Jangan Kau Sakiti Hatiku
Oleh: Alif Sarifudin Ahmad
وَٱلَّذِينَ يُؤْذُونَ ٱلْمُؤْمِنِينَ وَٱلْمُؤْمِنَـٰتِ بِغَيْرِ مَا ٱكْتَسَبُوا۟ فَقَدِ ٱحْتَمَلُوا۟ بُهْتَـٰنًۭا وَإِثْمًۭا مُّبِينًۭا [٣٣:٥٨]
Dan orang-orang yang menyakiti orang-orang yang mukmin dan mukminat tanpa kesalahan yang mereka perbuat, maka sesungguhnya mereka telah memikul kebohongan dan dosa yang nyata.
Para pembaca yang budiman tidak terasa, penulis sudah hadirkan tulisan melalui rubrik ini edisi yang kelima belas dari delapan puluh yang penulis azzamkan. Kali ini penulis ingin megajak kepada para pembaca untuk melihat sisi dari bagaimana agar kita saling mencintai sesama orang yang beriman. Jangan sakiti hati sesama orang yang beriman, karena hati yang lemah akan bertambah lemah saat ada saling menyakiti, sebaliknya hati yang lemah akan bertambah kuat sat tidak ada saling menyakiti sesama kita. Kita itu sebenarnya satu tetapi terkadang karena perbedaan, persatuan selama ini yang kita bangun mulai terkoyak karena saling menyakiti.
Kita sebagai umat Islam terkadang kurang menyadari bahwa saling menyakiti sesama orang beriman itu dosa besar. Hal ini sering kita saksikan di media elektronik, media cetak, media sosial bahwa sesama muslim saling menjatuhkan bahkan saling hina, mencaci, hingga tidak segan-segan untuk saling membunuh dan membinasakan. Hal ini dilakukan hanya untuk mengejar ambisi dunia, tahta, harta, dan pencitraan.
Bentuk-bentuk menyakiti terhadap orang yang beriman saatnya segera untuk diakhiri apabila kita ingin selamat dan berbahagia hidup di dunia dan di akhirat. Dari seluruh sebab turun ayat di atas (Al-Ahzab ayat 58) kita bisa mengetahui bahwa gangguan terhadap orang-orang yang beriman bisa berupa perkataan dan perbuatan, meskipun konteks ayat ini berkaitan dengan tuduhan palsu yang diarahkan kepada orang-orang yang beriman, padahal mereka tidak melakukannya.
Di masyarakat kita, terkadang sesama muslim untuk kenikmatan sesaat orang begitu mudahnya menyakitI seperti megedepankan dalih pencitraan, tanpa mengingat hati sesama orang beriman yang tersakiti sering melakukan perbuatan tercela di antaranya memfitnah dan memutarbalikkan fakta. Tentang fitnah, Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengabarkan bahwa dosanya lebih besar dari perbuatan ghîbah. Diriwayatkan dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu bahwasanya dia berkata:
قِيلَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ مَا الْغِيبَةُ؟ قَالَ:(( ذِكْرُكَ أَخَاكَ بِمَا يَكْرَهُ )). قِيلَ: أَفَرَأَيْتَ إِنْ كَانَ فِى أَخِي مَا أَقُولُ؟ قَالَ:(( إِنْ كَانَ فِيهِ مَا تَقُولُ فَقَدِ اغْتَبْتَهُ وَإِنْ لَمْ يَكُنْ فِيهِ مَا تَقُولُ فَقَدْ بَهَتَّهُ )).
“Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah ditanya, ‘Ya Rasûlullâh! Apa yang dimaksud ghîbah?’ Beliau menjawab, ‘(Ghîbah adalah) engkau menyebut perihal saudaramu dengan sesuatu yang dia benci.’ Kemudian Beliau ditanya, ‘Bagaimana jika pada diri saudaraku memang seperti yang aku katakan?’ Beliau menjawab, ‘Jika padanya apa yang kamu katakan maka engkau telah meng-ghîbahi-nya dan jika tidak ada pada dirinya yang kamu katakan maka engkau telah memfitnah.’.
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda:
عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ قَالَ كُلُّ الْمُسْلِمِ عَلَى الْمُسْلِمِ حَرَامٌ مَالُهُ وَعِرْضُهُ وَدَمُهُ حَسْبُ امْرِئٍ مِنَ الشَّرِّ أَنْ يَحْقِرَ أَخَاهُ الْمُسْلِمَ )). قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- ((
“Setiap Muslim terhadap Muslim yang lainnya haram harta, kehormatan dan darahnya. Cukuplah seseorang dianggap melakukan keburukan jika dia meremehkan saudaranya Muslim.
