Pendidikan Kesehatan Otak, Vaksin dan Peningkatan Morbiditas serta Mortalitas pada Komunitas Muslim (1)
Oleh: Wildan dan Nurcholid Umam Kurniawan
“Dia (Allah) menganugerahkan al-Hikmah kepada siapa yang Dia kehendaki. Barang siapa yang yang dianugerahi al-Hikmah, maka ia benar-benar telah diberi anugerah yang banyak. Dan hanya Ulul Albab (orang yang punya pemikiran yang mendalam) yang dapat mengambil pelajaran (dari firman Allah)” (QS Al-Baqarah [2] : 129).
Manusia membutuhkan pendidikan dalam kehidupannya. Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memilki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta ketrampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara. Adapun visi pendidikan nasional adalah terwujudnya sistem pendidikan sebagai pranata sosial yang kuat dan berwibawa untuk memberdayakan semua Warga Negara Indonesia berkembang menjadi manusia yang berkualitas sehingga mampu dan proaktif menjawab tantangan zaman yang selalu berubah. Sedangkan misinya antara lain mengupayakan perluasan dan pemerataan kesempatan memperoleh pendidikan yang bermutu bagi seluruh rakyat Indonesia. Untuk mewujudkannya antara lain melalui jalur pendidikan formal, nonformal dan informal (Undang-Undang RI No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional).
Memang, kesehatan bukan segalanya, tapi tanpa kesehatan segalanya menjadi tidak bermakna, health is not everything but without it everything is nothing (Arthur Schopenhauer, 1788 – 1860). Menurut Undang-Undang RI No. 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan, kesehatan adalah keadaan sehat, baik secara fisik (jasmani), mental (nafsani). spiritual (ruhani), maupun sosial (mujtama’i) yang memungkinkan setiap orang untuk hidup produktif secara sosial dan ekonomis.
Sekarang ini Abad XXI, dikenal sebagai The Century of The Brain, Abad Otak. Meskipun sudah tahu bedanya manusia dengan hewan adalah manusia punya akal budi, sedangkan hewan tidak. Namun, dalam kehidupan sehari-hari sudah menjadi salah kaprah masyarakat Indonesia, selalu berkata : “Yang penting itu hatinya”, sambil jarinya menunjuk ke dadanya (padahal hati letaknya di rongga perut, rongga dada isinya jantung). Jarang yang mengatakan . “Yang penting akalnya atau nalarnya”. Apalagi berkata : “Yang penting akal budinya”. Akibatnya, akalnya dipakai untuk meng-akali dan main akal-akalan. Perilaku mestinya manusiawi berubah menjadi hewani. Dalam bahasa sehari-hari, masyarakat Indonesia mengatakan manusia yang tidak punya hati nurani, “hatinya” tidak bercahaya. Seyogyanya, dikatakan saja berhati zhulmani atau “hati” yang gelap (black heart, jantung yang gelap).
Ibaratnya sebuah negara dengan luas wilayah dari ujung rambut di kepala sampai ujung kaki, maka otak merupakan kalbunya (al-qalb merujuk pada organ yang paling istimewa dalam tubuh manusia, sedangkan istilah al-‘adhlat ul-qalbiyah untuk jantung, sesungguhnya letak emosi di otak pada sistem limbik, bukan di hati atau jantung), ibukotanya atau merupakan pusat tempat pemerintahan. Otaklah yang paling berharga dan ini dapat disimpulkan dari fakta bahwa kematian terjadi dengan berakhirnya proses otak (brain death), bukan dengan berakhirnya proses jantung (heart death). Otaklah yang mampu mengontrol fungsi organ tubuh lainnya secara keseluruhan. Otaklah yang dapat mengatur segala aktivitas hidup manusia (Machfoed, 2016). Setiap perilaku, baik pikiran, perasaan, atau tindakan manusia berawal di otak. Otak merupakan sumber fisik perilaku dan bertindak sebagai pusat komando pengendalian perilaku. Otaklah yang membuat manusia menjadi manusia, it is the brain that makes man a man (Livingtone, 1976 dalam Aswin, 1995).
