Keislaman, Kearaban dan Keindonesiaan
Oleh Hajriyanto Y. Thohari
ADALAH tidak mudah melepaskan sama sekali antara kearaban dan keislaman itu. Pasalnya, terlepas apakah lebih sebagai kesan ataukah kenyataan tetapi pandangan tentang adanya kesejajaran antara keislaman dan kearaban sangatlah kuat. Pandangan seperti ini ternyata bukan hanya dianut oleh kalangan Islam saja, melainkan juga oleh kalangan non-Islam. Dr Anton Wessels, guru besar Agama dan Misiologi di Vrije Universiteit, misalnya, dalam bukunya Arabier an Christen: Christelijke kerken in het Midden-Oosten (1983), juga ikut mengabadikan kesan serupa.
Dalam buku yang diterjemahkan ke bahasa Indonesia Arab dan Kristen: Gereja-Gereja Kristen di Timur Tengah oleh Tati SL Tobing (BPK Gunung Mulia, cet. Ke-2, 2002), Wessels sembari mengutip sebuah ungkapan yang sangat terkenal di dunia Arab yang berbunyi “Bahasa Arab tak dapat dikristenkan”, juga mengatakan bahwa “Banyak orang yang begitu mendengar kata Arab pikirannya segera terarah pada Islam”.
Tak heran jika Wessels yang pernah mengajar di Sekolah Tinggi Teologi Lebanon (1971-1978), dengan sedikit geregetan sempat mengutip pernyataan mendiang Presiden Libya Moammar Qadafi yang konon pernah menyarankan agar orang Arab Kristen bertobat saja! Sebab, orang Arab yang beragama Kristen merupakan suatu penyimpangan. Qadafi, konon, ini masih mengutip Wessels (h. xvi) lho ya, mengatakan pula bahwa “Apabila orang Arab yang beragama Kristen menginginkan keabsahan sebagai orang Arab, seharusnya mereka menganut Islam. Pasalnya, jika tidak demikian mereka akan berkepribadian ganda: orang Arab kok Kristen!”.
Pandangan seperti itu tentu terkesan anakronistik, kalau bukannya ahistoris. Pasalnya, seperti diuraikan oleh Prof. Walid Khalidi, Pusat Kajian Timur Tengah di Universitas Harvard, dalam Pengantar untuk buku History of the Arab, magnum opus-nya Philip K. Hitti (edisi ke-10, 2002), bahwa bangsa Arab pra-Islam pernah menjadi pemeluk paganisme dan kemudian beragama Kristen. Walhasil, meski orang Arab secara numerikal banyak yang (tetap) menganut Kristen, tapi kesan bahwa Arab itu Islam dan Islam itu Arab memang sangat lah kuat menancap di pikiran banyak orang, baik terpelajar maupun, apalagi, awam.
Maka alih-alih di Indonesia, di dunia Arab sendiri sekali pun, bahkan sampai akhir-akhir ini, masih ada perdebatan tentang keislaman dan kearaban. Di kalangan Arab saja ada pandangan bahwa kearaban lah yang harus lebih dominan dari pada keislaman seperti bunyi slogan “Nahnu ‘arabiyyan qabla an nakuna Islamiyyan” (kami orang Arab sebelum kami menjadi orang Islam). Lihat saja ideologi Pan Arabisme, setidaknya sejak PD II, jauh lebih kuat daripada Pan Islamisme seperti tercermin dalam kenyataan lebih kuatnya ikatan Liga Arab (Jāmiʻa al-ʻArabiyya) daripada Organisasi Konperensi Islam (OKI).
Memang tidak semua bangsa yang berhasil diislamkan berhasil pula diarabkan, seperti Iran, Pakistan, Turki, dan last but not least Indonesia.
Indonesia merupakan bangsa muslim terbesar di dunia yang paling sedikit terarabkan. Tapi harus dicatat: meski paling sedikit terarabkan, suasana Arab pun sudah sedemikian terasanya di negeri ini. Nama-nama lembaga negara, jalan dan kantor di Indonesia dinamai dan ditulis dengan bahasa/huruf Arab. Juga kebanyakan nama-nama orang Indonesia sangatlah Arab (Arabic-name).
Dulu Bangsa Indonesia malah menuliskan bahasanya, bahasa Melayu, dengan huruf Arab: disebut huruf Jawi (Arab pegon). Naskah-naskah kuno Melayu dan Jawa (obyek studi Filologi) banyak ditulis dalam huruf Arab. Bahkan ada pemeo seandainya tidak ada penjajahan Belanda selama –mitos atau realitas- 350 tahun, bangsa Indonesia sangat boleh jadi tetap menulis bahasa Indonesia dengan huruf Arab (huruf hijaiyah). Penjajah Belanda lah yang memopulerkan huruf Latin sehingga menggeser huruf Arab.
Karena paling sedikit terarabkan itulah maka wajar jika di kalangan masyarakat Indonesia ada pandangan bahwa keislaman dan kearaban itu tidak identik dan oleh karenanya maka kita berhak mewujudkan keislaman yang khas Indonesia: Islam Indonesia harus membebaskan diri dari citra dan bayang-bayang kearaban. Tentu pandangan ini sangat populer ketika citra Dunia Arab sedang merosot ke titik nadir seperti sekarang ini.
Persepsi kesejajaran antara keislaman dan kearaban menjadi dramatis ketika dipertentangkan dengan keislaman dan keindonesiaan seperti tecermin dalam polemik yang hangat akhir-akhir ini. Polemik ini bagi saya wajar dan biasa saja. Manis bukan?
Hajriyanto Y. Thohari, Wakil Ketua MPR RI 2009-2014.