Al-Ghaffâr merupakan salah satu dari asmâul husnâ (nama-nama yang indah bagi Allah) yang mempunyai arti Maha Pengampun. Kata al-Ghaffâr disebutkan dalam al-Qur’an sebanyak 5 kali, yakni pada surah Nuh[71]: 10, Shad [38]: 66, Ṭaha [20]: 82, Ghafir [41]: 42, az-Zumar [39]: 5. Kata ini searti dengan kata al-Ghafûr. Secara kebahasaan akar kata al-Ghaffâr berasal dari kata dasar gha-fa-ra yang berarti menutup. Dalam bahasa Arab, kata dasar ghafara dapat terbentuk menjadi kata yang sangat beragam seperti istighfâr (permohonan ampunan), maghfirah (ampunan), ghufrân (ampunan), ghâfir (yang mengampuni), ghafûr (pengampun), ghufrah (alat penutup), ghafîr (yang menutupi), dan seterusnya.
Secara istilah kata al-Ghaffâr selalu mengacu pada arti Maha Mengampuni. Mengampuni berarti menutupi dosa dengan ampunan sehingga dosa itu tidak terlihat lagi. Dengan demikian manusia tetap dalam kemuliannya, di dunia maupun di akhirat.. Allah juga yang menutupi segala kekurangan manusia walaupun manusia bersalah. Namun, karena maghfirah (ampunan) Allah manusia menjadi terhormat dan mulia di hadapan manusia lainnya.
Manusia juga akan menjadi makhluk yang hina dan menjijikkan jika selalu dihiasi dengan perbuatan dosa. Oleh karena itu, supaya manusia selalu dalam kemuliaan, Allah menyuruh manusia untuk meminta maghfirah dengan istighfâr supaya ditutupi dosa-dosanya dengan ghufrân (ampunan). Dengan selalu beristighfâr, Allah akan memberi ampunan (penutup dosa), sehingga manusia selalu mulia di hadapan manusia lainnya. Kita tidak dapat membayangkan jika Allah membuka seluruh dosa, aib, dan kekurangan kita di hadapan orang lain. Kita akan menjadi hina di hadapan orang lain. Allah berfirman,
فَقُلْتُ اسْتَغْفِرُوا رَبَّكُمْ إِنَّهُ كَانَ غَفَّارًا ١٠
Maka aku katakan kepada mereka, “Mohonlah ampun kepada Tuhanmu, sesungguhnya Dia adalah Maha Pengampun” (QS. Nuh[71]: 10).
Dengan menghayati makna al-Ghaffâr tersebut, manusia akan menyadari bahwa dirinya adalah makhluk yang lemah. Kemuliaan yang selama ini disandangnya tidak lain karena kekurangan, aib, dan dosa-dosanya ditutupi oleh Allah dari penglihatan manusia. Oleh karena itu, wajib bagi manusia untuk selalu istighfâr hanya kepada Allah, al-Ghaffâr.
Ustadi Hamzah, Department of Religious Studies UIN Sunan Kalijaga
Sumber: Majalah SM Edisi 3 Tahun 2018