Netralitas Beragama, Jerat Halus Kelindan Sutra

Netralitas Beragama, Jerat Halus Kelindan Sutra

Oleh: Rif’an Ali Hafidz

Tema netralitas dalam kehidupan nampaknya semakin dewasa semakin gencar diperdengungkan dan digaungkan dalam ruang-ruang diskusi baik skala golongan kaum intelektual maupun golongan masyarakat awam. Hal ini nampak dari berbagai macam literasi, seminar dan media sosial yang akhir-akhir ini sering bersinggungan. Walaupun kadang tidak secara langsung mengangkat tema “netral” di depannya, namun arah dan tujuan itu nyata adanya.

Kata netral sering kali disandingkan dengan kata kemajuan dan kemoderatan. Sebuah klise pembentukkan sikap dan jati diri seseorang dalam menghadapi era kemajuan zaman. Di mana kebebasan setiap orang harus kita beri ruang dan porsi penuh di dalamnya. Sebuah sikap yang sering dianggap baik bahkan dianggap sebagai sikap terbaik.

Namun, benarkah demikian? Ternyata, realita tidak seindah bayangan. Bagaimana bisa terjadi? Begini, misalnya seseorang memiliki sebuah tanah kosong pada suatu tempat. Karena jarak dari tempat dia berada dan tanah miliknya itu jauh, maka tanah kosong itu menjadi tidak terawasi dengan baik. Lambat laun, datang seorang asing masuk ke dalam tanah kosong itu, mendirikan sebuah bangunan permanen untuknya tinggal tanpa sepengetahuan sang pemilik. Alih-alih meninggalkan tanah yang ditempati, orang yang menduduki itu justru meminta kompromi atas ganti rugi dan kerugian yang dideritanya karena harus meninggalkan rumahnya. Ini jelas tidak masuk akal, bagaimana sang pemilik harus membayar ganti rugi dimana sudah sangat jelas bahwa tanah itu adalah miliknya. Justru orang yang mendudukinya itulah yang harus membayar uang sewa kepada sang pemilik karena telah menggunakan tempatnya itu untuk keperluan pribadi.

Penerapan sikap netral pada kasus ini dirasa kurang tepat untuk dilakukan, karena baik dari segi data serta bukti menjelaskan bahwa sang pemilik tanah adalah pemilik resmi dari tanah itu, sedang orang yang mendudukinya terdakwa ilegal dan tidak sah. Maka sudah sebagai keharusan bagi orang yang mendudukinya untuk keluar tanpa diiringi oleh kompensasi apapun.

Makna kata netral sendiri sebagaimana dikutip dari KBBI adalah tidak berpihak (tidak ikut atau tidak membantu salah satu pihak). Yang bisa diartikan sebagai posisi tengah-tengah atau kompromistis. Sikap ini dianggap sebagai sikap yang baik karena mengakomodir kepentingan dua pihak yang saling bertentangan. Ketika pertentangan memuncak dan tak ada satupun pihak yang mau mengalah maka tindakan kompromi dan jalan tengah  adalah tindakan yang dianggap tindakan terbaik. Namun seperti yang sudah disebutkan di atas, bahwa tidak selamanya sikap netral adalah sikap yang baik.

“Jangan berdiri di tengah jalan karena anda bisa di tabrak dari kiri, kanan dari depan dari belakang.” Ucap Bang Karni.

Kutipan Bang Karni di atas adalah buah respresentasi penderitaan orang-orang yang mencoba untuk selalu bersikap netral. Di mana tidak ada sebuah sikap atau prinsip pasti nan jelas dalam pengambilan suatu kebijakan maupun keputusan. Arah hidupnya selalu mengalir terbawa arus ke mana orang menggiring. Tanpa ada kemandirianya dalam bertindak. Tentunya ini akan sangat berbahaya bagi dirinya di masa yang akan datang.

Sikap netral yang sering diperdengarkan bukan hanya meliputi aspek-aspek kehidupan belaka, namun mencangkup pula aspek-aspek dalam kehidupan beragama, meskipun sebenarnya kehidupan dan agama adalah dua sisi mata uang yang tak mungkin bisa kita pisahkan.

Sikap netral dalam beragama adalah sebuah bentuk kerapuhan dan pijakan tanpa dasar. Bagaimana bisa seorang muslim bersikap netral, sedang Al-Qur’an dan Sunnah adalah sumber kebenaran yang harus dia pegang.

