Tradisi ‘Rihlah Ilmiah’ Para Ilmuwan Muslim
Oleh: Dr. Arwin Juli Rakhmadi Butar-Butar, MA
Menurut Profesor Hasan Asari (Guru Besar UIN Sumatera Utara), terma ‘rihlah ilmiah’ secara umum digunakan untuk setiap perjalanan guna menuntut ilmu, mencari tempat belajar yang baik, mencari guru yang lebih otoritatif, atau juga perjalanan seorang ilmuwan ke berbagai tempat, apakah dia secara formal melakukan aktifitas akademis atau tidak (Asari, 2006: 195). Dengan definisi ini, istilah ‘rihlah ilmiah’ dapat mencakup sebuah perjalanan yang memang direncanakan untuk tujuan ilmiah (belajar), atau perjalanan biasa terkait kegiatan lainnya.
Akar dari praktik rihlah ilmiah dapat ditemukan dalam nas-nas al-Qur’an yang menekankan bahwa bumi ini diciptakan demikian luas sehingga orang dapat berpindah dari satu tempat ke tempat lain (QS. an-Nisa’ [04]: 97, al-Ankabut [29]: 56). Perintah al-Qur’an ini sejalan dengan semangat Islam secara keseluruhan tentang ilmu. Perintah untuk melakukan perjalanan demi ilmu pengetahuan hanyalah bagian praktis dari anjuran yang sangat kuat dalam al-Qur’an untuk mencari ilmu.
Tradisi rihlah ilmiah di dunia Islam berawal dari ketika Nabi Saw mengutus beberapa sahabat sebagai guru untuk mengajar di berbagai daerah taklukkan Islam. Kasus paling terkenal adalah pengiriman sahabat Mu’adz bin Jabal ke Yamann. Kasus ini demikian viral karena adanya dialog yang mengiringi pemberangkatan beliau yang menjadi kutipan favorit para ulama sebagai landasan dibenarkannya berijtihad dengan ra’yu (akal). Para Khulafaur Rasyidin juga melakukan hal yang sama, mereka mengirim para sahabat ke berbagai daerah untuk menjamin ajaran Islam diajarkan secara baik kepada segenap masyarakat Muslim.
Dalam perkembangan berikutya, upaya pengumpulan dan rekonstruksi hadis Nabi Saw merupakan modus lanjut dari praktik ilmiah dalam skala yang yang lebih massif. Selanjutnya dari tradisi pengumpulan hadis ini rihlah ilmiah kemudian mengalami perkembangan signifikan. Perkembangan berikutnya lagi para ulama dan ilmuwan Muslim dalam semua disiplin ilmu turut melakukan rihlah ilmiah. Dan oleh karena itu rihlah ilmiah menjadi bagian yang sangat penting dari kegiatan keilmuan para ulama silam. Sejumlah praktik para sahabat Nabi saw di atas sejatinya hari ini menjadi fondasi awal yang membuat rihlah ilmiah menjadi satu keniscayaan bagi para ulama.
Adapun praktik-praktik tentang rihlah ilmiah agaknya dapat secara mudah dilihat dengan menelaah biografi para ulama dan atau ilmuwan terkemuka yang mana data dan deskripsi tentang mereka terekam di dalam buku-buku bibliografi utama.
Dengan membaca biografi dan perjalanan kehidupan dan keilmuan para ulama ini, kita akan mengerti betapa tingginya etos dan mobilitas keilmuan mereka, yang mana salah satu tradisi yang kerap mereka lakukan adalah menuntut ilmu atau mencari guru dari satu tempat ke tempat lain dan dalam waktu yang amat lama.
Di dunia Islam, tokoh utama ulama yang terkenal dengan rihlah ilmiahnya adalah Ibn Bathutah, yang mana kisah dan catatan perjalanannya menjadi rujukan para peneliti dan sejarawan, bahkan menjadi informasi sangat berharga bagi para pengkaji kajian kesejarahan dan peradaban. Sedangkan dalam dunia sains astronomi kita mengenal sejumlah astronom yang kerap melakukan perjalanan dalam hidupnya guna mengumpulkan data astronomis dan informasi lainnya. Diantaranya dapat disebutkan antara lain astronom Muslim asal Maroko bernama Al-Marrakusyi (Abu Ali al-Hasan bin Ali al-Marrakusyi), wafat setelah tahun 680 H/1281 M. Dalam sejarah dia tercatat pernah melakukan perjalanan mulai dari Maroko, Tunisia, Andalusia (Spanyol), dan terakhir Mesir. Dalam perjalanannya itu, al-Marrakusyi banyak mengumpulkan data-data penting terutama data-data lintang dan bujur dalam proyeksi garis-garis Jam Matahari (Mizwala), dimana di zaman Yunani belum pernah digunakan. Sumbangan lainnya, tahun 622 H/1225 M, dia telah mengobservasi sebanyak 240 bintang, dan hasil observasinya ini dia tulis dan daftarkan dalam bentuk zij (tabel astronomi).
