Pendidikan Kesehatan Otak, Vaksin dan Peningkatan Morbiditas serta Mortalitas pada Komunitas Muslim (2)

Pendidikan Kesehatan Otak, Vaksin dan Peningkatan Morbiditas serta Mortalitas pada Komunitas Muslim (2)

Oleh: Wildan dan Nurcholid Umam Kurniawan

Kemuliaan Ilmu Pengetahuan daripada Harta Benda

Dulu, ketika seorang laki-laki Badui, orang Arab pedalaman, datang menghadap Nabi Muhammad Saw. mohon petunjuk agar dapat berperilaku baik. Karena orang ini berasal dari desa, dan berpendidikan rendah, sambil Nabi memegang dada orang itu (dada sebagai simbol emosi atau “hati nurani”) berpesan : “Jika engkau beramal shaleh, perasaanmu akan damai, nyaman dan tenteram. Sebaliknya, jika engkau beramal salah, jantungmu akan berdebar-debar, gelisah, tidak nyaman dan tidak tenteram”. Dia patuh petunjuk Nabi dan tercatat sebagai orang yang shaleh karena senantiasa bertindak berdasarkan “hati nurani” (Madjid, 2015).

Ketika Nabi memberi petunjuk kepada Ali bin Abi Thalib, bahwa agama itu pikiran ! Karena Ali itu seorang intelektual (hanya di antara al Khulafa’ar-Rasyidun yang meninggalkan sebuah karya monumental, ‘Nahj al-Balagh’), yang kecerdasannya diakui oleh Nabi, Nabi berkata : “Saya ini kotanya ilmu, Ali itu pintu gerbangnya” (Audah, 2003). Berbeda ketika menghadapi orang Badui, Nabi tidak perlu sampai memegang jidat Ali, karena Ali sudah paham !

Menurut kisah dalam sejarah, 10 orang Khawarij berbondong-bondong menuju rumah Ali bin Abi Thalib. Mereka datang dengan emosi tinggi karena sebelumnya mereka itu kelompok anti Ali. Di sisi lain mereka melihat Ali bin Abi Thalib memiliki kepandaian dan ilmu pengetahuan agama Islam yang luar biasa.

Orang-orang Khawarij tidak menyukai Ali karena perselisihan antara Ali dengan Mu’awiyah. Kebijaksanaan Ali banyak yang tidak disetujui oleh kaum Khawarij. Sepuluh orang Khawarij itu telah berhadapan dengan Ali. Mereka diterima oleh Ali dengan husnuzzan dan hati terbuka. Mereka itu adalah tamu sesama Muslim, walaupun berbeda visi politiknya.

Salah seorang dari mereka mulai membuka pembicaraan : “ Wahai Ali ! Kami 10 orang utusan yang diutus oleh kaum kami untuk menanyakan suatu persoalan kepadamu. Kami akan bergantian bertanya dan minta pendapat Anda, hasil pertemuan dan dialog ini akan kami sampaikan kepada kaum kami”. “Baiklah” ujar Ali lembut, “Silahkan langsung Anda bertanya karena saya sudah siap untuk menjawab”. Orang pertama membuka pertanyaan : “Manakah yang lebih mulia, ilmu pengetahuan atau harta benda !”.

Jawab Ali : “Pengetahuan dan ilmu adalah warisan para Nabi. Sedangkan harta kekayaan adalah warisan Fir’aun, Qarun, Syadad dan yang semacam itu. Oleh karena itu ilmu lebih mulia kedudukannnya daripada harta”. Orang kedua bertanya, isi pertanyaannya sama dengan orang yang pertama. Pertanyaannya orang ketiga sama dengan orang yang kedua, demikian selanjutnya sampai kepada pertanyaan orang kesepuluh. Isi pertanyaan semuanya sama. Akan tetapi jawaban dari Ali, untuk masing-masing pertanyaan yang sama itu jawabannya tidak sama.