Menyakiti sesama muslim itu haram hukumnya. Apalagi sampai melenyapkan nyawa. Orang yang dengan sengaja membunuh sesama orang muslim balasan dari Allah SWT itu lebih mengerikan yaitu disiksa di neraka jahannam. Allah SWT berfirman dalam Al-Qur’an surat An-Nisaa ayat 93,
وَمَن يَقْتُلْ مُؤْمِنًۭا مُّتَعَمِّدًۭا فَجَزَآؤُهُۥ جَهَنَّمُ خَـٰلِدًۭا فِيهَا وَغَضِبَ ٱللَّهُ عَلَيْهِ وَلَعَنَهُۥ وَأَعَدَّ لَهُۥ عَذَابًا عَظِيمًۭا [٤:٩٣]
Dan barangsiapa yang membunuh seorang mukmin dengan sengaja maka balasannya ialah Jahannam, kekal ia di dalamnya dan Allah murka kepadanya, dan mengutukinya serta menyediakan azab yang besar baginya.
Meneladani sifat Rasulullah agar tidak ada saling menyakiti di antara kita adalah bagaimana kita memiliki sifat benar atau shiddiq dan Amanah. Shiddiq artinya benar. Bukan hanya perkataannya yang benar, tapi juga perbuatannya juga benar. Sejalan dengan ucapannya. Berbeda sekali dengan oknum zaman sekarang yang kebanyakan hanya kata-katanya yang manis, namun perbuatannya berbeda dengan ucapannya.
Amanah artinya benar-benar bisa dipercaya. Jika satu urusan diserahkan kepadanya, niscaya orang percaya bahwa urusan itu akan dilaksanakan dengan sebaik-baiknya. Oleh karena itulah Nabi Muhammad SAW dijuluki oleh penduduk Mekkah dengan gelar “Al Amin” yang artinya terpercaya jauh sebelum beliau diangkat jadi Nabi. Apa pun yang beliau ucapkan, penduduk Mekkah mempercayainya karena beliau bukanlah orang yang pembohong.
Dalam surat Al-A’raf ayat 68 Allah SWT berfirman,
أُبَلِّغُكُمْ رِسَـٰلَـٰتِ رَبِّى وَأَنَا۠ لَكُمْ نَاصِحٌ أَمِينٌ [٧:٦٨]
Aku menyampaikan amanat-amanat Tuhanku kepadamu dan aku hanyalah pemberi nasehat yang terpercaya bagimu”.
Mustahil Nabi itu khianat terhadap orang yang memberinya amanah. Ketika Nabi Muhammad SAW ditawari kerajaan, harta, wanita oleh kaum Quraisy agar beliau meninggalkan tugas ilahinya menyiarkan agama Islam, beliau menjawab: ”Demi Allah…wahai paman, seandainya mereka dapat meletakkan matahari di tangan kanan ku dan bulan di tangan kiri ku agar aku meninggalkan tugas suci ku, maka aku tidak akan meninggalkannya sampai Allah memenangkan (Islam) atau aku hancur karena-Nya”……Meski kaum kafir Quraisy mengancam membunuh Nabi, namun Nabi tidak gentar dan tetap menjalankan amanah yang dia terima. Seorang Muslim harusnya bersikap siddiq dan amanah seperti Nabi, maka tidak ada saling menyakiti di antara kita.
Akhirnya penulis berpesan kepada sendiri dan pembaca, akhiri segala perjalan hidup ini dengan tidak saling menyakiti. Dengan cinta dan kasih sayang semua akan menjadi indah dan bahagia. Isilah sisa-sisa usia ini dengan saling mencintai sesama orang beriman. Mengapa kalau ada perbedaan harus berakhir dengan saling menyakiti dan kebencian. Perbedaan merupakan bukti keadilan Allah SWT. Menyambut datangnya bulan suci Ramadhan rapatkan barisan di antara kita untuk mengokohkan persatuan. Ada tiga kekuatan yang semestinya kita bangun untuk tidak saling menyakiti. Ketiga kekuatan itu adalah sucikan hari, kendalikan diri, dan semangat untuk mengubah diri menjadi mukmin sejati. Semoga bermanfaat. Nashrun Minallahi Wa fathun Qarieb Wa Bashshiril Mukminin.
Alif Sarifudin Ahmad, PDM Kota Tegal