Lebanon, Irak dan Dunia Arab Menghadapi Covid-19
Oleh Hajriyanto Y. Thohari
Coronavirus Desease 2019 yang disingkat Covid-19 yang sudah sejak dua bulan lebih menjadi Covid-19 ini memang benar-benar sangat “demokratis”: semua bisa terkena, semua bisa terpapar. Sangat “egaliter”: semua orang sama, tidak mengenal kelas, semua orang sama-sama terancam. Tidak “rasialis”: semua ras dan etnis dilanda tanpa kecuali. Tidak “sectarian”: semua penganut agama, sekte, madzhab dan aliran teologi terkena. Dan last but not least, sangat “internasionalis”: semua bangsa dan negara di dunia terpapar!
Pokoknya siapa saja yang tidak melakukan karantina, baik atas prakarsa diri sendiri atau paksaan negara, apalagi mereka yang tidak memiliki daya tahan atau stamina tubuh yang bagus (imune) berpotensi akan terkena. Coronavirus tidak peduli dari mana kita berasal dan sedang berada di mana saja. Bahkan di negara yang paling maju dan adidaya satu-satunya di dunia sekarang ini sekalipun: Amerika Serikat!
Lihat saja tiga episentrum Covid-19 sampai dua bulan pertama adalah Republik Rakyat China, Republik Islam Iran dan Italia. Yang pertama adalah negara Komunis terbesar di dunia, tetapi sistem ekonominya alih-alih sosialis, melainkan kapitalis yang menganut pasar bebas menjadi negara pertama dan terbesar dengan Covid-19; yang kedua adalah negara agama Islam Syiah terbesar di dunia yang secara politik cukup demokratis yang ditandai dengan pemilu yang bebas: Negara yang dipimpin para mullah dan Ayatullah ini juga terpapar sangat parah; dan negara yang ketiga adalah negara Khatolik terbesar di dunia. Bahkan Tahta Suci Vatikan berada di dalam negara ini di mana Sri Paus tinggal: Negara ini bukan hanya terpapar saja melainkan juga menjadi salah satu epicentrum Covid-19 yang terbesar.
Setelah memasuki dua bulan kedua, tiga besar episentrum Covid-19 tersebut telah bergeser ke trio Amerika Serikat, Italia dan Spanyol. Republik Rakyat China sudah bergeser ke nomor lima dan Republik Islam Iran tergeser ke nomor tujuh. Tetapi jika diurutkan lima besar epicentrum Covid-19 maka secara berurutan adalah Amerika Serikat (USA), Italia, Spanyol, German, dan China. Menyusul di bawahnya secara berturutan adalah Perancis (keenam), Iran (ketujuh), Inggris (kedelapan), Swiss (kesembilan) dan Turki (kesepuluh). Kita tidak tahu bagaimana kelanjutannya setelah tiga episentrum baru ini: apakah akan berhenti pada status quo baru ini ataukah akan bergeser lagi ke pola episentrum baru lagi. Wallahu a’lam!
Covid-19 di dunia Arab
Sangatlah menarik wabah Covid-19 yang bermula dari Wuhan, China, ini dalam perkembangan terakhir jumlah korban terbesar didominasi oleh negara-negara Barat kulit putih yang nota bene menjadi simbol kemajuan dunia dewasa ini. Kalau diperhatikan maka dari 10 (sepuluh) epicentrum pandemik Covid-19 tersebut di atas 8 (delapan) di antaranya adalah negara-negara Barat khususnya Eropa. Hanya Iran, China, dan atau Turki, negara-negara non-Barat (Asia) yang masuk dalam 10 (sepuluh) besar negara di dunia yang terpapar wabah yang mematikan ini.
Negara-negara Arab dan Timur Tengah tidak luput dari pandemic ini. Negara-negara yang sebelum diterjang pandemi ini sudah bergolak karena pertentangan politik yang berkepanjangan tak luput dari wabah yang semakin memperburuk situasi perekonomian dan kemanusiaan. Lebanon, misalnya, negara yang sebelum marak wabah Covid-19 sudah mengalami situasi perekonomian yang berat akibat instabilitas politik yang akut yang ditandai oleh aksi-aksi protes menentang pemerintah, juga dihantam oleh gelombang pandemi yang sangat destruktif ini. Nasib Lebanon tak ubahnya tak putus dirundung malang: situasi perekonomian dan kemanusiaan yang sudah buruk semakin diperburuk lagi dengan wabah ini.