Jawabannya sebagai berikut : untuk pertanyaan kedua, “Ilmu itu lebih mulia daripada harta, karena ilmu dapat menjaga pemiliknya. Adapun harta, pemiliknyalah yang harus menjaganya”. Untuk pertanyaan ketiga, “Ilmu lebih mulia dari harta, karena orang yang berilmu banyak sahabatnya, sedangkan orang yang banyak hartanya lebih banyak musuhnya”.

Pertanyaan selanjutnya sampai kepada orang kesepuluh tetap berkisar kelebihan ilmu daripada harta. Jawaban Ali juga berbeda dan saling mengisi antara jawaban satu dengan lainnya. Jawaban pertanyaan keempat : “Ilmu lebih mulia dari harta, karena ilmu apabila disebarluaskan akan bertambah-tambah, sedangkan harta bila disebarluaskan akan semakin susut”. Jawaban pertanyaan kelima : “ Ilmu leklbih mulia dari harta, karena ilmu tidak dapat dicuri oleh orang, sedangkan harta dapat dicuri dan dapat pula hilang”. Jawaban pertanyaan keenam : “Ilmu lebih mulia dari harta, karena ilmu tidak dapat binasa, tidak akan habis selamanya, sedangkan harta bisa habis, musnah karena masa dan usia”. Jawaban pertanyaan ketujuh : “Ilmu lebih mulia dari harta, karena ilmu tidak ada batasnya, sedangkan harta benda ada batasnya, dapat dihitung jumlahnya”. Jawaban pertanyaan kedelapan : “Ilmu lebih mulia dari harta, karena ilmu memberi sinar kebaikan, menjernihkan pikiran, memberi sinar di dalam hati dan menenangkan jiwa. Sedangkan harta benda, pada umumnya membebani hati, mengacaukan pikiran dan menggelapkan jiwa”. Jawaban pertanyaan kesembilan : “ Ilmu lebih mulia dari harta benda, karena orang berilmu lebih suka kepada kebajikan dan mendapat sebutan mulia, sedangkan orang berharta bisa menjadi melarat, serta cenderung kepada sifat tamak dan bakhil”. Jawaban pertanyaan kesepuluh : “Ilmu lebih mulia dari harta benda, karena orang yang berilmu lebih terdorong untuk mencintai Allah, merendahkan diri, bersifat adil dan berperikemanusiaan, suka mengasihi kepada sesama, sedangkan harta benda cenderung membuat orang angkuh, membangkitkan perasaan melebihi orang lain, melahirkan sifat takabbur”.

Setalah mendapat jawaban dari Ali kesepuluh orang ini terheran-heran dan kagum serta puas atas semua jawaban Ali. Mereka kembali ke rumah masing-masing, menyampaikan hasil dialog dengan Ali. Sejak itu mereka memandang Ali sebagai imam mereka dan sebagai amirul mu’minin (al-Buny, 2001).

Belajar Sejarah Vaksin dan Peningkatan Morbiditas serta Mortalitas Komunitas Muslim di Indonesia

“Jangan sekali-kali meninggalkan sejarah”, demikan pesan Bung Karno (1901 – 1970), Presiden pertama RI. Menurut sejarawan Kuntowijoyo (1995), sejarah adalah rekonstruksi masa lalu. Secara umum sejarah mempunyai fungsi pendidikan, yaitu sebagai pendidikan : 1) moral, 2) penalaran, 3) politik, 4) kebijakan, 5) perubahan, 6) masa depan, 7) keindahan, dan 8) ilmu bantu. Selain sebagai pendidikan sejarah juga berfungsi sebagai 9) latar belakang, 10) rujukan, dan 11) bukti.

Sejarah dunia mencatat vaksinasi berevolusi secara bertahap dalam hal teknik dan sediaannya. Tercatat dalam sejarah sejak 200 SM proses membuat kebal terhadap penyakit atau dalam istilah medis disebut imunisasi, telah dilakukan masyarakat Asia dengan teknik yang disebut dengan ‘inokulasi”. Inokulasi adalah memindahkan sedikit mikroorganisme dari orang/binatang yang sedang sakit ke orang yang belum terkena penyakit. Teknik ini dulunya pernah digunakan pada penyakit cacar (historyofvaccine.org, 2021) Dalam sejarah Islam teknik ini juga digunakan para tentara Islam sebelum berangkat berperang di wilayah lain dan dipakai oleh beberapa ilmuan Islam.

