Manusia dan Lingkungan, Menjaga atau Merusak?

rusak menjaga

Foto Dok Ilustasi

Manusia dan Lingkungan, Menjaga atau Merusak?

Prigi Arisandi dan Daru Setyorini merupakan pasangan suami istri. Keduanya merupakan pegiat dan aktivis lingkungan. Bahkan kepedulian dan ketertarikan Prigi Arisandi terhadap isu lingkungan sudah  dimulai sejak ia duduk dibangku kuliah.

Upaya pasangan yang sudah dikaunai 3 anak perempuan ini sudah didengar oleh berbagai belahan dunia. Termasuk Arisandi sendiri sudah mendapatkan pengakuan dan penghargaan dari manca negara. Melalui ECOTON (Ecological Observation and Wetlands Conservations) sebuah organisasi konservasi dan pemerhati isu pencemaran lingkungan, Prigi Arisandi dan Daru Setyorini sampai hari ini terus mengedukasi masyarakat, menuntut tanggung jawab dari berbagai perusahaan yang dipandang sudah mencemari lingkungan, dan tetap konsisten menjaga lingkungan bukan sekedar mengikuti trend.

Menarik untuk digali lebih dalam adalah kiprah dan sepak terjang ketiga putri mereka, yaitu Shoffie Azilan (mahasiswi), Thara Bening (siswa SMA), dan Aeshnena (siswa SMP). Si sulung yang kini sudah duduk di bangku kuliah sedang dipercaya oleh kampusnya untuk mengerjakan proyek zero waste. Sedang anak keduannya yang duduk dibangku SMA benar-benar menjelma menjadi aktivis lingkungan. Berkali-kali ia melayangkan surat himbauan dan menuntut pertanggungjawaban beberapa perusahan tertentu atas sampah yang telah mereka produksi. Termasuk melayangkan surat protes ke bupati Gresik, gubernur Jatim Pak Karwo hingga Khofifah, dan presiden Jokowi.

Bersama teman-teman sebayanya, Thara menginisiasi gerakan  Gresik Tolak Plastik Sekali Pakai (Rewind-River Warrior). Begitu getolnya memerangi sampah plastik, Thara pun mendapat undangan untuk mengikuti Internasional Youth Summit on Plastic Pollution di Amarika Serikat.

Terakhir, adalah cerita tentang anak ketiga pasangan Prigi Arisandi dan Daru Setyorini yang masih duduk di bangku SMP. Berita tentang Aeshnena menjadi viral, sebab gadis ini berhasil melakukam diskusi dan dialog dengan Dubes Jerman untuk Indonesia. Di mana inti dari dialognya lebih kepada permohonannya agar negara-negara maju seperti Jerman, tidak mengirip barang yang susah diurai tanah. Seperti kertas bercampur plastik, dan secara umum menolak plastik sekali pakai.

Bukan hanya keluarga Prigi Arisandi yang menyatakan perang terhadap plastik, akhir-akhir ini diberbagai daerah di Indonesia juga bermunculan gerakan anti plastik. Mengapa gerakan ramah lingkungan semacam ini mulai bermunculan layaknya jamur di musim penghujan? Ada dua alasan. Petama, banyaknya bencana alam seperti banjir, tanah longsor, dan kebakaran hutan, sedikit banyak menyadarkan banyak orang bahwa semua terjadi atas ulah tangan manusia sendiri. Paling mencolok adalah keberadaan sampah yang sudah seperti gunung.

Data pada tahun 2019 menunjukan bahwa Indonesia adalah negara yang mampu memproduksi sampah tertinggi kedua setelah China. Angkanya mencapai 67 juta ton, 60 persen sampah organik dan 15 persen sampah plastik. Parahnya, daya daur ulang Indonesia tidak mencapai angka 11 persen hanya diangka 9 persen. Itu artinya ada sekitar 99 persen sampah yang menumpuk tanpa ada upaya memanfaatkannya kembali.

Maka wajar jika penampakan selokan, sungai, hingga laut di Indonesia cukup memprihatinkan. Air hanya tergenang dengan warna hijau dan cenderung gelap, sampahnya menumpuk, dan aromanya sangat tidak nyaman di hidung.

Kedua, atas keperhatinan dan kesadaran banyak orang terhadap pencemaran yang terjadi, kemudian diberbagai penjuru, terutama negara-negara maju mulai mengkapanyekan gaya hidup ramah lingkungan. Seperti gerakan membawa tambler ke sekolah dan ke tempat kerja, bawa tas belanja saat ke pasar, hingga sedekah dan koperasi sampah.

Miftahul Khaq praktisi sampah dan kader hijau Muhammadiyah pun mengaku cukup senang sebab akhir-akhir ini muncul subur gerakan sadar sampah di kalangan masyarakat. Termasuk di Muhammadiyah sendiri ada gerakana sedekah sampah, kaderisasi dan pelatihan kader ramah lingkungan. Bagi Miftah sendiri, kesadaran untuk mau menjaga dan melestarikan lingkungan dan alam adalah wujud dari keimanan seseorang. Sebab baginya ibadah tidaklah sekedar rukun Islam saja, tapi semua harus berimbah kepada kehidupan sosial dan membawa kebaikan bagi alam semmesta. Itulah konsep Islam rahmatan il alamin.

Lebih sederhana dan sifatnya keseharian, Siti Maemunah penggiat hutan dari Universitas Muhammadiyah Palangkaraya menyarankan, kegiatan ramah lingkungan harus terus dilakukan oleh setiap orang secara individu. Seperti menghemat listrik, menghemat penggunaan air, kertas, tidak membunag sampah sembarangan, dan mengurangi penggunaan plastik. Tanpa tindakan konkrit seperti itu, walau kecil, pada manusia tetap melakat indentitas bawaan sebagai makhluk perusak alam.

Namun Busyro Muqoddas Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah menggarisbawahi, bahwa sehebat apapun gerakan itu muncul, selama kekuatan oligarki politik dan oligarki bisnis terus menyatu, maka keruskan akan terus terjadi. Bahkan kerusakan alam makin lama akan semakin parah. Perpaduan keduanya sering kali bertolak belakang dengan kepentingan bersama, kepentingan masyarakat, bangsa, dan negara.

Tapi, Busyro juga memberikan penguatan, jika pemegang kekuasaan dan pemilik modal sudah sulit untuk diharapkan, maka gerakan dari bawah dan media menjadi penting. Masyarakat dan awak media harus bersatu menjaga moral. Karena suatu saat, jika gerakan ramah lingkungan ini masif, maka sangat mungkin bahwa perubahan kebijakan untuk lebih ramah lingkungan akan benar-benar terwujud.

Berkawinnya oligarki politik dengan oligarki bisnis bukan hanya ada di Indonesia. Keduanya juga bargandengan erat di hampir seluruh negara. Atas dasar ini pula, Greta Tintin Eleonora Ernman Thunberg gadis remaja asal Swedia marah-marah di KTT (Konferensi Tingkat Tinggi) Iklim PBB (Persyarikatan Bangsa-bangsa) pada 2019 tahun lalu. Ia mengaku jengkel dengan prilaku para pemimpin negara (penguasa) yang tak kunjung mengindahkan keadaan alam. Padahal alam sedang mengalami sakit parah, dan itu akibat ulah manusia.

Lalu apa yang hendak kita lakukan? Membiarkan bumi, tempat kita hidup hancur dengan cepat, atau menjaga bumi agar tetap lestari? (gsh)

Sumber: Majalah SM Edisi 5 Tahun 2020

Exit mobile version