Menurut Machfoed (2016), belum ada definisi kongkrit tentang otak sehat. Karena itu mengacu pada Undang-Undang Tentang Kesehatan tersebut di atas, maka secara sederhana otak sehat dapat diartikan sebagai otak yang keberadaannya juga sehat secara fisik, mental, spiritual dan sosial. Otak sehat (healthy brain) amat penting bagi kehidupan seorang manusia, lebih-lebih untuk seorang pemimpin yang berotak sehat ibarat matahari yang menyinari semesta alam. Sinarnya membuat alam hidup bergairah. Otak sehat berbeda dengan otak normal (normal brain). Disebut normal, apabila otak memiliki struktur anatomi dan fungsi seperti apa adanya (anatomical and physiological normally). Otak sehat bukan sekedar otak normal. Otak sehat tidak saja karena ia dapat berfungsi secara baik, tetapi juga memiliki nilai-nilai (values) tertentu terhadap setiap fungsi yang dimilikinya. Bahwa otak bukan semata-mata daging biasa seperti dipahami selama ini oleh masyarakat Indonesia, tetapi memiliki nilai-nilai (values) membangun peradaban hingga bisa bertahan. Bahkan, kepemimpinan yang tepat, harus bisa mendayagunakan kemampuan otak secara optimal, sehingga ia melampui batas kenormalannya menuju kesehatan otak !
Menurut Madjid (2015), kesehatan berkaitan dengan sifat Tuhan Al-Rahman, Maha Kasih tanpa pilih kasih. Artinya, biarpun hamba-Nya kafir, Allah tetap kasih kepada mereka. Nikmat kesehatan, sebagai bentuk rahmat Allah kepada kita, tidak tergantung iman kita, tidak tergantung pada ibadah kita, tidak tergantung pada kesalahan kita. Tetapi tergantung pada seberapa jauh kita mengetahui masalah-masalah kesehatan. Sedangkan Ar-Rahim adalah sifat Allah yang Maha Kasih di Akhirat. Maka, kasih Allah sebagai Ar-Rahim adalah atas dasar pertimbangan keimanan. Orang yang beriman akan mendapat Rahmat Allah sebagai Ar-Rahim, tetapi yang tidak beriman tidak dapat. Suatu kasih yang berpertimbangan. Kesuksesan dengan ilmu pengetahuan, belum tentu membawa kita pada kebahagian abadi secara spiritual. Karenanya, sukses kita harus dilakukan dengan pertimbangan akhlak dan moral supaya meraih Rahmat Allah sebagai Ar-Rahim. Jangan mengulangi kesalahan kakek-nenek manusia, Adam dan Hawa, setelah diberikan ilmu pengetahuan, mereka lupa batas, akhirnya dikeluarkan dari surga. Ilmu pengetahuan tidak menjamin kebahagian abadi. Tetapi dengan iman saja, kita tidak bisa unggul di dunia ini. Harus ada iman dan ilmu pengetahuan !
Menurut Zohar (dalam Pasiak, 2012) spiritualitas yang membuat manusia selalu bertanya mengapa seseorang melakukan apa yang dia lakukan dan membuat manusia mencari cara-cara bertindak secara fundamental lebih baik. Unsur-unsur inilah yang membuat seseorang menciptakan perubahan dunia.
Umat Islam, Akal dan Sains
Katakanlah, “Apakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?”. Sebenarnya hanya orang berakal sehat yang dapat menerima pelajaran (QS Al-Zumar [39] : 9).
Menurut Purwanto (2015), ketertinggalan umat Islam akan sains & teknologi memunculkan keprihatinan yang mendalam di kalangan sarjana Muslim kontemporer. Kesadaran dan tekad untuk kembali menguasai sains dan teknologi, sebagaimana pada masa kejayaan sarjana Muslim awal, pun menyeruak di mana-mana. Misi kekhafifahan yang rahmatan lil ‘alamin tidak mungkin dapat direalisasikan jika umat Islam umat yang bodoh, lemah, dan bergantung pada belas kasihan pihak luar.
