Al-Basith, Yang Maha Melapangkan
Kata Al-Basith sebagai nama Allah tidak disebutkan secara langsung dalam Al-Quran. Al-Basith, sebagaimana Al-Mu’jam Al-Mufahras li Alfadz Al-Quran Al-Karim, diambilkan dari kata kerja basatha – yabsuthu yang terdapat pada 13 ayat. Dari kata kerja inilah ditetapkan satu nama Asmaul Husna, Al-Basith, yang berarti Yang Maha Melapangkan Rezeki.
Dalam sebuah hadis dari Anas bin Malik pernah disebutkan, “Harga barang-barang pernah menjadi mahal pada masa Rasulullah. Karenanya, para sahabat berkata: “Ya Rasulallah, tetapkanlah harga untuk kami.” Rasulullah bersabda, “Sesungguhnya Allah-lah yang membuat ketetapan harga; Dia adalah al-Qâbidh ( Yang Maha menahan/menyempitkan rezeki), al-Bâsith (Maha membentangkan/meluaskan rizki), ar-Râziq (Maha menganugerahkan rizki).
Kata basatha sendiri berarti keterhamparan, kemudian dikembangkan menjadi “memperluas” atau ”melapangkan”. Lawan kata Al-Basith adalah Al-Qabidh, Yang Maha Menahan Rezeki. Allah Al-Basith berarti Dzat yang meluaskan atau mempermudah segala urusan. Dia-lah yang melapangkan rezeki kepada siapa yang Dia kehendaki melalui kemurahan dan rahmat-Nya.
Imam Abu Ishaq Az-Zujaj dalam Tafsir Asma Allah al-Husna, berpendapat bahwa untuk memahami Al-Basith sebaiknya disandingkan dengan Al-Qabidh. Hal ini dilakukan untuk mendukung persepsi kita tentang kesempurnaan Allah. Artinya, Allah melapangkan rezeki kepada seseorang yang Dia kehendaki. Dia menjadikan orang miskin menjadi kaya secara mendadak. Allah meluaskan dan membahagiakan hati seseorang yang awalnya sesak dengan kesulitan dan kesengsaraan hidup.
Namun, Allah juga berkuasa mengubah nasib seorang hartawan jatuh miskin, badan yang sehat menjadi sakit, kebahagiaan menjadi rasa sedih, serta menyempitkan seorang hartawan dengan kebaikan hati dan kebijaksanaan-Nya. Sebagaimana yang terdapat dalam ayat, ”Dan jika Allah melapangkan rizki kepada hamba-hamba-Nya tentulah mereka akan melampaui batas di muka bumi, tetapi Allah menurunkan apa yang dikehendaki-Nya dengan ukuran. Sesungguhnya Dia Maha Mengetahui (keadaan) hamba-hamba-Nya lagi Maha Melihat.” (QS. Asy-Syuura: 27)
Pemahaman ini setidaknya akan mengantarkan seseorang untuk tidak mudah berprasangka buruk (suudzan) kepada Allah. Sikap ini mendorong untuk konsisten beribadah kepada Allah. Di saat lapang ia ingat bahwa kelapangan yang diperolehnya semata karena Allah Al Bâsith. Ia tetap rajin beribadah, semakin bersyukur dan tidak berhenti memohon kelapangan rizki dan hati.
Pada saat dalam keadaan sempit, ia bersabar, bertawakkal dan banyak memohon pertolongan kepada Allah. Ia tetap yakin bahwa Allah Al-Qâbidh dan Al Bâsith. Ia meyakini sepenuhnya bahwa suatu ketika akan dilepaskan dari kesempitan. Dan, bahwa ada kebijaksaan (hikmah) dan kebaikan Allah yang akan diberikan kepada hamba-Nya. Wallahu a’almu.
Bahrus Surur-Iyunk, Guru SMA Muhammadiyah I Sumenep
Sumber: Majalah SM Edisi 2 Tahun 2018