Kita Tidak Beranjak Ke Mana-Mana, Senyum Bersama Meratus (2)
Mohamad Dziqie Aulia Al Farauqi, SIP, MA
“Education, then, beyond all other devices of human origin, is the great equalizer of the conditions of men, the balance wheel of the social machinery.” — Horace Mann, 1848
Horace Mann, Seorang promotor Pendidikan asal Amerika Serikat, di tahun 1848 menekankan peran penting pendidikan bagi kehidupan manusia. Pendidikan, melampaui semua instrumen kemanusiaan yang ada, merupakan tonggak ukur kondisi kemanusiaan di zaman tersebut. Sekarang, 173 tahun kemudian, pendidikan seharusnya merupakan hal yang dengan mudah diakses seluruh golongan masyarakat. Namun di daerah-daerah terpencil di Indonesia kenyataannya tidak melulu demikian.
Seperti hal nya yang terjadi di dusun Papagaran Desa Patikalain kecamatan Hantakan, kabupaten Hulu Sungai Tengah Kalimantan Selatan. Di balik sisi bukit yang tertanam padi gunung dan pohon pisang, terdapat sebuah Sekolah Dasar bernama SD Negeri 2 Haruan Dayak. SD ini menjadi saksi bisu terjangan banjir bah dan longsor di pertengahan januari 2021 lalu. Puluhan relawan dari berbagai daerah telah berangsur-angsur mengunjungi daerah ini dan melakukan aksi kemanusiaan. Mulai dari evakuasi, rehabilitasi dan restrukturisasi awal aset vital seperti jembatan dan rumah sementara untuk para korban. Dua bulan setelah terjadinya bencana, di SD ini kami relawan dari Muhammadiyah Disaster Management Centre (MDMC) Kalimantan Timur (13-19 Maret 2021) yang bersinergi dengan Sahabat Misykat Indonesia dan diperkuat tiga relawan dari Keluarga Mahasiswa Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan (Kapstra) Universitas Gajah Mada Yogyakarta serta disupervisi psikolog dari Pusat Pembelajaran Keluarga (Puspaga) Kaltim melakukan program psikososial dan trauma healing untuk anak-anak penyitas bencana.
Menarik garis lurus dari pusat kota Barabai, SD tersebut dapat ditempuh selama kurang lebih 40-55 menit menggunakan mobil. Setelah melewati pasar Hantakan, perjalanan mobil kami mulai sulit dikarenakan jalanan berbatu. Ketika kita melewati jalan setapak yang melewati tebing-tebing kaki meratus, setidaknya untuk ke sana kita akan melewati dua sungai kecil dengan jembatan darurat pengganti jembatan yang jebol akibat luapan banjir. Terdapat sampah-sampah, tumpukan kayu, dan rumah setengah hancur akibat tertimbun longsor, dapat terlihat dengan jelas onggokan tanah coklat bekas longsor di beberapa titik ditebing bukit kaki Meratus yang hijau.
Setibanya di sana, melihat puluhan anak-anak berkumpul antusias di sekitar lapangan sekolah, hati ini bergejolak antara rasa senang dan juga pilu. Antusiasme anak-anak tersebut luar biasa besar menyambut kami. Puluhan dari mereka berkerumun di sekitar mobil kami dan mengelilingi para relawan. Seperti mengharapkan kami memberikan mereka kebahagiaan. Anak-anak tersebut merupakan penyitas yang beberapa minggu belakangan telah mengalami serangkaian kondisi buruk dikarenakan bencana banjir bandang di daerahnya.
SD tersebut menjadi meeting point anak-anak dari 4 dusun berbeda, Dusun Patikalain Cabai Dusun Ramang, Dusung Pantai Uang, Dusun Papagaran. Anak-anak ini mayoritas berasal dari suku Dayak meratus. Ketika kami di sana, mayoritas dari mereka ke sekolah tanpa seragam, tanpa sepatu. Baju mereka lusuh, sepertinya tidak disetrika. Namun semangat mereka untuk acara kami sangat tinggi, mereka berlarian, berteriak “kakak kakak” melantunkan lagu Indonesia raya, menepukkan berbagai macam tepuk-tepukan sesuai instruksi panitia relawan. Mereka Bahagia, tertawa, namun melihat kondisi mereka, tidak mungkin kami tidak sakit hati.
