Berguru kepada H Ahmad Basuni

ahmad basuni

“Sini, sini, Mustofa, silakan duduk,” begitu sambutan ramah pak Ahmad Basuni menyambut kedatangan saya di kantor Suara Muhamadiyah.

Setelah bersalaman, saya duduk.

Saya merasa nyaman dengan sambutan ramah itu. Seorang jurnalis nasional, pejuang dan sastrawan mau menemui saya, seorang wartawan baru, aktivis sastra yang tengah sibuk mencari jati diri. Sibuk pula berguru kepada tokoh jurnalis dan sastra yang sudah punya nama.

Apalagi pak Ahmad Basuni yang waktu itu Pemimpin Redaksi Suara Muhammadiyah dan sebelumnya merangkap menjadi Pemimpin Redaksi Harian Mertju Suar Yogyakarta, koran milik Muhamadiyah, adalah lelaki pemberani, yang berani melewati lautan untuk merantau demi mengabdi kepada masyarakat dan umat lewat dunia jurnalistik dan sastra. Dia menyeberang laut, dari bumi perjuangan Kalimantan Selatan menuju kota perjuangan, Yogyakarta.

Sebagai orang yang sejak belia terlibat dalam menerbitkan koran perjuangan di Kalimantan Selatan, maka ketika di kota perjuangan Yogyakarta pun segera melibatkan diri di kancah jurnalistik di koran perjuangan di Yogyakarta. Berkat pergaulan yang luwes, ramah, cerdas dan penuh semangat, di Yogyakarta kemudian menduduki tempat terhormat sebagai pembantu walikota dan anggota DPRD Kota Yogyakarta mewakili Masyumi. Rupanya panggilan sebagai jurnalis sangat kuat sehingga kemudian memilih berjuang di harian Mertju Suar dan Suara Muhamadiyah. Ketika Mertju Suar berubah menjadi harian Masa Kini, beliau memilih mengundurkan diri dan berkonsentrasi memajukan Suara Muhamadiyah bersama Mohammad Diponegoro dan Abdullah Sabda.

Ketika saya datang dan disambut hangat ini adalah ketika saya masih bekerja sebagai wartawan Harian Masa Kini. Saya merasa perlu bersilaturahmi dengan pak Ahmad Basuni untuk menimba pengalaman memimpin sebuah koran atau media press.

Pak Ahmad Basuni terbuka, dan menanyakan kabar para sahabat dan mantan anak buah yang masih aktif di harian Masa Kini. Saya pun memberi kabar kalau mereka baik-bsik saja, bahkan ada salam dari teman-teman Harian Masa Kini untuk beliau. Beliau menjawab wa’alaikumussalam dengan wajah mengandung haru.

Saya bertanya tentang hal-hal utama yang harus dikerjakan jika seseorang berniat untuk maju sebagai jurnalis. Dia tertawa,”Mestinya kamu sudah tahu.”

Saya desak lagi tentang hal yang tidak boleh dilupakan oleh seorang jurnalis. Pak Ahmad Basuni menjawab, harus correct. Artinya cermat dalam menulis berita. Tidak boleh ada kesalahan dalam menulis nama, salah ketik tempat kejadian, dan peristiwa yang diolah menjadi berita harus dikuasai betul. Tidak asal-asalan.

Pak Ahmad Basuni bercerita, sebagai pemimpin redaksi sebuah koran dia bertanggung jawab atas isi koran itu. Tidak jarang di kerja sampai malam untuk ikut mengawasi proses cetak koran itu.

“Kalau itu masih dijalankan Pak, hanya sekarang lebih mudah dilakukan. Kan zaman cetak offset lay out koran sudah bisa dibaca sebelum di bawa ke percetakan. Pemimpin Redaksi bersama Redaksi malam membaca semua isi koran, termasuk caption foto, pak” kataku.

“Bagus itu,’ komentarnya.

“Lantas bagaimana caranya agar tulisan kita menjadi enak dibaca dan menarik pak?’

“Jadilah sastrawan. Selain jadi jurnalis kamu juga harus berlatih menjadi sastrawan. Jadi tulisanmu punya gaya, segar dan menarik untuk dibaca. Untuk ini tirulah saya dan Pak Dipo itu,” katanya.

“Saya tidak sombong lho, banyak pembaca menyatakan tertarik dengan tulisan jurnalistik yang ditulis dengan gaya sastra di majalah ini,” tambahnya.