Selama obor ilmu pengetahuan dibawa orang Islam, Yunani dan Eropa berada dalam kegelapan. Kebudayaan Eropa pertengahan ditandai oleh agama Kristen sehingga segala ungkapan kebudayaan pun dikuasai oleh gereja Kristen. Unsur kebudayaan yang beragam diikat oleh agama menjadi satu kesatuan. Sebagai konsekuensinya, jiwa manusia pun terikat.
Kemudian datanglah zaman modern yang menjadi antitesis zaman tersebut. Renaisans (Renaissance) berarti kelahiran kembali. Ia mengacu pada upaya untuk menghidupkan kembali kebudayaan Yunani-Romawi. Renaisans di mulai di Italia pada abad ke-14 oleh tokoh-tokoh di bidang kesusastraan, seperti Petrarca (1304 – 1374) dan Boccaccio (1313 -1375), yang menggali inspirasi dan kesusastraan klasik Yunani-Romawi, dan dalam bidang seni rupa terdapat pelukis, pengukir, dan arsitek bernama Michelangelo (1475 – 1565).
Zaman modern ditandai dengan bangkitnya kesadaran akan kemampuan akal manusia dan memuncak pada masa pencerahan. Timbul sikap kritis terhadap wahyu, tradisi dan kekuasaan. Keberhasilan mencolok pada abad modern ini adalah dikukuhkannya sains sebagai “agama” baru.
Sains adalah pengetahuan yang sistematis. Sains adalah suatu eksplorasi ke alam materi berdasarkan observasi dan mencari hubungan-hubungan alamiah yang teratur mengenai fenomena yang diamati serta bersifat mampu menguji diri sendiri. Sains bertumpu pada obyektivitas yang dapat diuji ulang dan merupakan kontribusi semua ilmuwan di muka Bumi tanpa pandang bangsa dan agama. Setiap orang dapat berkontribusi dan mendapatkan penghargaan tertinggi dalam sains, hadiah Nobel. Sebut saja LD Landau (1962) dari Rusia yang negerinya notabene komunis-ateis, Chen-Ning Yan dan Tsung-Dao Lee (1957) dari Cina yang komunis-Khong Hu Cu, Hideki Yukawa (1949) dari Jepang yang Buddhis-Zen, CV Raman (1930) dari India yang Hindu, Abdus Salam (1979) dari Pakistan yang Muslim, dan Enrico Fermi (1938) dari Italia.
Menurut Madjid (2019), meskipun Abad Modern ini merupakan perkembangan lebih lanjut mayarakat berkota Negeri-negeri Islam, tapi kaum Muslimin pulalah yang paling parah menderita dalam menghadapinya. Ini bisa diterangkan paling tidak oleh adanya tiga hal : pertama, bersifat psikologis, yaitu karena perasaan sebagai kelompok manusia paling unggul selama ini, kaum Muslimin tidak mempunyai kesiapan mental sama sekali untuk menerima kenyataan bahwa bangsa lain bukan Muslim bisa lebih maju dari mereka; kedua, sejarah interaksi bermusuhan yang lama antara Dunia Islam dengan Dunia Kristen (orang-orang Eropa tetap menyimpan dendam untuk penaklukan Spanyol di barat dan negeri-negeri Balkan di timur oleh kaum Muslimin, begitu juga untuk Perang Salib yang berkepanjangan dan berakhir dengan kekalahan tentara Kristen itu); dan ketiga, letak geografis Dunia Islam yang berdampingan serta berhubungan dengan Eropa, yang memperbesar arti kedua hal tadi.
Penderitaan Dunia Islam menghadapi Abad Modern memuncak ketika secara tak terelakkan, bangsa-bangsa Eropa mendapati diri mereka mampu dengan mudah sekali mengalahkan bangsa-bangsa lain, khususnya umat Islam yang selama ini dikagumi dan ditakuti namun juga dibenci.
