Bahasa Arab: Dulu Pasang, Kini Surut

Bahasa Arab: Dulu Pasang, Kini Surut

Oleh Hajriyanto Y. Thohari

MENGAWALI bukunya yang sangat masyhur Arabic Thought in the Liberal Age 1798-1939, Albert Hourani, mengatakan bahwa orang Arab memiliki kesadaran yang lebih tinggi terhadap bahasanya dibandingkan masyarakat mana pun di dunia. Orang Arab memandang bahasanya, bahasa Arab, bukan hanya sebagai seni tertinggi, melainkan juga warisan bersama yang hebat. Begitu tingginya kedudukan bahasa Arab bagi dirinya, hampir setiap orang arab jika diminta mendefinisikan apa yang dimaksud dengan “bangsa arab” mereka akan mulai dengan mengatakan bahwa bangsa Arab adalah meliputi semua masyarakat yang berbicara dengan bahasa Arab.

Walhasil, bahasa Arablah yang menjadikan orang Arab merasa dirinya bangsa Arab. Dengan kata lain bahasa Arablah yang membentuk bangsa Arab. Ada ungkapan yang sangat terkenal di Arab: “Lisanu al-dhad yajma’una”, dan atau “Lughatu al-dhad yajma’una”, yang artinya, Lisanu al-dhad atau bahasa Dhod mengumpulkan kita! Bahasa Arab itu mempunyai nama lain bahasa Dhod (lughatu al-dhod). Pasalnya, di seluruh dunia ini hanya bahasa Arab yang memiliki huruf dhod atau huruf yang memiliki bunyi seperti dhod. Benar atau atau tidak, biarlah ahli linguistic yang membuktikannya. Setidaknya begitulah klaim orang Arab sampai sekarang ini.

Ketika sebagai orang Jawa saya mengatakan bahwa bahasa Jawa memiliki huruh dengan bunyi Dho seperti misalnya dalam kata dhower, seorang ahli bahasa Arab meminta saya menunjukkan alphabet Jawa. Saya sebutkan alphabet Jowo ho no co ro ko dho…dan seterusnya sampai akhir.  Dia mengatakan bahwa hanya ada satu dho yang dipakai untuk banyak bunyi. Bukan hanya untuk bunyi dho dalam kata dhower, melainkan juga untuk bunyi dodo, ndodok, dolan, dikandani, muda, daan lain-lainnya. Jadi tidak khas.

Sementara dalam huruf hijaiyyah (alphabet Arab) ada huruf dhod  (ض  (, di samping huruh-huruf lain dengan bunyi yang bagi lidah (tongue) Indonesia sering dibaca hampir sama, yaitu dho’  (  (ظ, dal ( د)  dan dzal  ذ) (. Berbeda dengan orang non-Arab (‘ajam), orang Arab penutur asli (natiqy) sangat fasih dan terang benderang dalam membedakan keempat huruf tersebut. Walhasil, huruf dhod memang unik dan khas bahasa Arab. Itulah kenapa bahasa Arab disebut bahasa Dhod (lughatu al-dhod).

Kemampuan bertahan

Di samping klaim yang unik tersebut, bahasa Arab itu, kata banyak orang, juga dikenal sebagai bahasa yang paling indah di dunia (the world’s most beautiful language). Dr. Nurcholish Madjid, yang juga sarjana Sastra Arab itu, dan dia sama sekali bukan orang Arab, saking merasakan begitu hebatnya bahasa Arab sampai menyebutnya secara dramatis sebagai mukjizat Ilahi (lihat Pesan-Pesan Takwa Nurcholish Madjid: Kumpulan Khutbah jum’at di paramadina, Jakarta, 2000, hal. 189).

Saya rasa mukjizat di sini bukan terutama dalam hal keindahan saja, sebab bagaimanapun juga keindahan itu, sebagaimana kecantikan, sifatnya subyektif, atau bahkan nisbi, dan karena itu tidak bisa dipaksakan. Dalam pandangan Cak Nur, kata mukjizat tersebut memang terutama dilihat dari sudut kemampuan bahasa Arab bertahan setelah ribuan tahun yang luar biasa itu. Bahasa Arab adalah satu-satunya bahasa Semitik yang telah berusia ribuan tahun (A Semitic language that is thousands of years old) yang sampai hari ini masih bertahan hidup.

