Menulis Harapan kepada Presiden dan Menteri
Oleh: Machnun Uzni
Siapa bilang harapan itu selalu gratis?
Ada sebagian orang yang untuk membangun harapan saja harus membayar. Mereka benar-benar butuh ruang dan momen untuk membuka cakrawala fikir, memeras emosi, dipandu seorang trainer atau psikolog untuk memulainya. Setelahnya mereka baru menuliskan harapan dengan batinnya yang lebih ringan.
Tidak semua orang mempunyai harapan dan menemukan kesulitan untuk memulainya. Mungkin itu karena sejak kecil kita dilarang membangun harapan. Harapan sekedar angan-angan. Sejak kecil kita kurang dikenalkan harapan. Kita terlalu banyak dilatih menjawab angka-angka, rencana, beban-beban dan logika.
“Nilai ujianmu berapa, hafalanmu sampai mana, hari ini ada tugas apa?”
Pertanyaan miskin rasa seperti itu membuat banyak orang tidak bisa mengenali harapannya sendiri. Mengenalkan harapan kepada anak itu penting. Tapi baiknya seimbang antara melatih logika dan mengenalkan harapannya. Tanyakan capaian prestasi sekolah, tapi jangan lupa sentuh perasaannya.
“Apakah pelajaran hari ini asyik? masih semangat ngerjain PR? apakah bu guru menyenangkan?” Beri kesempatan anak untuk bicara, tertawa, melampiaskan kekesalan, dan mengungkapkan perasaannya. Itu semua bagian dari latihan menumbuhkan rasa. Kelak ketika besar ia akan tumbuh lebih peka.
Tiga puluhan anak-anak kaki meratus dari seratusan peserta psikososial yang digelar Muhammadiyah Disaster Management Center (MDMC) Kalimantan Timur menuangkan harapan-harapannya (15/3), tentang masa depan dengan beberapa barisan tulisan yang akan diteruskan kepada presiden dan menteri.
Tuti Rokmawati salahseorang relawan dari Keluarga Mahasiswa Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan (Kapstra) Universitas Gajah Mada yang mendampingi anak-anak menulis pesan harapan mengatakan, “Ketika sudah masuk kelas, kita ceritakan secara garis besar mengenai Indonesia dan memancing mereka untuk bercerita apa yang mereka alami disana. misalnya, kendala mereka dalam mengakses pendidikan sehingga memberi gambaran untuk bahan mereka menulis harapan dan atau surat untuk presiden dan menteri.”
Anak-anak demikian bersemangat menuliskan harapannya, tentu dengan bahasa anak-anak yang lugu dan alami. Menarik memang membersamai anak-anak yang kakinya kokoh menempuh 1.5 hingga dua jam perjalanan menuju ke sekolah, yang menceburkan diri ke sungai ketika pulang untuk menghilangkan rasa lapar.
Sementara itu psikolog dari Pusat pembelajaran Keluarga Ruhui Rahayu Propinsi Kalimantan Timur Siti Mahmudah Indah Kurniawati, S.Psi., Psikolog mengatakan, “Dalam kondisi normal, dimulai dari penguatan kedua ortunya bagaimana memberikan ruang dan kesempatan bagi anak untuk berkembang sesuai dengan harapan dan cita cita mereka. Kemudian yang berikutnya adalah kuatkan anak dengan support agar rasa percaya dirinya bertambah dan anak anak menjadi bersemangat meraih cita citanya.”
Lanjutnya, “bagi anak yang belum mengetahui harapannya kedepan, ajaklah diskusi. Berikan kesempatan untuk mengetahui bakatnya apa? Bisa melalui tes psikologi atau dapat mengikuti ajang lomba minat bakat utk menemukan dan memgenali arah bakatnya.”
Hindari judgement jika harapan mereka tidak sesuai dengan harapan kita. Cukup berikan gambaran kepada mereka, kaitkan dengan potensi maupun keterbatasannya. Jangan lupa berikan apresiasi atas capaian anak mulai dari hal sederhana misal kalimat positif, ok nice, good job atau acungan jempol iringi senyum selipkan kata “lanjutkan”, pungkasnya.
Bagimana dengan nasib mereka, anak-anak yang tidak mendapatkan motivasi atau pendampingan orangtua? Tuntun mereka, ajari mereka dan biarkan mereka menuliskan harapannya untuk pembesar negeri ini.
Para relawan, berikan selalu ruang dan hati untuk mendengarkan keluh kesah mereka, selelah apapun kondisi kita.
Yakinlah ada harapan mereka terwujud di masa yang akan datang.
Machnun Uzni, penanggungjawab program Psikososial MDMC Kaltim