Kapusdatin BNPB: Kerusakan Alam Mayoritas Bencana di Indonesia

Kapudatin BNPB Agus Wibowo

Kapudatin BNPB Agus Wibowo

Kapusdatin BNPB: Kerusakan Alam Mayoritas Bencana di Indonesia

Bencana dan bencana terus terjadi di Indonesia, seolah biasa saja. Untuk mengetahui peran manusia dalam terjadinya bencana karena perusakan alam, Suara Muhammadiyah mewawancarai Kepala Pusat Data dan Informasi Badan Nasional Penanggulangan Bencana (Kapusdatin BNPB)  Agus Wibowo. Berikut paparannya:

Bencana apa yang sering terjadi di Indonesia?

Bencana di Indonesia ini dapat dibagi menjadi empat kelompok. Kelompok pertama geologi dan volkanologi seperti gempa dan gunung meletus. Kelompok kedua, Hidrometerologi pertama adalah  kekeringan dan kebakaran hutan. Kemudian kelompok ketiga , adalah hidrometerologi kelompok dua ada banjir, banjir bandang, puting beliung,  tanah longsor, abrasi pantai, dan sejenisnya itu. Yang jelas hidrometerologi. Kemudian kelompok keempat adalah bencana non alam. Yaitu ada seperti penyakit korona ini. Ada semacam limbah, dan mungkin gagal teknologi dan yang lain –lain masuk di situ. Jadi kita mengelompokkannya memang seperti itu. Kalau dari statistiknya itu, 98 persen bencananya  hidrometerologi. Lainnya bencana geologi, volkanologi kan gitu, termasuk di dalamnya erupsi, tsunami dan gempa.

Bencana yang dilakukan manusia?

Hidrometerologi termasuk Bencana yang dilakukan manusia. Kebakaran hutan kan dilakukan manusia, banjir juga. Banjir itu macam-macam dampaknya dari orang juga , dari alam juga. Nggak bisa dari alam saja, nggak bisa juga dari manusia saja  tetapi memang tidak murni manusia. Ada campur tangannya alam juga.  Tetapi manusia berperan di sini.

Apa penyebabnya?

Penyebabnya macam macam dan sangat kompleks. Pertama, pastinya kondisi lingkungannya. Lingkungannya banyak konversi lahan rusak. Kemudian adanya  pembangunan,  ada pembangunan pemukiman, industri tambang. Selain itu adanya  pembuangan limbah, membuang sampah  ke sungai semua. Kemudian semua lahannya dibabat  dijadikan rumah,  dijadikan lahan pertanian, dijadikan lahan untuk industri atau rumah, kantor dan sebagainya. Itu kan artinya dibuka semua sehingga air hujan jatuh langsung lewat saja nggak bisa masuk. Kemudian limbah juga seperti itu, buang limbah di sungai-sungai akibatnya sungai kotor. Itu salah satu yang memacu. Belum manusianya, buang limbah, buang kotoran, buang sampah sama seperti itu juga. Nah itu kan  yang menebabkan bencana hidrometerologi semakin besar. Hujannya tetap, lahannya terbatas rusak ya makin terus membesarlah bencananya. Kira-kira seperti itu. Macam-macam  jadi  masalahnya.

Bagaimana pencegahannya?

Pencegahannya itu kita lihat dari organisasinya saja.  Organisasi BNPB  itu ada empat kelompok besar. Yang pertama sistem dan strategi, Deputi bidang sistem dan strategi. Itu memikirkan bagaimana sistem dan strategi menghadapi bencana, baru Deputi dua adalah Deputi pencegahan. Itu bertugas untuk mencegah, nanti di situ ada sub-subnya. Ada mitigasi, ada earlywarning, ada peringatan dini, ada macam-macam di situ, yang intinya mencegahnya, baik secara soft maupun secara hard.  Kemudian Deputi ketiganya penanganan darurat. Ini kalau ada darurat ditangani. Kemudian keempat Deputi rehab rekons,  pembangunan kembali dan Deputi kelima bagian pendukung yang mengurusi logistik dan peralatan kemudian dibantu 3 pusat. Ada pusat data, pusat diklat, pusat pengendalian operasi. Jadi kita lengkap. Siklusnya dari pra, saat kemudian pasca. Kita melakukan manstreaming,  yaitu upaya mempengaruhi manusia atau lembaga agar mereka sadar terhadap bencana.

