Dakwah Pencerahan di Era Digital
Oleh Prof DR KH Haedar Nashir, M.Si.
Dunia saat ini memasuki era digital yang lahir dari rahim revolusi industri keempat. Era digital adalah zaman yang berhubungan dengan penggunaan teknologi informasi serba canggih berbasis angka-angka untuk sistem perhitungan tertentu; yang menghasilkan informasi yang sangat luar biasa luas dan cepat. Contoh sistem teknologi digital ialah komputer termasuk laptop dan tablet, handphone, kamera digital, jam digital, radio digital, penunjuk suhu digital, dan berbagai teknologi elektromagnetik lainnya yang supercanggih.
Manusia zaman sekarang (Zaman Now) terutama pasca dekade 1980-an terbiasa dengan relasi sosial digital. Dalam kurun mutakhir sejak 2007 masyarakat modern di seluruh dunia bahkan memasuki fase relasi antar sesama melalui “media sosial”. Media sosial adalah sebuah media daring yang para penggunanya dapat dengan mudah berpartisipasi, berbagi, dan menciptakan isi informsi atau pesan meliputi blog, jejaring sosial, wiki, forum, dan dunia virtual.
Kini siapapun, kapanpun, dan di manapun setiap orang dengan mudah berkomunikasi melalui twitter, istagram, whatsapp, dan lainnya secara melintasi. Bahkan tiada sedetik pun orang lepas dari alat canggih itu. Boleh dikatakan “hidup-matinya” manusia saat ini adalah “dunia digital”, sehingga menjadi “insan digital” yang mengalami “digitalisasi” yang luar biasa masif. Bahkan pernah ada berita tentang orang berfoto-selfie terjatuh dari ketinggian hingga meninggal dunia.
Hidup di era dunia digital bukan hanya memerlukan skill penguasan praktis akan teknologi informasi itu, sekaligus mengubah alam pikiran dan gaya hidup baru. Bagaimana manusia menjalani hidup di era teknologi baru itu, apakah sebagai subjek atau justru menjadi objek? Nilai-nilai etika atau keadaban apa yang mesti dibangun agar manusia beriman tetap hidup secara bermartabat di era baru itu?
Revolusi Digital
Revolusi digital merupakan bentuk revolusi industri keempat melampaui revolusi industri kesatu, kedua, dan ketiga yang terrjadi di Barat sebelumnya. Revolusi Industri merupakan periode tahun 1750-1850 di mana terjadi perubahan besar-besaran di bidang pertanian, manufaktur, pertambangan, transportasi, dan teknologi serta memiliki dampak yang meluas terhadap kondisi sosial, ekonomi, dan budaya di dunia. Revolusi Industri dimulai dari Britania Raya dan menyebar ke seluruh Eropa Barat, Amerika Utara, Jepang, dan seluruh dunia.
Revolusi Industri menandai terjadinya titik balik besar dalam sejarah dunia, hampir setiap aspek kehidupan sehari-hari dipengaruhi oleh Revolusi Industri, khususnya dalam hal peningkatan pertumbuhan penduduk dan pendapatan rata-rata yang berkelanjutan dan belum pernah terjadi sebelumnya. Selama dua abad setelah Revolusi Industri, rata-rata pendapatan perkapita negara-negara di dunia meningkat lebih dari enam kali lipat (Wikipedia).
Adapun Revolusi digital dikenal sebagai revolusi industri keempat dengan kekuatan pada teknologi informasi yang supercanggih. Sebagian menyebytnya sebagai revolusi “four point zero” atau revolusi “empat titik kosong” (Revolusi 4.0) yang serba digital. Universitas-universitas maju di dunia telah memasuki Revolusi 4.0 dalam penyelenggaraan pendidikan berbasis teknologi informasi (IT), antara lain “kuliah jarak jauh” atau “distance learning” atau “digital learning”. Ke depan bahkan mengarah pada pembentulan “Cyber University”. Suatu lompatan kehidupan yang memang revolusioner.
Pengguna handphone seluler di seluruh dunia sejak tahun 2017 mencapai angka sekitar 5 miliar dan diproyeksikan tahun 2020 mencapai 5,7 miliar orang dari jumlah penduduk dunia sekitar 7,5 miliar. Sepuluh perusahaan terkaya di dunia dikuasai bisnis IT (information technology) yaitu Samsung, Apple, Google, IBM, Microsoft, Intel, HP, Facebook, Amazone, dan Cisco. Semuanya menjadi penanda kapitalisme global yang merambah dunia dengan bisnis teknologi informasi yang menjanjikan masa depan.
Sepuluh orang terkaya di dunia sekarang ini juga didominasi oleh para pialang teknologi informasi yaitu (1) Bill Gates (US$ 79,6 miliar, Microsoft, USA); (2) Larry Ellison (US$ 50 miliar, Oracle, USA); (3) Jeff Bezos (US$ 47,8 miliar, Amazon.com, USA); (4) Mark Zuckerberg (US$ 41,2 miliar, Facebook, USA); (5) Larry Page (US$ 33,4 miliar, Google, USA); (6) Sergey Brin (US$ 32,8 miliar, Google, USA); (7) Jack Ma (US$ 23,2 miliar, Alibaba, China); (8) Steve Ballmer (US$ 22,7 miliar, Microsoft, USA); (9) Laurene Powell Jobs (US$ 21,4 miliar, Apple & Disney, USA); (10) Michael Dell (US$ 19,4 miliar, Dell, USA) [Sumber: Forbes.com].
