Memahami Ibadah Menurut Muhammadiyah
Ibadah, menurut Kitab Masalah Lima, ialah bertaqarrub (mendekatkan diri) kepada Allah dengan jalan menaati segala perintah-perintah-Nya, menjauhi larangan-larangan-Nya, dan mengamalkan segala yang diizinkan Allah. Dari segi bentuk dan sifatnya, ibadah dapat berupa ucapan, perbuatan, menahan diri, menggugurkan. Sementara dari segi hukum pelaksanaannya, ada dua jenis ibadah. Pertama, ibadah muamalah, yaitu segala perbuatan baik yang tidak melanggar syariat. Kedua, ibadah mahdhah, yaitu apa saja yang telah ditetapkan Allah perincian, tingkah, dan tata caranya.
Ibadah muamalah bersifat umum. Spiritnya berasal dari Allah, namun teknisnya diserahkan kepada manusia. Misalnya, Allah memerintahkan manusia menuntut ilmu. Perkara menuntut ilmunya nanti lewat sekolah, pesantren, atau bahkan autodidak, adalah mutlak wilayah kreativitas manusia. Tidak ada ketentuan harus begini dan begitu. Pendeknya, ibadah muamalah itu mencakup seluruh aktivitas hidup manusia yang sejalan dengan perintah Allah. Tidak ada batasan. Kuncinya dalam niat. Kaidah mengatakan, an-niyyatu tufarriqu baina al-aadati wa al-ibaadati (niatlah yang membedakan antara [suatu perbuatan itu] kebiasaan saja atau ibadah).
Berbeda dengan ibadah mahdhah. Ibadah jenis ini bersifat khusus. Detail pelaksanaannya harus mengacu instruksi Allah yang telah dicontohkan Rasulullah. Aneka rupa kreativitas manusia dalam ibadah mahdhah dinamakan bid’ah, dan statusnya sesat.
Pelaksanaan rukun Islam terhitung ibadah mahdhah. Redaksi syahadat, misalnya, harus mengikuti tuntunan Rasulullah. Perincian tentang shalat, mulai dari waktu pelaksanaan, jumlah rakaat, hingga kaifiahnya, tidak boleh mengarang. Demikian pula teknis zakat, puasa, dan haji, sama sekali haram berkreasi sendiri. Kita diwajibkan manut Rasulullah.
Muhammadiyah meramu dua jenis ibadah ini secara unik. Dalam ibadah mahdhah, Muhammadiyah sangat puritan. Hanya mau melakukan amalan yang jelas-jelas dipraktikkan Rasulullah. Karena itu, bacaan shalawat dalam shalat, Muhammadiyah menolak tambahan kata sayyidina. Sebab, menurut Muhammadiyah, Rasulullah mengajarkan Allahumma shalli ala Muhammad, dan bukan Allahumma shalli ala Sayyidina Muhammad.
Kendati demikian, purifikasi dalam Muhammadiyah selalu berdimensi dinamisasi. Sejak awal, KH Ahmad Dahlan, pendiri Muhammadiyah, memandang Islam bukan sebatas agama pribadi yang mengatur hubungan manusia dengan Allah. Lebih dari itu, Islam adalah sistem kehidupan manusia dalam segala aspek. Karena itu, Kiai Dahlan kemudian mengajak umat memurnikan ajaran Islam dengan kembali ke Al-Qur’an dan hadis sahih sekaligus melakukan pencerahan kehidupan melalui pemikiran dan gerakan pemberdayaan.
Jadi, pemurnian dalam Muhammadiyah sangat lekat dengan pembaruan. Muhammadiyah welcome terhadap sumber ilmu dari mana saja, asal untuk kemajuan Islam. Di samping getol memurnikan praktik ibadah formal sesuai Al-Qur’an dan hadis sahih, Muhammadiyah juga aktif dalam berbagai aksi pemberdayaan, seperti mendirikan lembaga pendidikan, balai pengobatan, panti asuhan, rumah jompo, rumah miskin, dan lainnya. Inilah bedanya Muhammadiyah dengan gerakan Islam lain.
M Husnaini, Ketua Majelis Pustaka dan Informasi PCM Solokuro Lamongan, Mahasiswa Program Doktoral International Islamic University Malaysia
Sumber: Majalah SM Edisi 2 Tahun 2018