Nasib Irak, negara yang kebetulan juga sangat sektarian, tidak jauh berbeda dengan Lebanon. Negara yang juga rusuh karena gelombang unjuk rasa sejak sebelum bulan September 2019 yang nota bene memakan korban jiwa ratusan pendemo itu, juga dilanda gelombang pandemi ini dalam jumlah yang termasuk paling besar di antara negara-negara Arab lainnya. Irak adalah negara Arab terkaya dengan minyak setelah Kerajaan Saudi Arabia. Tetapi pasca kejatuhan Presiden Saddam Husein nasib rakyat di negeri ini sangat memprihatinkan dan memilukan. Bukan hanya jumlah rakyat miskin dan pengangguran sangat besar melainkan juga dilanda pertentangan politik sektarian yang sangat gawat.
Irak mengalami kekosongan pemerintahan sejak jatuhnya Perdana Menteri Al-Mahdi pada alkhir 2019. Bahkan baru kemarin tanggal 10 Mei 2020 Irak berhasil mengangkat Perdana Menteri Baru… Bisa dibayangkan bagaimana sebuah negara yang tanpa pemerintahan definitif menangani pandemi ini di tengah kehidupan politik yang kaotik ditambah dengan situasi perekonomian yang hancur-hancuran. Sungguh ironis: negara kaya minyak menjadi negara “paling kaya” dengan penduduk miskin.
Keadaan yang serupa dialami juga oleh Suriah. Negara yang masih bergolak karena peperangan internal yang tak kunjung usai ditambah dengan permainan politik dan militer negara-negara besar (regional dan internasional) yang berwatak intervensionis itu telah semakin menghancurkan negara peninggalan Bani Umayyah yang bersejarah itu. Di tengah-tengah peperangan yang tak kunjung mereda antara kekuatan-kekuatan proksi dari negara-negara asing itu, Suriah juga menghadapi gelombang wabah Covid-19 yang sangat menghancurkan perekonomian dan kemanusiaan tersebut.
Memang secara numerikal angka korban Covid-19 di Lebanon, Irak dan Suriah tidak begitu fantastik. Lebanon yang menemukan kasus Covid-19 pertama kali pada tanggal 21 Februari 2020, pada tangga 10 Mei 2020 ini melaporkan adanya hanya 234 kasus Covid-19, meninggal 26. Sementara Irak: 2,767 kasus, 109 meninggal; malah Suriah lebih kecil lagi: hanya 47 kasus, meninggal 3 orang. Bandingkan saja dengan Yordania 522 kasus, meninggal 9 orang; Palestina 547 kasus, meninggal 4 orang; Mesir: 8.476 kasus, meninggal 503; juga bandingkan dengan Emirat Arab: 17.417 kasus, meninggal 185; dan apalagi Arab Saudi yang lebih besar lagi yang mencapai puluhan ribu: 38.048 kasus, meninggal 248.
Tetapi meski secara proporsional jika diletakkan dalam konteks jumlah penduduk angka-angka kasus Covid di Lebanon, Irak dan Suriah, dan beberapa negara Arab lainnya di luar negara-negara Arab Teluk yang kaya seperi Saudi, Kuwait, Qatar dan Emirat, itu tidak terlalu besar. Tetapi semuanya menjadi semakin lebih dramatis karena ketiga negara Arab levant (biladu syam) tersebut sedang menghadapi ketidakstablitan politik dan ekonomi yang parah. Tak heran jika di Lebanon dan Irak wabah Covid-19 semakin memicu aksi-aksi protes yang tidak jarang mengakibatkan terjadinya kerusuhan dan kekerasan yang memakan korban jiwa.