Teknologi digital memiliki beberapa keistimewaan unik yang tidak dapat ditemukan pada teknologi lainnya, yaitu : pertama mampu mengirimkan informasi dengan kecepatan cahaya yang mengakibatkan informasi dapat dikirim dengan kecepatan tinggi; kedua penggunaan yang berulang-ulang terhadap informasi tidak mempengaruhi kualitas dan kuantitas informasi itu sendiri; ketiga informasi dapat dengan mudah diproses dan dimodifikasi ke dalam berbagai bentuk; keempat dapat memproses informasi dalam jumlah yang sangat besar dan mengirimkannya secara interaktif (Waras Budiono, 2013).
Manusia di era digital menjadi hidup serba mudah dalam memenuhi kebutuhan hidupnya dalam berbagai aspek. Termasuk untuk urusan pemenuhan keperluan keluarga yang bersifat teknis seperti pesan makanan dan keperluan sehari-hari melalui jalur online. Dengan segala kemudahan itu tentu berdampak luas, termasuk dalam ritme kehidupan manusia. Saksikan melalui telepon genggang ritme hidup insan modern mengalami perubahan revolusioner, hingga tiada satu detik pun dalam tempo 24 jam tanpa benda digital canggih itu, yang mengalahkan aktivitas hidup lainnya yang rutin sekalipun.
Luruh Keadaban
Manusia modern dengan teknologi informasi serbadigital mengalami perubahan hidup yang luar biasa, yang selain berfungsi positif dalam banyak hal, pada saat sama berdampak negatif pada diri manusia dengan relasi kehidupannya sebagai makhluk individu dan sosial. Edmund Carpenter pernah melakukan penelitian tentang penggunaan teknologi elektronik di Sio Papua. Hasilnya, masyarakat setempat mengalami perubahan perilaku yang tercerabut dari akar budayanya, sehingga antropolog dari Amerika Serikat itu sampai pada kesimpulan ilmiah, bahwa telah terjadi “technetronic etnocide”, pembunuhan budaya akibat teknologi elektronik (Inovasi, 1997).
Di era dunia digital, kejahatan manusia juga mengalami penjelmaan baru dalam bentuk cyber-crime, yakni kejahatan dengan pemanfaatan teknologi internet, yang berbasis pada kecanggihan teknologi computer dan telekomunikasi. Cyber-crime merupakan evolusi kejahatan “konvensional” dari kejahatan kerah biru (blue collar crime) yaitu pencurian, penipuan, dan pembunuhan ke kejahatan kerah putih (white collar crime) seperti kejahatan korporasi, kejahatan birokrat, malpraktek dan lain-lain. Sebutlah antara lain hijacking (pembajakan hasil karya orang lain, kejahatan perangkat lunak), Cyber Terorism atau kejahatan terorisme melalui internet (https://www.herugan.com).
Dalam relasi sosial media (medsos) sebagai bagian dari dunia sosial digital tumbuh kecenderungan sikap manusia “tergitalisasi”. Manusia menjadi asyik dengan orang lain yang ada “di seberang sana” tetapi abai dengan manusia di dekatnya, sehingga tampak mengalami alienasi. Dua orang yang saling kenal duduk berduaan secara fisik tetapi masing-masing sibuk dengan telepon genggam sendiri-sendiri seolah tidak saling mengenal. Kita ingat apa yang disebut “the modular man” yang dipopulerkan Alvin Toffler (1970), yakni manusia yang berperangai laksana robot yang pola pikirnya berbasis modul dan dikendalikan oleh mesin teknologi yang mematikan rasa dan jiwanya sehingga menjadi insan yang terdisorientasi dalam kehidupannya. Mereka waras otaknya, tetapi sakit rasa dan hatinya selaku makhluk Tuhan yang berjiwa fitrah.
Dalam dunia media sosial dan relasi sosial digital keadaban pun mengalami peluruhan. Hoax sertamerta dianggap kebenaran. Kutipan atau ujaran orang dapat dipenggal-penggal dan disajikan sesuai kepentingan aktor yang membikinnya untuk menciptakan opini tertentu. Setiap orang dapat mempromosikan diri sendiri untuk kepentingan tertentu atau narsis tanpa rasa sungkan dan malu hati. Ujaran-ujaran kasar, keras, dan kotor pun dalam dosis rendah hingga tinggi dapat diproduksi secara vulgar dan terbuka. Amarah, kebencian, permusuhan, dan fitnah menjadi hal lumrah dan serba bebas diproduksi dalam relasi media sosial nyaris tanpa bingkai benar-salah, baik-buruk, dan pantas-tidak pantas yang berbasis nilai-nilai luhur agama dan moralitas utama.
Di sinilah pentingnya Islam hadir dengan dakwah digital yang menyuarakan pesan keselematan, kebahagiaan, kedamaian, keadilan, cinta kasih, keramahan, kelembutan, dan nilai-nilai ihsan sehingga manusia menjadi sosok-sosok yang berakhlak mulia baik dalam kehidupan pribadi maupun dalam relasi dengan sesama dan lingkungannya. Di sini pula Muhammadiyah sebagai gerakan Islam penting untuk hadir secara proaktif dalam mengemban dakwah digital yang mencerahkan menuju terwujudnya masyarakat utama yang cerdas berkeadaban dan berkemajuan dalam bingkai rahmatan lil-‘alamin!
Sumber: Majalah SM Edisi 13 Tahun 2018