Maslahat

Maslahat Menurut Kaidah Fikih

Edaran PP Muhammadiyah Nomor 04/EDR/I.0/E/2020 tentang “Tuntunan Salat Idulfitri dalam Kondisi Darurat Pandemi Covid-19” memuat tuntunan Majelis Tarjih. Pada poin pertama dinyatakan, “Bahwa tujuan agama adalah untuk memberikan rahmat kepada manusia, yang dalam filosofi fikih disebut perwujudan kemaslahatan (taḥqīq al-maṣaliḥ).”

Kebolehan melaksanakan shalat Id di rumah oleh karena tuntutan keadaan, disebut,“dalam rangka mengamalkan bagian lain dari petunjuk agama itu sendiri, yaitu agar kita selalu memperhatikan riʻāyat al-maṣāliḥ, perwujudan kemaslahatan manusia, berupa perlindungan diri, agama, akal, keluarga, dan harta benda, dan menjaga agar kita tidak menimbulkan mudarat kepada diri kita dan kepada orang lain.”

Dalam Edaran PP Muhammadiyah Nomor 03/EDR/I.0/E/2020 tentang “Tuntunan Ibadah dalam Kondisi Darurat Covid-19” kata maslahat disebut 10 kali. Dijelaskan, Kemaslahatan itu adalah perlindungan terhadap manusia baik dalam kehidupan keagamaannya, jiwa raganya, akal pikirannya, institusi keluarganya maupun harta kekayaan yang menjadi sendi kehidupannya. Dalam konteks berkembangnya wabah Covid-10 sekarang, perlindungan keberagamaan dan jiwa raga menjadi keprihatinan (concern) kita semua. Dari nilai-nilai dasar ajaran ini diturunkan sejumlah prinsip yang mengutamakan penghindaran kemudaratan dan pemberian kemudahan dalam menjalankan agama yang bertujuan untuk mewujudkan kemaslahatan.”

Dikutip kaidah fikih, “Kebijakan pemimpin terhadap rakyatnya harus sesuai dengan kemaslahatan.” Kalimat lain, “Bahkan penyelenggaraan salat Jumat ditiadakan dalam rangka menghindari bahaya tersebut. Menghindari mudarat lebih diutamakan dari mendatangkan maslahat.”

Kata maslahat diulang ketika menjelaskan tentang kebolehan tenaga kesehatan Covid-19 yang berkerja langsung di lapangan untuk tidak berpuasa dan mengganti di lain waktu sebagai keringanan. Digunakan juga saat mengutarakan perihal kebolehan jenazah Covid-19 dimakamkan tanpa dimandikan dan dikafani sebagaimana kondisi normal apabila dipandang darurat dan mendesak.

Istilah maslahat merupakan serapan dari akar kata shaluha dalam Bahasa Arab. Sering diterjemahkan sebagai kebaikan dan manfaat. KBBI mengartikan sebagai: sesuatu yang mendatangkan kebaikan (keselamatan dan sebagainya); faedah; guna. Dalam kaidah fikih dikenal istilah maslahat mursalah. Imam Malik kerap disebut sebagai pencetus teori maslahat. Para ulama Zahiriyah dan Mu’tazilah disebut menolak metode ini.

Maslahat mursalah merupakan salah satu upaya pendalilan terhadap sesuatu yang baik menurut akal dan selaras dengan tujuan syara’, yang secara eksplisit tidak disebut dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah apakah boleh atau ditolak. Maslahat mursalah harus sejalan dengan prinsip syari’at yang berfungsi untuk menghilangkan kesempitan atau kesulitan, baik yang sifatnya primer (dharuriyah) maupun sekunder (hajjiyah).

Para sahabat sepeninggal Nabi juga menggunakan maslahat, semisal ketika menghimpun Al-Qur’an dalam satu mushaf, demi menjaga kemurnian kitab suci. Menurut Asy-Syatibi dalam al-I’tisham, objek masalah-masalah baru yang diputuskan dengan maslahat mursalah adalah berkaitan dengan perkara muamalah, yang dapat menggunakan pertimbangan akal rasionalitas tentang baik dan buruknya. Adapun dalam masalah ibadah mahdah, sifatnya ta’abbudi dan taufiqi, harus tunduk dan patuh.

Syariat bertujuan merealisasikan maslahat dan menolak timbulnya mudarat atau mafsadat. Edaran PP Muhammadiyah Nomor 05/EDR/1.0/E/2020 menyatakan, “Dalam beribadah hendaknya tetap mengutamakan pertimbangan kesehatan, kemaslahatan, keselamatan, dan keamanan sesuai maqasid al-syari’ah untuk menghindari mafsadat dan mengurangi penularan Covid-19.” (muhammad ridha basri)

Sumber: Majalah SM Edisi 13 Tahun 2020

Exit mobile version