Dakwah dalam Masyarakat Multikultural

Dakwah dalam Masyarakat Multikultural

Ketiga pilar masyarakat utama (orientasi pada nilai keutamaan, mekanisme amar makruf nahi munkar dan transendensi), saya kira penting dan sangat relevan untuk dikembangkan dalam konteks masyarakat yang plural secara budaya (multikultural). Setidaknya, dalam meminimalisasi ketegangan dan disharmoni budaya yang sangat potensial terjadi  dalam masyarakat multikultural.

Dalam kerangka pengembangan pilar masyarakat utama ini, maka konsep dakeah perlu ditata kembali sehingga dakwah benar-benar menjadi media pembinaan kehidupan dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat lahir dan batin, jasmani dan ruhani, dunia dan akhirat. Hidup bersama yang serasi, rukun dan dinamis, untuk pengabdian kepada Allah, dan kemaslahatan manusia pada umumnya.

Oleh karena itu, strategi dakwah dalam konteks masyarakat multikultural, tidak sekedar bersifat seruan keagamaan untuk mengamalkan ajaran Islam secara baik. Mengajak masyarakat untuk hidup shaleh dalam ketaatan beragama. Tetapi, lebih diarahkan atau ditujukan untuk kesejahteraan hidup. Jadi, kata kunci dakwah dalam masyarakat multikultural adalah kesejahteraan.Bukan semata seruan keagamaan untuk menjalankan ajaran agama. Dakwah semacam ini, tentu harus terencana dan berkesinambungan. Dalam perspektif pengembangan masyarakat (community development), dakwah harus dipahami sebagai proses pembentukan kembali struktur-struktur masyarakat manusia yang memungkinkan dilakukannya berbagai cara baru dalam mengorganisasikan kehidupan sosial dan pemenuhan kebutuhannya.

Dalam konteks ini, ada sejumlah orientasi atau nilai dasar, metode dan strategi dakwah yang dapat dipertimbangkan. Pertama, orientasi dan nilai dasar dakwah dalam masyarakat multikultur yang perlu dikembangkan adalah semangat ukhuwah (persaudaraan), hurriyah (kebebasan), musawah (persamaan) dan adalah (keadilan). Prinsip utama dakwah adalah rahmatan lil’alamin.

Karena itu, semangat ukhuwah dalam berdakwah menjadi sangat signifikan. Dakwah bukan untuk menebar kebencian atau permusuhan yang dapat melonggarkan dan bahkan memecah ikatan kebhinekaan. Dalam kerangka rahmatan lil’alamin, dakwah juga harus memberikan ruang kebebasan atas dasar persamaan bagi setiap komunitas atau masyarakat yang beragam.

Pemaksaan pada satu keyakinan atau kebenaran tertentu yang dianut oleh suatukelompok merupakan pelanggaran atas prinsip rahmatan lil ‘alamin ini. Semangat kebebasan ini, tentu harus dibingkai dalam semangat keadilan. Bukan kebebasan yang tidak bertanggungjawab.

Adapun metode dan strategi dakwah dalam konteks masyarakat multikultural yang dapat dikembangkan adalah seperti yang digagas oleh Ahmad Watik Pratiknya (Allahuyarham), yaitu strategi dakwah multidialogis. Dakwah multidialog ini dilakukan baik pada tingkat individu maupun komunal. Pada tingkat individu, dakwah dapat berupa dialog informasi (pengetahuan), dialog nilai, dialog ide, gagasan atau konsep, dialog estetik (seni-budaya), dialog amal atau karya dan dialog spiritual. Sementara pada tingkat komunal, dakwah dapat berupa dialog ekonomi, dialog sosial, dialog budaya dan seterusnya.

Saya kira, dakwah multidialogis penting untuk dirumuskan secara konseptual-sistematis sampai ke tingkat teknis, sehingga dapat menjadi panduan dakwah warga Muhammadiyah.(IM)

Sumber: Majalah SM Edisi 19 Tahun 2020

Exit mobile version