Dalam perkembangannya, hasil-hasil observasi atas 240 bintang ini banyak dikutip oleh tokoh sezaman dan sesudahnya, bahkan hingga era modern. Di sini tampak bahwa al-Marrakusyi sangat berpedoman pada hasil observasi, dan ini merupakan dasar bagi pengembangan ilmu astronomi, yang dihasilkan melalui penelaahan, observasi, dan rihlah ilmiah.
Tokoh lainnya adalah Al-Biruni (Abu Raihan Muhammad bin Ahmad al-Biruni), wafat tahun 440 H/1048 M. Al-Biruni adalah ilmuwan Muslim eksperimentalis yang memiliki keahlian dalam berbagai bidang ilmu. Salah satu keilmuan yang paling menonjol padanya adalah keilmuan astronomi. Dalam sejarah dia tercatat pernah melakukan perjalanan (rihlah ilmiah) ke India dalam waktu yang cukup lama (sekitar 40 tahun). Buah dari perjalanan panjangnya ini adalah karyanya yang berjudul “Tahqiq Ma li al-Hind Min Maqulah Maqbulah fi al-‘Aql Au Mardzulah”. Buku ini berisi kajian dan informasi masyarakat India berupa aspek sosial, budaya, agama, raja-raja, tatanan sosial, sistem masyarakat, tradisi, dan lain-lain.
Di era modern, apa yang ditulis Al-Biruni ini menjadi rujukan para peneliti modern dalam masalah sosiologi dan bahkan dalam masalah perbandingan agama. Oleh karena itu patut dicatat bahwa sumbangan spektakuler Al-Biruni ini mustahil ia capai tanpa adanya proses pencarian dan pengelanaan panjang ke berbagai daerah (khususnya India). Hal ini sekali lagi menegaskan posisi dan urgensi rihlah ilmiah.
Tokoh berikutnya adalah Ibn Syathir (‘Ala’uddin Abu al-Hasan ‘Ali bin Ibrâhim bin Muhammad bin al-Humam bin Muhammad bin Ibrâhim bin Hasan al-Anshâri ad-Dimasyqy), wafat tahun 777 H/1375 M. Tokoh ini berasal dari Suriah, dia dikenal sebagai ahli konstruksi alat-alat astronomi. Dalam sejarah dia tercatat pernah melakukan perjalanan guna menuntut ilmu sampai ke Cairo dan Iskandariah (Mesir). Di negeri ini dia banyak mendapat data dan informasi baru. Lalu selanjutnya di Syam (Suriah) dia menjabat sebagai muwaqqit (juru penentu waktu) untuk Masjid Agung Umawiyah. Tak ayal, kepercayaan sebagai juru waktu yang merupakan profesi istimewa kala itu, diberikan kepadanya merupakan konsekuensi dari kemampuan dan keahlian yang dia miliki. Sedangkan kemampuan yang dia miliki itu diantaranya adalah buah dari perjalanan di Mesir yang dikenal memiliki khazanah ilmu mikat (‘ilm al-miqat), khususnya era Mamalik.
Demikianlah, tradisi rihlah ilmiah di dalam Islam membuahkan bukan saja ilmuwan yang berkualitas, namun juga membentuk satu tradisi dan iklim ilmiah baru yang berbeda, bahkan tidak ada, di zaman sebelumnya. Dan tradisi ini sekaligus menjadi salah ciri dan keunggulan peradaban Islam. Sejumlah tokoh ulama dan ilmuwan yang disebutkan di atas hanya segelintir, masih ada banyak lagi tokoh-tokoh ulama dan ilmuwan Muslim yang nama mereka tercatat dan memiliki catatan dan capaian keilmuan melalui rihlah ilmiah. Demikian lagi terdapat capaian para ulama-ilmuwan dengan segenap rihlah ilmiahnya betapapun nama mereka itu tidak tercatat dalam buku-buku bibliografi. Namun yang pasti, tradisi rihlah ilmiah itu ada dan telah memainkan peranan penting di peradaban Islam.[]
Dr. Arwin Juli Rakhmadi Butar-Butar, MA, Dosen FAI UMSU dan Kepala Observatorium Ilmu Falak UMSU