Ketika Al-Qur’an mengatakan, menyuruh kepada yang ma’ruf, dan mencegah dari yang mungkar,” lalu kita berkata, “Itu bentuk ekpresi mereka. Kebebasan meraka. Kita netral saja. Kita beri ruang.” Maka secara tidak langsung kita sedang memperlihatkan kerapuhan dan ketidaktahuan kita dalam berislam.

Nyatanya sikap netral dalam berislam adalah sebuah bias dan ilusi yang dibangun dengan persepsi tanpa dasar keimanan. Mencari muka di hadapan manusia dan membuang muka di hadapan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Na’udzubillahi min dzalik.

Tentunya ini adalah perbuatan dan sikap yang tidak dibenarkan dalam beragama. Karena sesungguhnya mencari rida dan wajah Allah Subhanahu wa Ta’ala adalah puncak dari segala perbuatan. Mengantarkan seseorang menuju rahmatnya serta menjauhkannya dari panasnya api neraka.

Ketahuilah, sikap netral dalam beramar ma’ruf nahi mungkar disebut sebagai setan bisu. Sebagaimana yang telah dikatakan oleh Abu Ali Ad-Daqaq Rahimahullah dalam Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, 2/20, “Siapa yang diam saja tidak mengambil sikap bersama Al Haq, maka dia adalah setan bisu”.

“Seseorang yang diam pada kebenaran.” Kata Syekh Bin Baz Rahimahullah. “Sedang dia mampu untuk mengambil sikap itu (kebenaran) lalu tidak beramar ma’ruf nahi mungkar juga tidak merubah apa yang seharusnya dia rubah dan hanya bersikap diam sementara dia mampu untuk mengatakannya, maka inilah yang disebut sebagai setan bisu dari golongan manusia.”

“Karena kewajiban bagi setiap muslim.” Sambung Syekh Bin Baz Rahimahullah. “Adalah mengingkari kebatilan dan menyerukan kepada kebenaran. Ketika seseorang mampu untuk melakukannya, maka wajib baginya untuk menunaikannya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman yang artinya, “Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang mungkar; mereka adalah orang-orang yang beruntung.“ [Ali Imron: 104]. Juga hadis dari Rasulullah Shallallahu alaihi wasalam yang artinya, “Sesungguhnya manusia jika melihat kemungkaran dan tidak merubahnya, maka Allah akan meratakan kepada mereka adzab-Nya.” (HR Abu Dawud, At-Tirmidzi dan Ahmad) ”Siapa di antara kalian yang melihat kemungkaran maka hendaklah merubahnya dengan tangannya, jika tidak mampu dengan lisannya dan jika tidak mampu dengan hatinya. Dan yang demikian itu selemah-lemahnya iman.” (HR Muslim)

Sebuah sikap sejati seorang Muslim dalam beragama secara gamblang dijelaskan dalam ayat Al-Qur’an dan Hadis di atas. Sebuah sikap keberpihakan pada kebeneran hakiki yang bersumber dari Allah Subhanahu wa Ta’ala. Bukan malah sikap netral tanpa berpihak.

Penggolongan manusia sendiri pada akhirnya hanya akan berakhir pada tiga golongan saja. Golongan Muslim taat, golongan orang kafir dan golongan orang munafik. Maka golongan orang kafir dan golongan orang munafik akan masuk neraka Jahanam, mereka kekal di dasarnya dan tidak akan pernah diangkat. Sedang golongan Muslim taat maka surga dan segala kenikmatan adalah balasannya.

Sikap netral nyatanya bukan sebuah kemajuan sikap ataupun kemodernan dalam bersikap. Tapi hanya sebuah kejumudan, kekakuan dan sikap statis seseorang dalam kehidupan.

Jangan merasa nyaman dan aman menjadi setan bisu. Karena sikap kenetralisasianmu itu kelak akan berbuah penyesalan pada akhirnya.

Perjuangkanlah Islam di manapun dan pada posisi apapun kita berada. Lantangkanlah kebenaran dan tentanglah kebathilan. Karena sekecil apapun peran kita dalam menegakkan serta memperjuangkan Islam akan sangat besar dan bernilai di hadapan Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Rif’an Ali Hafidz, PCIM Sudan

Exit mobile version