Dengan Peta Muslim Menjelajah Dunia dan Menjalankan Agama
Oleh: Azhar Rasyid
Perkembangan agama Islam selama berabad-abad silam terutama sekali ditopang oleh kelahiran kekhalifahan Islam pasca-Nabi Muhammad SAW dan semangat menyebarkan Islam, sebagai sebuah agama global alih-alih agama Arab, ke berbagai penjuru dunia. Ada satu elemen lain yang tampaknya remeh-temeh, padahal mempunyai peranan yang luar biasa dalam kemajuan Islam di masa silam, yakni pengetahuan atas representasi muka bumi yang dituangkan dalam bentuk gambar atau lukisan di atas kertas. Atau dalam istilah yang lebih ringkas: peta atau kharita.
Di antara orang Arab, pemahaman akan peta wilayah di luar Arab mengalami revolusi besar dengan kehadiran Islam. Penyebaran Islam tidak bisa dilakukan tanpa pengetahuan geografis wilayah yang akan dituju. Kaum Muslim-Arab di era awal Islam menggambar peta dengan menggabungkan tradisi menggambar peta yang dalam level sederhana yang sudah eksis di kalangan orang Arab pra-Islam dengan ilmu geografi yang diperoleh dari kontak mereka dengan ilmu bumi Yunani, Iran dan India.
Banyak di antara mereka yang melakukan perjalanan ke wilayah di luar Arab, dan kembali dengan pengetahuan soal letak suatu kota, jarak antar-wilayah tertentu, bentuk pulau atau daratan, serta pengetahuan relevan lainnya perihal muka bumi. Peta-peta di masa awal ini merupakan panduan bagi orang Arab-Muslim yang hendak memperluas jaringan bisnisnya ataupun untuk menyebarkan Islam ke tempat-tempat yang jauh.
Pandangan ke luar (outward looking) mereka mendorong mereka untuk tak lagi membuat peta tanah asalnya semata, tapi juga peta dunia. Ini terutama sekali lahir saat secara politik Islam tidak lagi berpijak di Hejaz, melainkan di Baghdad, tepatnya pada masa Kekhalifahan Abbasiyah. Peta yang dianggap sebagai peta dunia pertama yang diproduksi di dunia Islam adalah sebuah peta yang diberi nama al-Sūrat al-Ma’mūniyya, yang dibuat oleh para sarjana di Baghdad di masa pemerintahan Kalifah Al-Ma’mun (813-833 M). Peta ini tergolong lengkap untuk zamannya. Di dalamnya diilustrasikan berbagai kota, kawasan pemukiman, wilayah yang tandus, tanah, dan lautan di berbagai penjuru bumi. Peta ini menjadi sumber inspirasi serta bahan kajian bagi para ilmuwan selanjutnya.
Nama-nama besar yang menaruh perhatian pada peta mulai bermunculan di masa keemasan Islam. Bagi kaum terpelajar di masa itu, peta merupakan panduan geografis dalam menentukan ke mana akan memperdalam ilmu serta salah satu subyek penelitian penting. Kaum terpelajar amat bergantung pada peta untuk memastikan ke mana mereka akan mencari guru, perpustakaan, maupun kota-kota yang memiliki banyak ilmuwan mumpuni.
Di sisi lain, memahami peta bukan hanya bagian dari pemenuhan hasrat manusia akan petualangan atau eksplorasi dunia baru, melainkan salah satu bentuk cara untuk memenuhi perintah Ilahi. Ada sejumlah ayat di dalam Al Quran yang mendorong kaum Muslim untuk melakukan perjalanan di muka bumi, baik demi memperoleh rezeki, mencari pelajaran tentang masa lalu, memperhatikan ciptaan Allah, hingga memahami keanekaragaman umat manusia dan budayanya.
Al-Biruni (973-1048 M) mungkin merupakan kartografer (pembuat peta) Muslim yang paling ternama. Ia sebenarnya terkenal karena menguasai ilmu matematika dan astronomi, namun namanya sebagai seorang ahli ilmu bumi tak kalah bekennya. Dalam berbagai buku tentang sejarah peta yang ditulis oleh para sarjana Barat, Al-Biruni senantiasa mendapat tempat. Karya-karyanya memberi sumbangan berharga bagi ilmu geografi, mulai dari menentukan jarak busur berbagai tempat di bumi hingga memikirkan soal komposisi daratan dan air di bumi.
