Ibu Inang, Ketua ‘Aisyiyah Banggai Pembina Suku Terasing di Pedalaman Sulteng

Ibu Inang

BANGGAI, Suara Muhammadiyah – Motor yang ditumpang Ibu Inang tiba-tiba berhenti ketika akan menyeberangi jembatan gantung. Ternyata ada pengendara lain yang melintas berlawanan, karena jembatan sekitar 100 meter tersebut hanya bisa dilewati satu kendaraan saja. Ketua Pimpinan Daerah ‘Aisyiyah (PDA) Banggai, Sulawesi Tengah tersebut hendak mencari tempat yang dapat menjangkau sinyal internet, kebun kelapa sawit-lah tujuannya.

Sri Moxsa Djalamang, nama lengkap Ibu Inang, dengan seragam ‘Aisyiyah lengkap mengikuti Konsolidasi NasinalAisyiyah secara daring dari daerah pedalaman, Sabtu (3/4/2021). Sudah sejak tahun 2017, Ibu Inang melakukan pembinaan mualaf di pemukian suku terasing di pedalaman Tombiobong, desa Maleo Jaya kecamatan Batui Selatan, Kabupaten Banggai, Sulawesi Tengah (Sulteng).

Jika dilihat dari peta, Kabupaten Banggai terletak di ujung timur Provinsi Sulawesi Tengah, disebut juga tangannya pulau Sulawesi. Ibu Inang rutin setiap Jum’at sore sampai Ahad sore melakukan pembinaan dan pemberdayaan serta menginap dua hari di tempat suku terasing tersebut.

“Jum’at malam ada pengajian untuk ibu-ibu mualaf, saya mengimami shalat maghrib berjamaah kemudian dilanjutkan dengan tausyiah mengenai akidah dan disambung dengan pemberantasan buta huruf Arab (untuk mengaji),” ungkap Ibu Inang kepada Suara Muhammadiyah baru-baru ini.

Pada hari Sabtu diadakan pendampingan berupa pemberdayaan ekonomi di lahan percontohan untuk perkebunan. Sore harinya kembali shalat berjamaah dilanjutkan belajar membaca dalam rangka pemberantasan buta aksara latin. “Ibu-ibu di sana belum mengetahui cara shalat. Oleh karena itu terus didampingi dan diajarkan secara teratur,” tutur Ibu Inang.

Kebetulan pada hari itu ada Konsolidasi, Ibu Inang naik ke bukit supaya mendapatkan sinyal untuk mengikuti meeting Zoom. Bersyukur cuaca saat itu cerah, jadi tetap bisa mengikuti pertemuan secara virtual maupun di ruang terbuka seperti kebun kelapa sawit dengan pemandangan yang apik tersebut.

Menurutnya, ini hal biasa yang sering dilakukan, tidak seperti di kota maupun daerah lain yang memiliki akses jaringan internet yang baik. Di sana kalau menelepon pasti ke kebun sawit karena memang terjangkau jaringan. Ketika mengikuti konsolidasi pun ada beberapa orang, diantaranya pelajar yang sedang mengikuti pelajaran secara online. Untuk mencapainya perlu menempuh jarak sekitar 5 KM dengan berjalan kaki.

“Ini kami lakukan juga jika ada pengajian-pengajian maupun pertemuan penting tingkat daerah maupun wilayah. Konsolidasi sangat penting sekali untuk memberikan kekuatan kepada kami agar senantiasa istiqomah, tetap semangat untuk kembali ke pemukiman mualaf dalam rangka syiar Islam lewat pembinaan oleh ‘Aisyiyah,” ujar Ibu Inang.

Perjuangan Ibu Inang dan ‘Aisyiyah Banggai sungguh berat namun membanggakan, perjalanan terjal, melewati jembatan gantung, meneberangi sungai, serta mendaki tanjakan berbatu. Dibonceng Ibu Sumirah, Kepala Sekolah SD Muhammadiyah Tombiobong, Ibu Inang tetap mengikuti konsolidasi nasional sembari tetap membina suku terasing.

“Alhamdulillah di sana sudah berdiri PAUD ‘Aisyiyah, juga tahun ini berdiri SD Muhammadiyah. Karena pemukiman ini terletak sekitar 3 KM dari desa, menyeberangi jembatan gantung yang hanya cukup satu motor, dan tiga anak sungai,” tambah Ibu Inang.

Sebelum tahun 2017, jembatan tersebut belum ada. Jadi pembinaan harus menyeberangi sungai dan hanya bisa dilakukan pada saat kemarau saja. Jika musim hujan, terjadi banjir dan sungai tak bisa diseberangi.

Perjalanan dari rumah Ibu Inang ke daerah pemukiman suku terasing sekitar 2 jam menggunakan mobil dan dilanjutkan perjalanan kaki dari jembatan gantung sekitar 30 menit. Banyak yang heran dengan kehidupan di suku terasing, jangankan bagi teman-teman di Jawa, di kota Luwuk, Ibu Kota Kabupaten Banggai saja masih merasa aneh ketika melihat kegiatan di suku pedalaman tersebut.

Rekan-rekan ‘Aisyiyah sangat takjub dengan kiprah Ibu Inang. Ketua PDA Banggai disebut memiliki komitmen ber-‘Aisyiyah yang hebat, membina muallaf, suku terasing, perjalanan jauh dengan medan sulit ditempuh untuk membina mereka bersama ibu-ibu Aisyiyah maupun menggandeng para kader relawan dari IMM. Mendirikan TK/PAUD ‘Aisyiyah dan SD Muhammadiyah di tempat itu.

Ibu Inang Perlu Dukungan

Pada awalnya, ketika Ibu Inang memulai kegiatan pembinaan suku terasing mendapat penolakan. Namun Ibu Inang bisa memahami bahasa mereka meskipun tidak begitu sempurna, sehingga komunikasi menjadi lancar. “Alhamdulillah sejak penjajakan tiga tahun lalu, kami saat ini telah diterima dengan baik,” tukasnya. Ketika jadwal Ibu Inang ke sana, para penduduk mengetahui dan merapat ke pondoknya dan shalat bersama-sama.

Sampai saat ini kendala dakwah di suku pedalaman sungguh berat terutama di pembiayaan dan perlunya fasilitas seperti alat penangkap sinyal satelit. Ketika sudah dipemukiman suku pedalaman jaringan sinyal pun lenyap. “Karena keterbatasan ini beberapa kali saya tertinggal informasi dan tidak bisa mengikuti beberapa agenda penting,” tuturnya.

Dalam pembinaan suku terasing, sementara ini baru ‘Aisyiyah dan Muhammadiyah secara mandiri secara bersama-sama saling mendukung. Di sana belum ada listrik dan aliran air bersih. “Kami menggunakan listrik tenaga surya dan masyarakat masih mengambil air dari sungai,” pungkas Ibu Inang. (Riz)

Exit mobile version