Parhi Likhi: Narasi Baru Muslimah di Pedesaan Pakistan
ISLAMABAD, Suara Muhammadiyah – Gelombang pemikiran liberalisme dan turunannya telah menginspirasi para perempuan di negeri Barat untuk melakukan gerakan pertamanya pada awal abad ke-20. Tuntutan mereka kala itu adalah hak suara dalam pemilihan pimpinan politik sebagaimana yang dimiliki laki-laki.
Namun, bagaimana dengan perempuan di luar negeri Barat? Apakah pemikiran dan gerakan-gerakan tuntutan persamaan hak juga dipicu oleh hasil pemikiran filsuf Barat, seperti liberalisme dan komunalisme?
Mungkin bila di Indonesia, salah satunya kita bisa melihat gerakan Muhammadiyah dan Aisyiyah sebagai representasi gerakan perempuan. Namun, kali ini saya ingin menengok apa yang terjadi di pedesaan Pakistan melalui studi kasus yang dilakukan Ayesha Khurshid. Hasil studi etnografinya mengerucut pada kesimpulan bahwa perkembangan pemikiran perempuan Pakistan malah didasari oleh tradisi Islam, bukannya dari buah pikir filsuf Barat.
Tradisi Islam yang dimaksud di sini ialah tradisi belajar dalam institusi pendidikan. Kebiasaan ini berangkat dari gerakan revivalisme Islam pada abad ke-19 di Timur Tengah atau disebut juga modernism Islam. Kemudian, dari Timur Tengah dibawa ke Asia Selatan, termasuk ke Pakistan, dan diadaptasi menjadi konsep parhi likhi.
Parhi likhi bukan saja konsep yang ditujukan untuk menamai tampilan dan tata krama seorang perempuan berpendidikan, tetapi juga bentuk perkembangan pemikiran perempuan.
Pertama, parkhi likhi sebagai standar tampilan perempuan Muslim-urban. Setelah kemerdekaannya dari kolonial, perempuan kelas menengah tumbuh di perkotaan. Mereka bekerja di bidang pelayanan pada ruang publik, berpakaian bagus, ramah, sopan, bersih, bermoral secara seksual. Berbagai gambaran yang berkebalikan dari perempuan kelas pekerja di pedesaan, atau disebut unparh.
Kedua, parhi likhi sebagai perkembangan pemikiran mengenai kesetaraan hak mereka dengan laki-laki. Diceritakan satu perempuan desa bernama Salma yang pernah mengenyam pendidikan di kota. Sekembalinya ke desa ia bekerja sebagai guru serta turut bergabung dalam pemerintahan desa dan lembaga swadaya masyarakat. Salma satu-satunya perempuan di desanya yang bekerja menginisiasi berbagai pembangunan di desanya, seperti fasilitas kesehatan, air bersih, dan jalanan.
Awalnya, orang-orang kesal dengan sikap Salma yang berani menyatakan ketidaksetujuannya dengan anggota pemerintah desa yang laki-laki. Namun, ia tetap bersikap ramah, “Sekarang, orang-orang menyadari bahwa itula bedanya parhi likhi dengan unparh. AKhirnya, orang-orang pun mengirimkan anak perempuannya untuk sekolah ke kota”.
Semua sikap parhay likhay (orang yang mencerminkan parhi likhi), baik tampilan maupun pemikiran, dalam pandangan orang desa Pakistan tidaklah bertentangan dengan Islam, meskipun bertentangan tradisionalisme. Hal ini disampaikan Fatimah, “Saya bilang ke anak perempuan saya untuk melihat Fatima Jinnah (pemimpin perempuan yang memiliki peran penting dalam membentuk Pakistan) agar ia belajar bagaimana menjadi perempuan Muslim yang baik”.
Dengan demikian, parhi likhi merupakan konsep standar masa kini bagi perempuan desa Pakistan untuk turut bergerak menjadi perempuan yang berislam dengan benar (being a good Muslim). Caranya adalah berpendidikan, bekerja di ruang publik, bermoral secara seksual, berpakaian bagus, dan memiliki sopan santun. (Yayum Kumai)