Ada empat bahasa yang paling berpengaruh dalam sejarah dunia, yaitu bahasa Sansekerta, Yunani, Latin dan Arab. Tiga bahasa yang pertama sudah mati, tetapi bahasa Arab tetap hidup. Kata Cak Nur “Jangankan membaca bahasa Latin (yang ditulis) ratusan tahun yang lalu, sekarang saja sudah susah. Sementara buku-buku bahasa Arab itu (yang ditulis) sejak ratusan tahun sebelum Nabi dapat dibaca seperti bahasa sekarang. Jadi mukjizat betul bahasa Arab itu” (lihat Nurcholish Madjid, Atas Nama Pengalaman: Beragama dan Berbangsa di Masa Transisi, Kumpulan Dialog Jumat di Paramadina, Paramadina, Jakarta, 2005, hal. 146).

Bahasa Arab sejak hampir lima puluh yang lalu juga telah menjadi bahasa resmi (official language) PBB berikut seluruh badan-badan (councils) di bawahnya. Walhasil, bahasa Arab memiliki kedudukan politik sejajar bersama dengan hanya lima bahasa dunia lainnya, yakni bahasa Inggris, Perancis, Rusia, Spanyol, dan China, menjadi bahasa resmi di PBB. Gengsi, prestasi dan reputasi Bahasa Arab yang sudah tinggi tersebut bertambah terdongkrak lebih tinggi lagi oleh keberhasilan sastrawan Arab Mesir, Naguib Mahfouz, meraih hadiah Nobel bidang sastra pada tahun 1988. Pasalnya, Naguib Mahfouz menulis dalam bahasa Arab.

Bahasa Arab sampai satu dasawarsa yang lalu masih kokoh menjadi bahasa resmi di 22 negara Arab yang tergabung dalam Liga Arab. Dengan estimasi orang Arab berjumlah sekitar 420 juta, di mana 290 juta dari mereka adalah penutur asli (native speaker atau al-natiqun al-arabiyyun), maka bahasa Arab menjadi bahasa terbanyak kelima yang digunakan oleh manusia di planet bumi ini. Bahkan di Israel, ada banyak sekali warga negara Israel keturunan Arab yang masih tetap setia menjadikan bahasa Arab sebagai bahasa ibu (mother tongue).

Apakah dengan demikian bahasa Arab sekarang ini dapat dikatakan sebagai paling kuat di dunia? Jawabnya hampir pasti: tidak! Bahasa yang paling kuat di dunia saat ini (the most powerful language in the world) adalah bahasa Inggris. Bahasa Inggris hampir-hampir telah menjadi satu-satunya bahasa global. Globalisasi bahasa Inggris telah melanda seluruh dunia tanpa kecuali. Penggunaan bahasa Inggris makin meluas, di media seperti film, TV show, internet, dan sosial media, menjadi jalan propaganda yang sangat mengagumkan bagi perkembangan bahasa Inggris. Segala sesuatu ada dalam bahasa Inggris! Bahasa Inggris mendesak bahasa manapun juga, termasuk bahasa Arab. Kemerosotan bahasa ibu terjadi dimana-mana di seluruh dunia.

Penggunaan bahasa Inggris makin meluas dan mendesak bahasa Arab, bahkan di negara-negara Arab yang berbahasa Arab sebagai bahasa ibu sekalipun! Memang benar kemerosotan bahasa ibu akibat perkembangan bahasa Inggris sebagai bahasa dunia yang terkuat saat ini tidak hanya terjadi di dunia Arab, tetapi juga dialami dan terjadi di hampir seluruh dunia. Begitu dramatisnya tekanan itu sampai Hayat al-Yaqout, pendiri dan Editor in Chief Rumah Penerbit buku, menulis “Arabic vs English: Mother tongue threatened by language globalization” (Kuwait Times, 14 November 2015).

Adalah cukup mengejutkan eksistensi bahasa Arab dalam beberapa tahun terakhir ini makin mengundang kekhawatiran yang luas di dunia Arab. Kekhawatiran ini bukan hanya terjadi di Negara-negara Arab musta’ribah, yakni bangsa-bangsa yang menjadi Arab karena diarabkan atau terarabkan (Arabized), seperti misalnya bangsa-bangsa Arab Levant (Biladu Syam: Lebanon, Suriah, Yordania, Palestina), Mesir, libya, Tunisia, Aljazair dan Maroko, melainkan yang lebih mengejutkan lagi juga bangsa-bangsa Arab asli, seperi Arab Teluk. Intinya adalah bahwa betapa bahasa Arab semakin ditinggalkan oleh generasi muda di negeri Arab sendiri.

