sendiri dalam hal berpolitik. Faktor sistem dan kontrol publik juga menentukan aktualisasi nilai politik dalam kehidupan berpolitik.
Nilai Politik Muhammadiyah
Muhammadiyah memandang politik sebagai bagian dari mu’amalah-dunyawiyah yang harus diurus dalam kerangka menjalankan dan mewujudkan ajaran Islam dalam kehidupan umat dan bangsa. Artinya Islam harus menjadi dasar nilai dan pusat orientasi tindakan politik. Meski dalam urusan mua’malah berlaku “ibahah” (kebolehan), maka bukan berarti serba boleh sehingga lepas dari nilai benar-salah, baik-buruk, pantas dan tidak pantas.
Dalam “Pedoman Hidup Islami Warga Muhammadiyah” (2000) disebutkan, Muhammadiyah meminta kepada segenap anggotanya yang aktif dalam politik untuk benar-benar melaksanakan tugas dan kegiatan politik secara sungguh-sungguh dengan mengedepankan tanggung jawab, akhlaq mulia, keteladanan, dan perdamaian. Aktifitas polotik tersebut harus sejalan dengan upaya memperjuangkan misi persyarikatan dalam melaksanakan da’wah amar ma’ruf nahi munkar. Muhammadiyah senantiasa bekerjasama dengan pihak atau golongan mana pun berdasarkan prinsip kebajikan dan kemaslahatan, menjauhi kemudharatan, dan bertujuan untuk membangun kehidupan berbangsa dan bernegara ke arah yang lebih baik, maju, demokratis dan berkeadaban.
Beberapa pinsip dalam berpolitik harus ditegakkan dengan sejujur-jujurnya dan sesungguh-sungguhnya yaitu menunaikan amanat dan tidak boleh menghianati amanat, menegakkan keadilan, hukum, dan kebenaran, ketaatan kepada pemimpin sejauh sejalan dengan perintah Allah dan Rasul, mengemban risalah Islam, menunaikan amar ma’ruf, nahi munkar, dan mengajak orang untuk beriman kepada Allah, mempedomani Al-Quran dan Sunnah, mementingkan kesatuan dan persaudaraan umat manusia, menghormati kebebasan orang lain, menjauhi fitnah dan kerusakan, menghormati hak hidup orang lain, tidak berhianat dan melakukan kezaliman, tidak mengambil hak orang lain berlomba dalam kebaikan, bekerjasama dalam kebaikan dan ketaqwaan serta tidak bekerjasama (konspirasi] dalam melakukan dosa dan permusuhan, memelihara hubungan baik antara pemimpin dan warga, memelihara keselamatan umum, hidup berdampingan dengan baik dan damai, tidak melakukan fasad dan kemunkaran, mementingkan ukhuwah Islamiyah, dan prinsip-prinsip lainnya yang maslahat, ihsan, dan ishlah.
Berpolitik dalam dan demi kepentingan umat dan bangsa sebagai wujud ibadah kepada Allah dan ishlah serta ihsan kepada sesama, dan jangan mengorbankan kepentingan yang lebih luas dan utama itu demi kepentingan diri sendiri dan kelompok yang sempit. Para politisi Muhammadiyah berkewajiban menunjukkan keteladanan diri (uswah hasanah) yang jujur, benar, dan adil serta menjauhkan diri dari perilaku politik yang kotor, membawa fitnah, fasad (kerusakan], dan hanya mementingkan diri sendiri.
Berpolitik dengan kesalihan, sikap positif, dan memiliki cita-cita bagi terwujudnya masyarakat Islam yang sebenar-benarnya dengan fungsi amar ma’ruf dan nahi munkar yang tersistem dalam satu kesatuan imamah yang kokoh. Menggalang silaturahmi dan ukhuwah antar politisi dan kekuatan politik yang digerakkan oleh para politisi Muhammadiyah secara cerdas dan dewasa. Muhammadiyah senantiasa memainkan peran politiknya sebagai wujud dari da’wah amar ma’ruf nahi munkar dengan jalan mempengaruhi proses dan kebijakan negara agar tetap berjalan sesuai dengan konstitusi dan cita-cita luhur bangsa. Muhammadiyah secara aktif menjadi kekuatan perekat bangsa dan berfungsi sebagai wahana pendidikan politik yang sehat menuju kehidupan nasional yang damai dan berkeadaban.
Karenanya melalui politik nilai, maka Muhammadiyah selain tetap istiqamah dengan Khittahnya, pada saat yang sama mendorong kadernya yang aktif dalam perjuangan politik praktis agar tetap berbasis pada politik nilai, serta membawa politik menuju kehidupan yang maslahat dan berkeadaban mulia. Jadikan politik sebagai jakan dakwah membangun umat, bangsa, dan kemanusiaan universal yang mulia dan berkemajuan!
Sumber: Majalah SM Edisi 11 Tahun 2018