Saya pun makin mantap menjalankan kerja ganda. Menjadi jurnalis tetapi sekaligus tetap menulis karya sastra. Bedanya, di dunia wartawan yang ditulis adalah fakta yang tidak boleh dicampur imajinasi. Yang boleh dilakukan adalah ketika menuliskan fakta gaya menulisnya tidak kaku, tetapi tetap bertenaga. Kalau menulis karya sastra, fakta boleh diolah dengan imajinasi untuk mengantarkan pesan atau ide yang ingin disampaikan. Ide menjadi kuat kalau permainan imajinasi juga kuat. Saya faham perbedaan antara keduanya dan tidak pernah mencampur adukkan antara menulis berita dengan karya sastra. Menulis laporan atau feature pun tetap mematuhi hukum berita, berada di ruang fakta.

Saya berkali-kali ketemu dengan Pak Ahmad Basuni sampai kemudian merasa ada kedekatan, akrab.

Buktinya, setelah lama, sekian tahun tidak ketemu, tiba-tiba seorang teman sekantor bilang,”Mus, kamu dicari pak Ahmad Basuni. Dia menunggu kamu lho.”

“Dimana?”tanyaku.

“Di PKU. Pak Basuni sakit dan dirawat di sana.”

‘Kaksu begitu saya segera ke sana.”

Teman itu memberikan petunjuk tentang tempat pak Ahmad Basuni dirawat.

Ketika saya datang kebenaran tidak ada orang bezuk. Jadi kami berdua bebas ngobrol.

“Mustofa, saya ini sakit karena kecapekan.”

“Kenapa Pak?”

“Saya kan habis pulang kampung di Kalimantan Selatan sana. Saya bahkan mengunjungi saudara jauh di pelosok Martapura. Semua senang dan dan terharu ketemu saya. Habis lama sekali tidak bertemu setelah saya merantau ke Yogya.”

Kemudian pak Ahmad Basuni asyik bercerita tentang keluarga, tentang saudara, tentang pengalaman heroik di waktu muda saat setelah proklamasi, tentang kehidupan di pinggir sungai, juga tentang kemajuan di daerah sana. Banyak nama dan tempat yang tidak saya kenal. Juga peristiwa penting. Ketika sepuluh tahun atau lebih kemudian saya berkesempatan datang ke Banjarmasin, melewati Banjarbaru, dan mengunjungi Martapura, saya jadi ingat cerita pak Ahmad Basuni ini.

Setelah capai bercerita, dia berpesan agar saya terus menekuni dunia sastra dan jurnalistik. “Saya senang kalau ada generasi penerus seperti kamu,”katanya sebelum saya pamit.

“Tapi, sebentar Mustofa, saya tadi malam bermimpi aneh. Saya bermimpi berkelahi dengan orang yang mirip seperti saya,” katanya.

“Pak Basuni menang atau kalah?” Tanyaku dengan dada berdebar.

“Saya kalah, Mus. Apa ya artinya?”

Deg! Saya kaget. Saya terpaksa berbohong menjawabnya agar beliau tenang.

“Artinya, Pak Basuni akan diberi jalan yang penuh kebahagiaan dan kebaikan oleh Allah” jawabku.

“Terima kasih. Soalnya sejak bangun tidur tadi hati saya tidak tenang memikirkan mimpi itu ”

“Ya sebagai orang yang sedang sakit ada baiknya Pak Basuni banyak berdimoa dan beristighfar,” kataku dengan suara lembut.

Ketika bersalaman, Pak Ahmad Basuni menjabat tanganku erat sekali. Aku tambah berdebar-debar.

Arti dan jawaban mimpi yang sebenarnya, saya dengar beberapa hari kemudian. Pak Ahmad Basuni meninggal dunia di PKU. Cepat saya ‘terbang’ ke rumah sakit itu, dan saya mewancarai anaknya, mas Bakti Noor SH yang beberapa tahun kemudian menjadi teman kerja di Suara Muhamadiyah. Mas Bakti Noor melayani wawancara di depan tempat pak Ahmad Basuni sedang disucikan. Segera saya kembali ke kantor koran untuk menulis berita besar ini.

Keesokan harinya saya bersama teman-teman kantor ke rumah beliau di kampung Pringgokusuman, menyalatkan jenazah. Tak terasa air mata meleleh di mata. Padahal saya bukan anak atau saudaranya. Saya hanya seorang murid dalam jurnalistik dan sastra yang tidak terkenal, yang ditinggalkan gurunya. (Mustofa W Hasyim)

Exit mobile version