Sejarah Ilmuan Islam mencatat Abu Bakar Muhammad bin Zakaria ar-Razi, orang barat atau Eropa menyebutnya dengan panggilan Rhezes adalah orang mencatat teknik inokulasi secara ilmiah dalam jurnal dan menguji coba teknik ini pada binatang kera. Syaikh Abu Bakar ar-Razi hidup antara tahun 864M – 930M. Ia lahir di Rayy, Teheran Iran pada tahun 251 H./864M dan wafat pada tahun 313 H/925. Ar-Razi sejak muda telah mempelajari filsafat, kimia, matematika dan kesastraan. Dalam bidang kedokteran, ia berguru kepada Hunayn bin Ishaq di Baghdad. Dalam kitabnya Al-Judari wa Al-Hasbah, yang artinya ‘Penyakit Cacar dan Campak’, menulis secara rinci soal penyakit cacar (Smallpox) dan campak (Measles). Satu jenis penyakit atau wabah menular, ganas dan mematikan. Yang menarik kitab Al-Judari wa Al-Hasbah ini ditulis sekitar abad ke-9, hampir seribu tahun sebelum vaksin cacar dan campak ditemukan. Dan Al-Razi secara jelas mendeskripsikan bahwa penyakit ini menimbulkan wabah, menular lewat darah, dapat menyerang anak-anak maupun dewasa (Abdul Muiz Ali, Telaah Vaksinasi : Dari Sejarah Hingga Hukumnya, 2021).

Kerajaan Turki Utsmaniyah juga secara luas mengadopsi teknik inokulasi ini untuk mencegah keluarga kerajaan dan rakyat Turki terjangkit penyakit cacar/smallpox/ variola. Khusus untuk variola ini tekniknya disebut ‘variolisasi’ yaitu dengan memasukkan cairan atau keropeng orang yang telah sakit variola ke orang sehat sehingga akan terbentuk kekebalan atau antibodi. Teknik ini menyebar luas di seluruh Asia dan akhirnya diadopsi oleh para dokter dan ilmuwan di Eropa dan Amerika Serikat pada Abad ke 18. Pada awal abad 19, para dokter menyatakan bahwa teknik inokulasi ini tidak aman karena berisiko pada orang yang sehat dapat benar-benar tertular penyakitnya dengan manifestasi klinis yang berat sehingga perlu dipikirkan teknik lain yang lebih aman. Akhirnya pada tahun 1803 seorang ilmuwan dan dokter dari Inggris memperkenalkan istilah ‘vaksinasi’ berasal dari bahasa latin ‘vacca’ yang artinya Sapi, merujuk pada penyakit yang saat itu mewabah yaitu cowpox/cacar sapi. Sejak Jenner menemukan vaksinasi inilah teknik imunisasi berkembang dengan pesat hingga menjadi ilmu modern saat ini dengan berbagai macam jenis vaksin dan teknik pembuatan vaksin yang berkembang sangat maju mulai dari vaksin dari virus atau bakteri hidup yang dilemahkan, dimatikan, kloning antibodi, mRNA, toksoid dan terakhir vaksin dendritik yang sedang dikembangkan pak Terawan, tujuan akhirnya sama yaitu memberantas penyakit dan membentuk antibodi pada manusia supaya dapat menghadapi virus atau bakteri.

