Muhammadiyah, Gerakan Ilmu dan Toleransi

Manhaj Tarjih Muhammadiyah

Manhaj Muhammadiyah

Muhammadiyah, Gerakan Ilmu dan Toleransi

Oleh: Hajriyanto Y. Thohari

DUA di antara tiga belas rekomendasi Muktamar ke-47 Muhammadiyah tanggal 3-7 Agustus 2015, di Makassar, adalah, pertama, keharusan membangun masyarakat dengan ilmu pengetahuan; dan kedua, keharusan membangun toleransi dan kerukunan antar umat beragama. Sungguh kedua poin ini bukan hanya merupakan isu yang penting dan aktual, melainkan juga sangat strategis dewasa ini. Dan karena itu menjadi bagian utama dari pandangan Muhammadiyah tentang isu-isu strategis keumatan, kebangsaan, dan kemanusiaan universal.

Pentingnya membangun masyarakat ilmu sangatlah urgen dan strategis. Betapa tidak, bangsa Indonesia yang sebentar lagi memperingati Proklamasi Kemerdekaan yang ke-70 tingkat pendidikan rata-rata rakyatnya baru kelas delapan alias kelas dua SMP. Bayangkan, setelah tujuh puluh tahun berdiri negara ini baru bisa menyekolahkan rakyatnya sampai segitu. Bandingkan dengan negara tetangga kita Malaysia (lulus SMA) dan Singapura (Diploma I). Sementara kita akan memasuki Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) pada akhir tahun 2015 ini. Sungguh tak terbayangkan bagaimana bangsa dengan tingkat pendidikan rata-rata kelas 8 harus berkompetisi dengan bangsa-bangsa tetangga dekatnya yang tingkat pendidikan rata-ratanya jauh lebih tinggi itu?

Sebagai gerakan yang sejak didirikan pada tahun 1912 dan sepanjang kiprahnya selama satu abad pertama usianya mempelopori pendidikan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa, Muhammadiyah sangat prihatin dengan masih rendahnya tingkat pendidikan bangsa Indonesia. Muhammadiyah yang telah mengabdikan dirinya untuk bangsa ini dengan mendirikan 174 Universitas/Perguruan Tinggi, 4.623 Taman Kanak-Kanak, 2.604 SD/MI,  1.774 SMP/MTs, 1.143 SMA/MA/SMK, dan 97 Pondok Pesantren, merasa terkejut dan galau dengan fakta masih rendahnya tingkat pendidikan bangsa setelah 70 tahun merdeka ini.

Jika tingkat pendidikan rata-rata rakyat faktanya masih setingkat itu maka sungguh tidak mengherankan manakala perkembangan ilmu pengetahuan di negeri ini juga masih jauh tertinggal dari bangsa-bangsa lain. Bangsa Indonesia yang merupakan bangsa terbesar keempat di dunia (setelah RRT, India, dan Amerika serikat) alih-alih menjadi pelopor perkembangan ilmu, justru sebaliknya bangsa ini masih konsumen ilmu. Sumbangan Indonesia dalam perkembangan ilmu pengetahuan dunia masih sangat minimalis. Hampir semua buku teks dan literatur dalam berbagai bidang dan disiplin ilmu pengetahuan masih impor dari luar negeri. Demikian juga tentunya dengan teknologi. Benar-benar bangsa konsumen in optima forma!

Muhammadiyah menilai budaya ilmu di Indonesia masih rendah dan itu menjadi sumber masalah yang serius bagi bangsa. Kelemahan budaya keilmuan menyebabkan sebagian warga bangsa sering bertindak tidak rasional, primordialisme yang sempit, dan beragam perilaku klenik, mistis, magis dan takhayul yang mematikan akal sehat. Aneh bin ajaib-nya, masih saja ada orang yang berpendidikan tinggi dan berilmu alih-alih memberantas, malah membela perilaku serta praktik-praktik yang antiilmu dan antiakal sehat semacam itu.

Kelemahan budaya ilmu juga menjadi salah satu sebab utama sebagian bangsa ini tidak kritis dan selektif terhadap banjir informasi. Bangsa ini mudah terprovokasi, dihasut, diadu-domba, dan akhirnya bertindak intoleran terhadap perbedaan. Tak heran jika sekadar perbedaan aliran, madzhab, dan sekte, cukup untuk menjadi sebab terjadinya ketegangan atau malah konflik di tengah masyarakat yang bahkan tidak jarang melahirkan kekerasan.

