Banyaknya masalah yang dialami anak-anak di samping bersumber dari pola hubungan antaranak dalam relasi sosialnya, juga dalam banyak hal bersumber dari pola hubungan yang kurang ideal antara mereka dengan orangtua mereka sendiri. Oleh karena itu, perlu diingatkan kepada para orangtua akan artipentingnya ‘peretasan kembali’ kelekatan hubungan antara anak dengan orangtua. Dalam konteks relasi pendidikan, antara peserta didik dengan pendidiknya, untuk kepentingan masa depan mereka. Kelekatan hubungan antara anak dengan orangtua adalah bagian dari sebuah proses pertumbuhan dan perkembangan ikatan emosional secara resiprokal (timbal-balik) antara anak dengan orangtua.
Mari kita pahamii ‘ibrah dari sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dari (sahabat) Abu Hurairah r.a., yang berisi pernyataaan Nabi saw, “bahwa setiap bayi dilahirkan (ke dunia ini) berada dalam kesucian (fitrah). Kemudian kedua orangtuanyalah yang akan menjadikannya Yahudi, Nasrani, atau pun Majusi. Setiap anak akan menjadi apa pun dan siapa pun antara lain bergantung pada kelekatan mereka dengan orangtuanya, utamanya terkait dengan proses pendidikan yang dikemas oleh orangtuanya.
Oleh karena itu, saya tegaskan, bahwa saat ini diperlukan minimal 4 (empat) strategi yang harus dilakukan oleh para orangtua dalam konteks tanggung jawabnya terhadap pendidikan anak-anaknya. (1) persiapkan diri sebaik mungkin untuk menjadi orangtua yang sadar akan tanggung jawabnya sebagai pendidik bagi anak-anak; (2) ciptakan komunikasi yang ideal dengan anak-anak sejak dini ; (3) ciptakan dialog yang terbuka dengan anak-anak secara positif; (4) ciptakan kebersamaan dalam keluarga dengan anak-anak.
Dan, yang perlu diingat bahwa upaya peretasan kembali kelekatan hubungan yang positif itu, membutuhkan kerja sama antara orangtua dan anak secara timbal-baik, dengan (1) menciptakan waktu kebersamaan yang konsisten, yang dipenuhi dengan perasaan tenang, senang dan santai; (2) berlatih sejak dini untuk tidak menyertakan (melibatkan secara aktif) orang lain, agar anak-anak terbiasa berada bersama dan dekat dengan orangtuanya), lebih dapat belajar dan berkomunikasi dengan orangtuanya, bisa merasakan senangnya ‘berjalan-jalan’ (berproses untuk menjadi dewasa) bersama dengan orangtuanya. Sementara itu, orangtua juga harus bersedia untuk belajar dari anaknya dan melihat hasil pendidikannya selama ini, melalui pengamatan terhadap terhadap pertumbuhan dan perkembangan sikap dan perilaku anak. Demikian juga –, diharapkan –orangtua bisa memahami perilakunya sendiri, dengan memertanyakan kepada dirinya tentang ‘apa yang perlu diubah dari dirinya’ sebagai pendidik utama bagi putera-puterinya, demi kepentingan masa depan anak-anaknya.
Ibda’ bi nafsik!
Muhsin Hariyanto, Dosen Tetap Fakultas Agama Islam Universitas Muhammadiyah Yogyakarta
Sumber: Majalah SM Edisi 5 Tahun 2018