Külliye: Dari Masjid Menjadi Pusat Kota

Külliye: Dari Masjid Menjadi Pusat Kota

Oleh: Azhar Rasyid

Masjid umumnya tidak hanya dimanfaatkan sebagai tempat menunaikan shalat, tapi juga memiliki fungsi sosial dan edukasi, di mana kaum Muslim yang berada di sekitar masjid berinteraksi dan memperoleh pengetahuan. Kesultanan Turki Usmani bahkan bergerak lebih jauh. Mereka berhasil menjadikan masjid tidak hanya sebagai pusat keagamaan dan pendidikan warga di kawasan sekitarnya, tapi bahkan menggerakkan aktivitas penduduk suatu kota. Inilah yang dikenal sebagai külliye. Dari sebuah masjid, külliye berkembang menjadi pusat pengajaran, sentra ekonomi, dan pada akhirnya, urat nadi kota. Külliye, yang ada di masa Turki Usmani, khususnya sejak abad keempat belas hingga abad keenam belas, adalah elemen penting dalam dinamika pengembangan ilmu pengetahuan dan interaksi sosial di kota-kota Turki Usmani.

Alasan pokok di balik pendirian külliye adalah pengejawantahan gagasan tentang zakat dan wakaf, di mana sultan dan orang-orang yang mampu mengusahakan berbagai sarana ekonomi, sosial, pendidikan, dan keagamaan bagi kepentingan masyarakat umum.  Külliye pada dasarnya adalah sebuah kompleks berisi sejumlah bangunan. Intinya adalah sebuah masjid yang dikelilingi oleh berbagai fasilitas pendidikan dan sarana penunjangnya. Külliye tak hanya berisi sekolah, tapi juga ditopang oleh berbagai fasilitas yang modern di zamannya, mulai dari pasar, rumah sakit, penginapan hingga pemandian umum. Praktis, warga kota bisa menjalankan berbagai aktivitas di külliye, mulai dari belajar, berbelanja, ataupun mencari pelayanan kesehatan.

Masjid-masjid di masa Turki Usmani terkenal karena kemegahannya. Para sultan Usmani membangunnya sebagai tempat ibadah, dan mereka tidak segan-segan mengeluarkan biaya besar dan menggunakan material mahal dalam pembangunannya. Tak heran bila masjid Usmani tampak monumental, baik di bagian luarnya yang dihiasi dengan kubah-kubah raksasa dan menara yang tinggi, dan di bagian dalamnya yang penuh ornamen indah. Di luar fungsinya sebagai tempat ibadah, masjid-masjid ini juga tak ubahnya medium untuk menunjukkan kebesaran sang sultan, kemajuan arstitektur, dan kebanggaan warga kota. Masjid Usmani berdekatan dengan rumah penduduk, sehingga sepanjang hari dipenuhi oleh aktivitas, baik keagamaan maupun sosial.

Masjid-masjid itu umumnya dibangun di tengah sebuah kompleks besar atau külliye. Warga sekitar yang butuh bahan makanan bisa membelinya di pasar di dekat masjid. Saat waktu shalat datang, mereka tinggal berjalan kaki ke masjid. Para pelajar bisa seharian di sana, baik untuk mengikuti pelajaran di sekolah ataupun mencari ilmu di perpustakaan. Pengelola külliye juga menyediakan dapur besar, dan makanan dari sini dibagikan kepada para pelajar. Orang miskin yang butuh makan juga memperoleh manfaat dari dapur ini.

Bursa, sebuah kota di Turki Barat dan pernah menjadi ibu kota Turki Usmani, adalah tempat di mana külliye didirikan untuk pertama kalinya, tepatnya di akhir abad keempat belas. Külliye lalu dikembangkan di masa-masa berikutnya, dan mencapai puncaknya di pertengahan abad ke-16, saat Turki Usmani berada di bawah pemerintahan salah satu sultannya yang paling terkenal, Suleiman I atau Suleiman al-Qanuni. Al-Qanuni memperkerjakan arsitek besar bernama Mimar Sinan untuk membangun külliye di Istanbul. Berbeda dengan külliye sebelumnya yang dibangun di tempat yang datar, Sinan membangunnya di atas bukit. Dilihat dari kejauhan, ini menambah kesan monumental, dan dengan segera membuatnya menjadi ikon kota.

Külliye yang diinisiasi oleh al-Qanuni terdiri atas beberapa sekolah (madrasa) yang dipecah menjadi sekolah-sekolah khusus untuk mengkaji setiap mazhab dalam Islam. Sekolah lainnya di kompleks yang sama mencakup sekolah untuk mempelajari hadis dan sebuah sekolah untuk mendidik tenaga kesehatan. Untuk para guru disediakan pula tampat tinggal di dalam kompleks. Sebuah makam besar, atau mauseloum, diperuntukkan bagi sultan yang mangkat.

Dalam perkembangannya, külliye bertransformasi menjadi ruang publik favorit warga kota. Külliye menjadi penggerak aktivitas sosial dan ekonomi penduduk dan memacu kemakmuran kota-kota besar Usmani seperti Istanbul, Bursa, Edirne dan Konya. Pembeli dan penjual bertemu dan bertransaksi di külliye, sementara para penguasa Usmani mendapatkan pemasukan dari berbagai sumber di külliye.

Külliye juga melahirkan bidang pekerjaan yang baru karena memeliharanya membutuhkan banyak tenaga. Muncullah sistem pembagian kerja di dalam külliye. Külliye dipimpin oleh seorang kepala administratif. Guru agama dan pelajaran umum, khususnya kedokteran, bertugas mengajar para siswa. Selain mereka ada koki dan pelayan yang diperlukan untuk memastikan ketersediaan makanan para penghuni külliye, serta untuk mereka yang membutuhkan, seperti musafir dan warga kurang mampu. Ada pula sejumlah penjaga bangunan, tenaga kebersihan, hingga penggali kuburan. Bantuan untuk merawat dan mengembangkan külliye datang dari sejumlah pihak, baik penguasa maupun rakyat biasa, sehingga melahirkan rasa memiliki pada külliye.

Külliye menjadi model pengembangan kota oleh pemerintahan Turki Usmani. Guna menghidupkan kawasan yang sepi atau tak berpenghuni, penguasa Usmani mendirikan külliye sebagai magnet untuk menggerakkan aktivitas masyarakat. Ini terjadi di wilayah Karapinar di Konya. Setelah Sultan Selim II (1512-1520) membangun külliye di sana, kawasan itu kembali menunjukkan tanda-tanda kehidupan, dan bahkan berkembang menjadi sebuah kota, yang belakangan dikenal dengan nama Sultaniye.

Praktik külliye juga “diekspor” ke daerah kekuasaan Turki Usmani yang berada di luar Turki. Kawasan Tatarpazarcik, Bulgaria, umpamanya, tumbuh sebagai salah satu pusat perdagangan di Eropa Tenggara dengan dibangunnya külliye di sana oleh Minnet Bey, penguasa yang ditunjuk oleh sultan Usmani untuk mengelola kawasan itu. Perkembangan serupa terjadi di Bosnia. Isa Bey, seorang pejabat Turki Usmani, pada pertengahan abad ke-15 mendirikan külliye di salah satu kawasan di sana. Kawasan itu berkembang pesat, dan kemudian berubah menjadi sebuah kota yang masih ada hingga kini: Sarajevo.

Azhar Rasyid, Penilik sejarah Islam

Sumber: Majalah SM Edisi 20 Tahun 2017

Exit mobile version