Anak-anak muda Arab semakin jauh dari bahasa Arab. Seorang guru di Lebanon mengeluhkan betapa muris-muridnya sudah mulai belepotan berbicara bahasa Arab, dan jauh lebih fasih berbicara dalam bahasa Inggris. Bahkan ketika sang guru menanyakan sesuatu dengan bahasa Arab, muridnya menjawab dengan bahasa Inggris. Para muridnya sudah tidak bisa lagi berbicara dalam bahasa Arab dengan benar dan karena itu mereka berbicara dalam bahasa Inggris atau Perancis.

Apalagi di Lebanon yang dikenal sebagai bangsa poliglot (polyglot nation, multilingual nation), yakni bangsa yang menguasai dan bisa berbicara dalam banyak bahasa, setidaknya tiga bahasa: Arab, Inggris dan Perancis. Bahasa Arab di sini pun terutama adalah bahasa Arab kolokial (colloquial) atau bahasa percakapan sehari-hari, bukannya bahasa Arab baku (modern standard Arabic), apalagi jelas bukan bahasa Arab Fusha atau klasik (classical Arabic). Bahasa Arab fusha dan standar hanya dipakai dalam pidato-pidato resmi Presiden dan pejabat tinggi negara dalam acara-acara yang resmi pula, ceramah atau khutbah Jumat di masjid, dan khutbah kebaktian di gereja.

Di Lebanon nasib bahasa Arab klasik atau fusha lebih mengundang kekhawatiran yang lebih luas lagi. Keluhan yang sama juga terjadi di Mesir. Dengan bahasa Inggris yang sangat sempurna seorang muda keturunan Arab yang tinggal di Amerika Utara mengatakan: “I forgot my Arabic tongue, and lost my homeland in the process. I feel like I’m slowly becoming more and more disconnected from my Arab roots’’.

Bahasa sebagai identitas kultural

Bahasa adalah unsur universal kebudayaan yang paling utama. Jika bahasa mati maka matilah kebudayaannya, dan akhirnya matilah pula jati dirinya sebagai bangsa. Anna Luisa Dalgneault, seorang penulis lagu, musisi, dan sarjana Antropologi Linguistik, mengatakan “When you are losing a language, you are losing much more than words and sentences and terms of things. You’re losing a whole worldview”. (Ketika kamu kehilangan bahasamu, kamu bukan hanya kehilangan kata-kata, kalimat dan istilah-istilah sejenisnya. Sesunggguhnya kamu sedang kehilangan pandangan dunia (ideologi). Mengapa bisa sedemikian seriusnya? Pasalnya “Language is a fundamental pillar of cultural identity –you cannot mantain a cultural identity without mantaining the language. Leave us our language, and leave us our identity.***

Kita orang Indonesia dalam mempertahankan dan mengembangkan bahasa Indonesia perlu belajar pada pengalaman bangsa Arab memperlakukan bahasa kebanggaannya sekarang ini, terutama ketika menghadapi tekanan bahasa Inggris sebagai bahasa dunia yang semakin perkasa sekarang ini. Para ahli bahasa dan pemimpin Indonesia harus memiliki strategi, terutama strategi kebudayaan, bagaimana menjadikan bahasa Indonesia itu bisa bertahan dan menjadi bahasa yang terhormat di dunia ini.

Tantangan bahasa Inggris terhadap bahasa Indonesia di tanah air kita memang belum seberat dan separah yang dihadapi bahasa Arab di dunia Arab. Pasalnya, masih sangat sedikit orang Indonesia yang berbicara dengan bahasa Inggris. Tetapi melihat kecenderungan global sekarang ini pada saatnya rasa-rasanya, menurut prediksi saya, tantangan semacam itu akan datang juga.

Mengulang apa yang dikatakan oleh Anna Luisa Dalgneault di atas: ‘Bahasa adalah pilar utama sebuah identitas dan kebudayaan. Kamu tidak dapat mempertahankan identitas budayamu tanpa mempertahankan bahasamu. Keduanya tidak dapat dipisahkan. Biarkan kami dengan bahasa kami, biarkan kami dengan identitas kami’. Bahasa ternyata sesuatu yang sangat serius, bukan?

Hajriyanto Y. Thohari, Ketua PP Muhammadiyah

Exit mobile version