Gerakan toleransi

Maka seiring, sejalan, dan sebagai kelanjutan dari rekomendasi yang pertama tersebut di atas, Muktamar ke-47 Muhammadiyah mengeluarkan rekomendasi yang kedua, yaitu keharusan bagi bangsa ini membangun toleransi dan kerukunan antarumat beragama yang berbasis keimanan, keilmuan dan kemajemukan. Kehidupan yang penuh toleran hanya bisa dibangun berdasarkan pemahaman teologi yang kuat, keilmuan yang luas, dan paham kemajemukan yang mendarah-daging dan membalung-sumsum.

Muhammadiyah tidak menginginkan adanya kelompok-kelompok yang karena kurang ilmu suka menghakimi, menanamkan kebencian dengan aroma dendam, dan melakukan tindakan kekerasan terhadap kelompok lain dengan dengan tuduhan sesat, kafir, liberal, dan tuduhan lainnya. Kecenderungan takfiri bertentangan dengan watak Islam yang menekankan kasih sayang, kesantunan, tawasut, dan toleransi. Sikap mudah mengkafirkan pihak lain memang disebabkan oleh banyak faktor antara lain cara pandang keagamaan yang sempit, fanatisme dan keangkuhan dalam beragama, miskin wawasan, kurangnya interaksi keagamaan, pendidikan agama yang eksklusif, politisasi agama, serta pengaruh konflik politik dan keagamaan dari luar negeri.

Akibatnya akhir-akhir ini energi umat tersedot dalam persoalan pertentangan antara pengikut kelompok Sunni dan Syiah. Muhammadiyah mengajak umat Islam untuk bersikap kritis dengan berusaha membendung perkembangan kelompok takfiri melalui pendekatan dialogis, dakwah yang terbuka, mencerahkan, mencerdaskan, serta interaksi sosial yang santun.

Muhammadiyah memandang berbagai perbedaan dan keragaman adalah sunnatullah.  Untuk mencegah semakin meluasnya konflik antara kelompok, termasuk di dalamnya kelompok Sunni dan Syiah di Indonesia, Muhammadiyah mengajak umat Islam untuk mengadakan dialog intra umat Islam serta mengembangkan pemahaman tentang perbedaan keagamaan di antaranya dengan menyusun fiqh khilafiyah dan kemudian mendiseminasikan atau mensosialisasikannya ke tengah-tengah masyarakat antar dan internal umat beragama untuk meminimalisasi konflik horizontal.

Gerakan ilmu

Sangat meyakinkan bahwa ketegangan dan apalagi konflik horizontal karena alasan perbedaan agama atau aliran/madzhab itu tidak akan mudah terjadi dalam masyarakat yang memiliki budaya ilmu dan pemahaman ilmu agama yang tinggi. Pasalnya, dalam dunia ilmu perbedaan itu memang lumrah karena perbedaan paradigma, dan perbedaan serta kemajemukan dalam agama itu memang sudah sunnatullah alias given. Demikian juga halnya fenomena multialiran dan multimadzhab dalam beragama itu juga bukan fenomena baru bahkan hampir setua agama itu sendiri.

Dalam konteks dan perspektif itu bangsa Indonesia perlu membangun keunggulan dengan mengembangkan masyarakat ilmiah melalui budaya baca, menulis, berpikir rasional, bertindak strategis, bekerja efisien, dan menggunakan teknologi untuk hal positif dan produktif. Perguruan tinggi harus menjadi pusat keunggulan (center of excellence) yang berbasis sustainability dan pusat teknopreneur (center of technopreneurship) dalam bentuk universitas riset.

Demikianlah sumbangsih pemikiran Muhammadiyah bagi pembangunan dan kemajuan bangsa. Ini sesuai dengan tema Muktamar ke-47 Muhammadiyah: Gerakan Pencerahan untuk Indonesia Berkemajuan. Semoga!

Hajriyanto Y. Thohari, mantan Wakil Ketua MPR RI 2009-2014, Ketua PP Muhammadiyah

Exit mobile version