Dilemma penangan Covid-19
Ada dua corak atau model bagaimana negara-negara Arab tersebut menangani Covid-19: pertama, negara-negara yang menerapkan kebijakan Full Lockdown seperti Arab Saudi dan negara-negara Arab Teluk lainnya; dan kedua, negara-negara yang menerapkan limited full lockdown; yakni menerapkan kebijakan yang lebih terbatas dengan berbagai macam nama, seperti general mobilization, limited state of emergency, dan lain-lainnya. Lebanon dan Irak menerapkan apa yang disebut dengan general mobilization yang pada sejatinya juga merupakan salah satu bentuk pembatasan mobilitas penduduk untuk memutus mata rantai penyebaran virus dengan social distancing lengkap dengan protokol kesehatannya.
Tanggal 18 Maret 2020 Lebanon menerapkan kebijakan lockdown terbatas yang disebut dengan general mobilization, yaitu penutupan sekolah, pusat perbelanjaan, restoran, pusat-pusat hiburan, perkantoran, Pelabuhan udara dan laut, dan perbatasan dengan negara lain, dalam hal ini dengan Suriah. Pada tahap pawal pemerintah Lebanon memperpanjang General Mobilization sampai 10 Mei 2020. Pemerintah Lebanon melalui rapat kabinet pada Jumat (24/04) kemudian memperpanjang masa General Mobilization hingga 10 Juni 2020. Keputusan tersebut diambil berdasarkan rekomendasi Dewan Pertahanan Tinggi sebagai langkah untuk menangani penyebaran Covid-19.
Selain itu, pemerintah berdasarkan rekomendasi Dewan Pertahanan Tinggi menetapkan rencana relaksasi secara bertahap dengan membuka kebijakan lockdown yang terbatas itu melalui beberapa tahap. Tahap Pertama, dimulai pada 27 April 2020, Tahap Kedua, 4 Mei 2020, Tahap ketiga, 11 Mei 2020, Tahap keempat 25 Mei 2020, Tahap kelima pada 9 Juni 2020. Pemerintah Lebanon juga telah mengurangi durasi jam malam yang sebelumnya mulai pukul 19.00-05.00 menjadi pukul 21.00-05.00.
Sungguh menghadapi pandemic Covid-19 pada saat perekonomian memburuk secara drastik sangat lah dilematis. Rakyat yang sudah banyak hidup kembang kempis karena pengangguran yang meraja lela diharuskan untuk tinggal di rumah. Sementara kemampuan perekonomian dan keuangan negara tidak memungkinkan untuk memberikan bantuan langsung kepada rakyatnya dalam jumlah yang cukup untuk sekedar memberikan kebutuhan pokok untuk menyambung hidup rakyatnya dari hari ke hari yang semakin berat.
Bisa dibayangkan bagaimana mengelola negara yang rakyatnya miskin karena kondisi perekonomian yang buruk, krisis, bahkan macet, yang mengakibatkan pengangguran membengkak, sementara semua unit-unit produksi berhenti, ekonomi sector riil macet total, dan negaranya juga tidak memiliki cukup cadangan devisa atau uang. Saya rasa untuk sebuah negara yang sedang mengalami keadaan yang seburuk itu sekedar bisa bertahan saja sudah merupakan suatu keajaiban yang luar biasa, alias aneh bin ajaib.
Jika rakyat tidak berdaya, negara dan pemerintahan negara juga tiada daya, sementara negara-negara Adidaya (Adidaya regional Arab dan Adidaya dunia) yang selama ini selalu dengan seenak perutnya sendiri bermain politik di kawasan itu juga sedang mengalami kehilangan daya, maka pada akhirnya ketahanan nasional dan kemampuan diri lah yang tinggal ada. Sebuah negara akhirnya tergantung pada daya swadaya dan daya swasembada lah yang yang tinggal ada pada dirinya.
Beruntunglah negara yang selalu membangun kekuatan dirinya untuk berswadaya dan berswasembada di segala bidang. Dan sebaliknya, akan menderitalah bangsa dan negara yang bergantung pada kekuatan negara adidaya. Betatapun adidayanya negara adidaya itu! Tidak mudah membangun sebuah negara yang berdaulat secara politik, berkemandirian secara ekonomi, dan berkepribadian secara kebudayaan. Renungkanlah
Hajriyanto Y. Thohari, Wakil Ketua MPR RI 2009-2014, Ketua PP Muhammadiyah