Nama lain yang tak kalah pentingnya dalam pengembangan ilmu dan teknik membuat peta dalam dunia Islam ialah Yaqut al-Hamawi (1179-1229 M). Ia membawa ilmu dan teknik pembuatan peta di dunia Islam sampai ke level yang lebih tinggi. Sebagai seorang pelajar yang cinta dengan petualangan, ia senantiasa terkagum-kagum dengan keberagaman tradisi dan masyarakat di daerah lain.
Ia menjelajah berbagai wilayah di Asia Barat, Persia dan Asia Tengah. Ia merekam perjalanannya dalam sebuah buku yang berjudul Mu’ajam al-Buldan (Kamus Negeri-Negeri). Bagi Yaqut, peta bukan hanya soal garis yang membatasi suatu wilayah dengan yang lainnya ataupun nama-nama kota semata. Baginya, peta haruslah “hidup”. Ia memang menyebutkan nama-nama gunung, laut dan bukit.
Tapi ia menambahkannya dengan melukiskan sejarah, kekhasan masyarakat, dan ikon penting wilayah-wilayah itu. Yang tak kalah penting, ia sangat menekankan pada akurasi, suatu hal yang kadang diabaikan para pembuat peta sebelumnya. Bagi Yaqut, adalah penting sekali bagi seseorang untuk tahu baik lokasi yang tepat dari suatu wilayah maupun cara yang benar dalam mengeja nama tempat itu, baik dalam bahasa lokal maupun bahasa asing. Tanpa akurasi ini orang bisa salah eja dan bahkan salah jalan.
Bagi seorang Muslim, pengetahuan tentang peta bumi akan memudahkannya dalam menjalankan berbagai macam ibadah. Menghadap kiblat adalah syarat sah shalat. Tanpa memahami muka bumi atau peta suatu wilayah, seseorang yang menjalankan shalat di suatu wilayah baru bisa saja salah arah kiblatnya. Di kalangan Muslim Suriname, umpamanya, hingga kini terdapat dua jenis masjid yang arah kiblatnya berbeda, satu ke arah barat dan satu ke arah timur.
Perbedaan ini berakar dari ketidaktahuan soal arah kiblat di antara kaum Muslim Suriname asal Jawa yang dibawa ke sana di masa kolonial. Di Jawa mereka shalat ke arah barat, dan mereka meneruskan tradisi ini di Suriname. Padahal, kalau dilihat di peta, kiblat shalat di Suriname adalah ke arah timur.
Bila naik haji adalah rukun Islam kelima, maka pengetahuan tentang peta Arab Saudi, atau setidaknya peta Mekah dan Madinah, adalah ilmu yang patut diketahui para jamaah haji. Di kedua kota suci itupun mereka juga harus memahami peta yang menggambarkan berbagai lokasi yang berkaitan dengan ibadah haji, mulai dari lokasi Shofa dan Marwah, Mina dan Muzdalifah, hingga letak pemondokan jamaah haji. Kegagalan memahami peta Mekah dan Madinah bisa membuat jamaah haji tersesat dan kehilangan kesempatan menyempurnakan rukun dan wajib haji yang dilaksanakan di berbagai wilayah berbeda.
Dewasa ini, internet memberi kemudahan sekaligus menghadirkan tantangan bagi umat manusia dalam soal peta. Hanya dengan sekali klik, berbagai macam peta digital menyediakan peta rinci wilayah yang kita cari, dilengkapi gambar bahkan suara yang memberikan panduan arah. Di sisi lain, ini melahirkan kemalasan dalam mengingat arah dan lokasi, hilangnya semangat untuk mengeksplorasi wilayah baru, dan berpotensi menghambat inovasi dan eksperimen dalam ilmu dan teknik peta.
Walaupun demikian, tantangan ini bisa diatasi dengan mengambil pelajaran dari berkembangnya ilmu perpetaan di masa keemasan Islam, di antaranya adalah adanya keyakinan bahwa memahami muka bumi dan representasinya (peta) adalah perintah Allah, kepercayaan bahwa penguasaan ilmu bumi akan menyempurnakan sejumlah ibadah yang mensyaratkan kesadaran geografis, dan pemikiran bahwa mempelajari dan mengembangkan ilmu geografi akan bermanfaat bagi kemajuan umat manusia di seluruh dunia.
Azhar Rasyid, Penilik sejarah Islam
Sumber: Majalah SM Edisi 21 Tahun 2017