Selanjutnya, pertanyaan yang terberat para penganut agama Islam ialah, bagaimana mungkin umat Islam yang merupakan para pemeluk kebenaran Ilahi yang final bisa terkalahkan oleh kelompok lain? Apakah Tuhan telah tidak lagi berpihak kepada hamba-hamba-Nya yang shalih? Jika masih berpihak, lalu apa yang sebenarnya terjadi pada umat sehingga berdosa dan dihukum dengan kekalahan dan kehinaan? Apakah ada yang salah pada umat dalam memahami dan mengamalkan agamanya itu? Jika ada, di mana letak kesalahannya, dan bagimana memperbaikinya? (Pertanyaan serupa juga pernah muncul ketika terjadi serbuan bangsa Mongol, tapi tak seprinsipil menghadapi Barat sekarang).
Muhammad ‘Abduh (1845 – 1905, dalam Madjid 2019), berhujjah (argumentasi dalam menetapkan hukum) bahwa antara ilmu dan iman tidak mungkin bertentangan, meskipun ia juga mengatakan keduanya itu berjalan pada tingkatan yang berbeda. Ia berusaha menyajikan ajaran-ajaran dasar Islam dalam suatu kerangka intelektual yang bisa diterima oleh pikiran modern dan yang sekaligus di satu pihak memungkinkan pembaharuannya terus-menerus dan di lain pihak memberi ruang bagi tuntutan ilmu pengetahuan baru. Ia bahkan berargumentasi bahwa Islamlah satu-satunya agama yang konsisten menyeru para pemeluknya untuk menggunakan ratio dan memahami alam. Mungkin tidak ada yang terlalu baru dalam pandangan keagamaan serupa itu, tapi tekanan kuat yang diberikan ‘Abduh kepada segi keserasian antara iman dan akal. Bahwa letak keunggulan agama Islam dibanding agama-agama lain, sebagaimana ditunjang oleh banyak tinjauan yang lebih netral, ialah dogma-dogma dasarnya dapat sepenuhnya diterangkan secara rasional dan bebas dari berbagai macama misteri. Bahwa agama Islam tidak perlu identik dengan orang-orang Islam – dalam artian bahwa Islam sebagai agama tidak bisa salah, yang harus dicari kesalahannya ialah para pemeluknya – memperoleh penerimaan yang meluas di kalangan kaum modernis. Muhammada “Abduh sendiri mengatakan bahwa Islam tertutup oleh kaum Muslimin (Al-Islam mahjub bi al-muslimin).
Guru Besar Cairo University, Syaih Thanthawi menulis dalam tafsirnya, Al Jawahir, di dalam kitab suci Al-Qur’an terdapat lebih dari 750 ayat Kauniyah, ayat tentang alam semesta dan hanya sekitar 150 ayat Fiqih. Anehnya, para ulama telah menulis ribuan kitab Fiqih. Tetapi nyaris tidak memperhatikan serta menulis kitab tentang alam raya dan isinya (Purwanto, 2017).
Selain disibukkan urusan Fiqih, pengalaman dan pengamalan keagamaan cenderung esoteris (sangat tidak biasa dan dipahami atau disukari oleh segelintir orang) dan meremehkan akal. Padahal secara empiris, akal sangat powerful. Al-Qur’an sendiri tidak kurang dari 43 kali menggunakan kata “akal” dalam bentuk verba seperti afala ta’qilun, “Apakah engkau tak berpikir?”. Sepuluh ayat lainnya menggunakan verba “pikir”, la’allakum tafakkarun, “Agar engkau memikirkannya”. Teguran agar manusia menggunakan akalnya seoptimal mungkin (Purwanto, 2017). Umumnya, umat Islam hanya sampai pada beribadah, tetapi tidak berpikir ! (Madjid, 2015). Bersambung
Wildan, Dokter Jiwa RS PKU Muhammadiyah Bantul
Nurcholid Umam Kurniawan, Dokter Anak, Direktur Pelayanan Medik RS PKU Muhammadiyah Bantul & Dosen FK-UAD