Kenapa bencana terus terjadi?

Bencana kan urusan bersama, nggak hanya BNPB thok. Harus semua orang bekerja bersama-sama. Bagian pertanian buka lahan, bagian kehutanan nanam pohon juga dibuka lagi  oleh  pertanian, ditanam kehutanan dibuka pertanian dijadikan lahan jagung. Kan ngaco semuanya. Kemudian industri diijinkan terus, hutan ditebang terus. Itu kan masalahnya yang kompleks, banyak peraturan yang tumpang tindih. Belum pertambangan yang lain, penyedotan air tanah sebanyak-banyaknya. Itu kompleks sekali. Itu harus dilakukan secara terpadu atau terintegrasi. Planingnya bermasah juga, anggaran bermasalah juga, jadi banyak sekali masalahnya. Tidak bisa dibahas dari sektoral. Kalau itu nggak dibicarakan bersama-sama ya nggak bisa terselesaikan. Kita itu titik tolaknya harus dari rencana tata ruang.

Tata Ruang yang bagaimana?

Tata ruang harus berbasis bencana. Kalau nggak berbasis bencana kemudian buka seenaknya sendiri kemudian terjadi bencana. Seperti itu kan harus ada kesepakatan-kesepakatan, supaya nantinya hitung-hitungannya juga masuk.  Penegakan hukum juga bermasalah,  Di samping itu, di sisi masyarakat juga masih belum educated, edukasi belum masuk semua.

Maksudnya?

Kalau kita bagi masyarakat itu ada dua kelompok. Kelompok pertama, masyarakat yang sadar bahwa kita tinggal di daerah bencana. Nah kalau kita tinggal di daerah bencana akan terjadi penyesuaian-penyesuaian, rumah kita, cara hidup kita, lingkungannya sehingga kalau terjadi bencana kita bisa selamat. Tidak meninggal. Kerusakannya nggak banyak. Itu kalau orang-orang menyadari bahwa kita tinggal di daerah bencana. Bisa melakukan usaha-usaha pengurangan resiko bencana. Dan kelompok itu kan nggak banyak itu.

Kelompok kedua, rakyat kita mikirnya, bencana datang silahkan datang saja  jika akan mati matilah, nggak peduli dia. Masyarakat yang demikian kan masih banyak. Masalah edukasi untuk bagaimana masyarakat bisa tersadarkan bahwa mereka hidup di daerah bencana sehingga bisa melakukan antisipasi yang cocok sehingga nanti kalau terjadi bencana selamat. Itu kan banyak. Sekarang lihat saja, yang di Aceh sudah balik lagi. Yang di Palu juga pengin balik lagi ke tempat yang dilikuifaksi,  pengin tinggal di situ lagi. Nah nanti kalau terjadi likuifaksii mati orang itu, mereka tidak peduli.Yang gitu-gitu kan banyak sekali. Masyarakat Indonesia itu kan mayoritas seperti itu.

Dianggap sebagai nasib, dianggap sebagai kutukan Tuhan. Masih banyak, mereka nggak peduli di mana saja senaknya sendiri. Kalau mati, nasibnya mati ya mati. Kan harusnya bukan seperti itu.  Itu salah satu masalah besar, tantangan bagi Muhammadiyah. Orang Islam juga masih banyak yang seperti itu. Bagaimana mengedukasi masyarakat semua, termasuk wargga Muhammadiyah kan nggak gampang. Perlu bertahun-tahun, puluhan tahun juga belum tentu bisa sadar.

Sudah banyak pihak melakukan penyadaran, PU melakukan, Kehutanan melakukan, Nyatanya ya nggak begitu juga. Masyarakatnya tetap nggak peduli, karena lapar atau karena apa. Kemudian pemerintahnya ijin-ijin juga cuek-cuek saja. Banyak perijinan, buka-buka saja. Nggak mempertimbangkan bencana, nggak mempertimbangkan yang lain. Itu termasuk masalah juga. Kan banyak juga, pembukaan lahan diijinkan terus. Pertambangan diijinkan terus, pertambangan liar juga susah diberantas karena memang rakyatnya butuh makan dan sebagainya. Jadi memang sangat kompleks sekali. Dan perlu waktu lama untuk menyadarkan dan itu banyak pihak yang terlibat nantinya.  (Lutfi)

Sumber: Majalah SM Edisi 5 Tahun 2020

Exit mobile version