Keislaman, Kearaban, Dan Keindonesiaan (2)
Oleh Hajriyanto Y. Thohari
BAGI orang Islam nonarab seperti kita, memang mudah sekali mengatakan bahwa Islam tidak identik dengan Arab. Pasalnya, Islam adalah agama yang bersifat universal, lintassuku dan lintasbangsa; sementara Arab adalah nama atau identitas suatu bangsa: Bangsa Arab. Dan jangan lupa orang Arab itu, seperti kata Albert Hourani, dalam Arabic Thought in the Liberal Age (1962), mendefinisikan dirinya dengan bahasa: bahwa bangsa Arab adalah meliputi semua masyarakat yang berbahasa Arab.
Walhasil, yang mempersatukan Arab menjadi satu bangsa sekarang ini adalah bahasa (Arab), bukan agama (Islam). Faktanya tidak semua orang Arab beragama Islam, bahkan secara numerikal jumlahnya juga lumayan besar. Meskipun demikian hubungan orang Arab dan Islam itu tetap saja unik. Pasalnya, pembawa risalah Islam, Nabi Muhammad SAW dan penganut-penganut awal, adalah bangsa Arab (asli).
Philip K. Hitti, guru besar Bahasa Semit di Universitas Princeton, dalam bukunya The Arab: A Short History, mengatakan bahwa bangsa Arab asli adalah kaum Badawi yang tinggal di jazirah Arab (atau “Pulau Arab”, karena orang Arab menyebut negerinya dengan pulau, al-jazirah). Mereka itu sebelum Islam bukanlah siapa-siapa: tidak dikenal dalam sejarah dan peradaban dunia. Tapi setelah kedatangan Islam mereka lah yang menjadi pilar utamanya dan mereka pula lah yang membawanya keluar jazirah Arab: bukan hanya berhasil mengislamkan bangsa-bangsa di sekitarnya sampai ke seluruh Afrika Utara, tapi juga mengarabkannya.
Maka mendiang Ismail Al-Faruqi, guru besar di Universitas Temple, dalam Islam dan Kebudayaan menyatakan bahwa Arab (baca: ‘urubah) itu ibu kandung kebudayaan Islam. Tapi uniknya kelak sang ibu kandung (Arabisme) dikalahkan sang anak (Islam). Tak heran jika posisi Islam di dalam bangsa Arab sendiri sangat lah unik, bahkan bagi bangsa Arab sendiri sekalipun! Maka jangan kaget ketika menemukan para intelektual Arab nonmuslim seperti Constantin Zureik (tokoh aktivis dan pemikir Suriah/Lebanon), Michel Aflaq (ideolog Partai Baath di Irak dan Suriah), Farah Antun (cendekiawan Kristen Koptik, Mesir), dan lain-lainnya, yang nota bene Kristen itu, mengklaim dengan penuh kebanggaan bahwa kegemilangan Islam adalah kegemilangan bangsa Arab.
Ketika para intelektual tersebut membanggakan kejayaan Arab maka yang terbayang dalam benak mereka tidak lain dan tidak bukan adalah kejayaan Islam. Jadi Arab dan Islam selalu disebut dalam satu tarikan nafas.
George Zaedan, Amin Maalouf, dan sastrawan-sastrawan prolifik Arab lainnya yang nota bene beragama Kristen, juga selalu menulis karya sastra dengan setting kejayaan Islam. Baca saja novel-novel sejarah seperti Pasukan Islam di Tanah Galela, Fathu al-Andalus (George Zaedan), Samarkand, Balthasar Odyssey, Leo the African (Amin Maalouf), dan lain-lainnya: sejarahnya adalah sejarah Islam! Ini mirip dengan India yang manakala melihat kejayaan masa lalu yang tampak adalah Mughal Empire dengan Taj Mahal, Qutub Manar, dan Fateh Puri-nya.
Kegemilangan sejarah bangsa Arab adalah karena Islam, tetapi kegemilangan itu menjadi kebanggaan semua orang Arab apapun agamanya. Michel Aflaq, misalnya, menyatakan: “Di mana ada Islam, di situ ada Arabisme dan kegemilangannya, karenanya tidaklah mungkin memisahkan yang satu dari yang lain. Islam merupakan semangat Arabisme yang membentuk kepribadian bangsa Arab. Dengan bangkitnya Islam, nasionalisme Arab memasuki tahap kematangan yang menentukan. Bahkan nasionalisme Arab tercipta oleh peristiwa-peristiwa sejarah yang besar. Kekuatan bangsa Arab bersumber dari kekuatan Islam, dan demikian pula sebaliknya” (Iraq Today, No 86, April, 1979).
Satu lagi contoh: Constantin Zurayk mengatakan: “Bangsa Arab membutuhkan rasa tanggung jawab kolektif dan perasaan sebagai satu bangsa, namun dengan bentuk khusus: yakni suatu bangsa yang memperoleh ilham dari suatu agama. Dan bagi bangsa Arab agama yang dimaksud tidak lain adalah Islam” (lihat Tareq Ismael, The Arab Left, 1976).
Dalam perspektif ini maka pemikiran untuk memisahkan keislaman dan kearaban sebenarnya tidak lah mungkin, dan bangsa Arab sendiri menyatakannya sebagai tidak perlu. Maka bagi umat Islam yang bukan bangsa Arab tidak lah perlu menyuruh mereka memisahkan keduanya, sebagaimana tidak perlunya kita mengidentikkan keindonesia dan kearaban. Pasalnya: kita bukan bangsa Arab. Kita adalah bangsa Indonesia yang beragama Islam! Itulah keislaman dan keindonesiaan. Jelas, bukan?
Sebelumnya Keislaman, Kearaban dan Keindonesiaan (1)
Hajriyanto Y. Thohari, Wakil Ketua MPR RI 2009-2014, Ketua PP Muhammadiyah