Mereka datang dari jam 7 pagi, berapa kelompok anak dari desa yang jauh harus menempuh jarak sejauh 1.5 jam perjalanan turun ketika berangkat dan 2 jam perjalanan naik bukit Ketika pulang. mereka juga melewati jalan setapak yang di beberapa tempat merupakan jalur longsor. Paris, salah satu anak, bertanya padaku hendak kemana ketika aku mengikuti mereka berjalan pulang, “rumah kami ada di balik dua bukit itu kak, kakak pulang aja, jauh”. Beberapa panitia menggunakan mobil berkap untuk mengantar mereka. Seketika aku sadar apa yang dikatakan Paris bukan omong kosong, perjalanan menggunakan mobil saja memerlukan waktu 35 menit, apalagi berjalan.
Di dusun Paris, Papagaran, hanya ada satu sekolah dasar dan hanya memiliki dua kelas, kelas satu dan kelas dua, anak-anak yang lulus dari kelas dua dan ingin melanjutkan sekolah sampai lulus harus turun ke Patikalain di SD Negeri 2 Haruan Dayak. Kemudian, jika ingin melanjutkan ke sekolah menengah, harus turun lagi menuju kota Barabai. Beberapa dari anak papagaran ini melanjutkan sekolah sampai kelas 6 yang berarti mereka harus menempuh perjalanan jauh setiap harinya untuk bersekolah. Beberapa dari mereka yang cukup beruntung untuk memiliki motor biasanya diantarkan untuk sekolah, yang lainnya? berpeluh-peluh.
Mereka sudah datang dari jam 7 pagi, yang artinya, bagi anak Papagaran tidak ada waktu untuk sarapan. Sebelum kami mengetahui mereka berjalan sejauh itu, kami hanya menyediakan snack untuk makan ringan itupun di jam 10. Biasanya di rentang waktu antara jam 8 dan jam 9 pagi ada bulek penjual makanan datang di depan SD, mereka biasanya berlarian mencuri waktu untuk membeli makanan, satu gorengan, satu es puding. Ternyata mereka kelaparan. Sepulangnya mereka dari sekolah setelah menempuh berjalan jauh biasanya mereka mandi di sungai, ternyata di dusun Papagaran dilalui sungai yang airnya luar biasa jernih, kami berkesempatan untuk menemani mereka mandi.
“Mereka mandi karena mereka kelaparan Mas, mereka selalu seperti itu jika di rumah tidak ada makanan” itulah yang disampaikan salah satu relawan kepadaku. Astaga, logika macam apa ini. Correlation doesn’t simply causation dan dalam konteks ini sudah pasti tidak ada hubungan sebab akibat antara mandi di sugai dan hilangnya kelaparan setelah mandi.
Permasalahan mereka Ketika bersekolah, mungkin tidak pernah kami alami. Bahkan tidak pernah terbesit di pikiran kami akan terjadi. Karena itulah Kondisi anak-anak ini menyadarkan kami, menampar kami para relawan, yang mayoritas tidak kesulitan mengakses Pendidikan di kota. bahwasanya kami luar biasa beruntung. Kami dilahirkan oleh orang tua yang dapat menyekolahkan kami. Kami dilahirkan di daerah dengan akses pendidikan yang baik. Dilahirkan di daerah dengan infrastruktur yang baik. Menyadarkan kami bahwa ada di luar sana yang kondisinya jauh di bawah kami. Serta menyadarkan kami bahwa keterbatasan mereka tidak akhirnya mengurangi semangat dan antusiasme mereka untuk belajar.
Kondisi mereka merupakan realitas pendidikan daerah terpencil dibalik realitas perkotaan. Bak borok luka dibalik kapas tanpa obat anti infeksi. Ada tapi tidak diobati. Every child has the right to learn. Mereka berhak mandapatkan akses Pendidikan yang layak, namun terkendala berbagai permasalahan masyarakat. Kemiskinan, kerentanan, kurangnya akses jalan seakan saling bertautan menimbulkan permasalahan serius di bidang Pendidikan.
Permasalahan Pendidikan tidak bisa diselesaikan hanya dengan sertifikasi guru dan tunjangan. Tidak bisa diselesaikan hanya dengan menambah kuantitas sekolah internasional. Tidak bisa diselesaikan hanya dengan mengganti-ganti terapan kurikulum. Pendidikan perlu diselesaikan dengan kebijakan publik yang inklusif dan tak berpihak, kebijakan ekonomi yang tepat sasaran serta pemerataan pembangunan di setiap lini masyarakat.
Akhirnya, melihat kondisi Papagaran dan juga mungkin di berbagai tempat lain di daerah terpencil di Indonesia, jika kita kembali mengutip perkataan Horace Mann, ternyata selama ini kita tidak beranjak ke mana-mana, tidak selama 173 tahun. Wallahu A’lam.
Mohamad Dziqie Aulia Al Farauqi, SIP, MA, Dosen Univerisitas Muhammadiyah Kalimantan Timur, Anggota Tim Psikososial MDMC Kaltim