Sejak vaksinasi berkembang pesat, maka puluhan penyakit telah dapat dilenyapkan dari muka bumi, paling tidak penderitanya sudah sangat sedikit dan yang sakit pun tidak sampai meninggal dunia seperti penyakit TBC, Difteri, Pertusis, Polio, Campak, Hepatitis B dan lainnya. Seiring dengan semakin banyaknya penyakit yang jarang ditemui, maka masyarakat mulai mempertanyakan manfaat vaksinasi, dibumbui berita-berita negatif dan hoax tentang vaksin ini, yang katanya vaksin buatan orang kafir untuk membunuh orang-orang Islam sehingga jumlahnya berkurang, vaksin dipasangi chip untuk memonitor pergerakan orang Islam, vaksin diisi barang-barang yang najis dan haram, vaksin berisi unsur yang membahayakan tubuh dan lain-lainnya yang membuat masyarakat menjadi ragu melakukan vaksinasi. Skenario negatif dan hoax ini biasanya disebarkan oleh golongan anti vaksin dan tersebar di seluruh dunia bahkan tidak hanya di komunitas Muslim, tapi ada di semua komunitas agama, baik Kristen, Katolik, Yahudi, tentunya dengan bumbu berita hoax yang berbeda untuk masing-masing komunitas. Sayangnya di komunitas Muslim, berita negatif dan hoax tentang vaksinasi lebih santer gaungnya sehingga pengikutnyapun juga banyak.

Banyaknya antivaksin di kalangan komunitas muslim ternyata berdampak signifikan pada peningkatan angka morbiditas dan mortalitas (banyaknya anak yang sakit dan meninggal). WHO mencatat di negara Bangladesh dan Afghanistan merupakan negara yang belum bebas dari polio hingga saat ini karena banyaknya anak yang belum divaksinasi, begitu juga beberapa negara Afrika yang notabene negara dengan penduduk mayoritas Islam masih ditemukan angka morbiditas dan mortalitas yang tinggi akibat campak, difteri, pertusis dan TBC, padahal penyakit-penyakit tersebut dapat dicegah dengan vaksinasi/imunisasi. Bagaimana dengan komunitas Muslim di Indonesia? Setali tiga uang, sama saja. Lihatlah angka morbiditas dan mortalitas di propinsi-propinsi yang cakupan imunisasinya rendah, korelasinya sangat jelas. Walaupun ada faktor lain yang mempengaruhi cakupan imunisasi yang gagal, seperti ketiadaan kulkas vaksin di fasilitas kesehatan, listrik yang tidak stabil sering ‘byarpet’ sehingga vaksin rusak, transportasi yang sulit, ketiadaan tenaga kesehatan yang menyuntikkan, semua berkolaborasi dengan isu antivaksin dalam meningkatkan jumlah anak yang sakit dan atau cacat akibat penyakit menular yang sebenarnya bisa dicegah dengan imunisasi. Medio tahun 2017 yang lalu beberapa propinsi yang basisnya mayoritas Muslim juga dihantam dengan meledaknya kembali penyakit difteri dan campak hingga menimbulkan puluhan kematian anak. Untungnya Ikatan Dokter Anak Indonesia bergerak cepat melakukan vaksinasi massal di propinsi-propinsi tersebut sehingga penularan dapat dihentikan.

Ketika berbicara tentang hidup, Tuhan menggunakan kosa kata Aku. Artinya, hanya Tuhanlah yang memberi hidup. Ketika berbicara tentang kematian, Tuhan menggunakan kosa kata Kami. Artinya, Tuhan melibatkan manusia dalam proses kematian, dengan kata lain manusia ikut diberi peran dalam urusan panjang-pendeknya umur dirinya. Oleh sebab itu, Tuhan melarang manusia agar tidak melakukan tindakan bunuh diri atau membunuh, karena tindakan itu menyebabkan kematian sebelum saatnya. Dengan demikian, menolak vaksinasi Covid-19 maupun vaksinasi yang lain, akan meningkatkan risiko terjadinya kematian sebelum saatnya. Maka, para penolak vaksin hanyalah sekedar otaknya normal, belum menuju ke arah otak yang sehat ! Gitu aja kok repot !

Lat but not least, Janganlah engkau bertanya apa dapat diberikan negerimu padamu. Bertanyalah apa yang dapat kamu berikan untuk negerimu, Ask not what your country can do for you. Ask what you can do for your country,(John F Kennedy, Presiden AS, 1961 – 1963).

Wildan, Dokter Jiwa RS PKU Muhammadiyah Bantul

Nurcholid Umam Kurniawan, Dokter Anak, Direktur Pelayanan Medik RS PKU Muhammadiyah Bantul & Dosen FK-UAD

Exit mobile version