Syarat Menjadi Siswa Sekolah Muhammadiyah dari Masa ke Masa
Muhammad Yuanda Zara*
Bila kini kita membuka website sekolah Muallimin Yogyakarta (http://muallimin.sch.id/), kita akan menemukan satu bagian yang berisi syarat-syarat yang harus dipenuhi untuk menjadi siswa di Muallimin. Persyaratannya ada dua, yakni Persyaratan Umum dan Persyaratan Khusus (Jalur Unggulan, Jalur Multilingual, dan Jalur PDKP atau Jalur Peserta Didik Kader Persyarikatan).
Persyaratan Umumnya mencakup: laki-laki, beragama Islam, sanggup mentaati peraturan yang berlaku di madrasah, sehat jasmani dan rohani (surat keterangan dokter), memiliki ijazah dan SKHUS/M, siswa SD/MI tahun ajaran 2017/2018 dan 2018/2019, bersedia tinggal di asrama dan mentaati peraturan asrama, serta lulus seleksi.
Persyaratan khususnya ada beberapa, tergantung pada jalur yang diambil. Yang jelas, ada cukup banyak syarat yang mesti dipenuhi seorang anak lulusan SD/MI untuk bisa diterima di Muallimin Yogyakarta dan ini mencerminkan tingginya standar yang diterapkan untuk konteks masa kini.
Sementara ini memperlihatkan kebutuhan untuk mendapatkan calon siswa yang memiliki bakat dan kemampuan yang mumpuni, syarat-syarat ini sebenarnya juga mencerminkan salah satu perubahan dalam hal apa saja yang dibutuhkan untuk menjadi siswa di sekolah yang diinisiasi oleh Muhammadiyah. Dengan kata lain, perubahan syarat untuk menjadi siswa Muallimin merefleksikan bagaimana Muhammadiyah merespon suasana zaman yang ada di sekitarnya. Untuk memahaminya, kita perlu menengok apa saja syarat menjadi siswa sekolah Muhammadiyah, baik Muallimin maupun sekolah Muhammadiyah lainnya, di masa silam dan apa maknanya dalam konteks perkembangan Islam di Indonesia.
Tidak banyak dokumen tersedia tentang rincian daftar persyaratan untuk menjadi siswa di sekolah Muhammadiyah di dekade-dekade pertama setelah pendirian Muhammadiyah. Hal ini dikarenakan kurangnya dokumen sejarah yang tersedia pada saat ini. Akta pendirian sekolah merupakan dokumen yang lazim ada di berbagai institusi, namun dokumen yang berkaitan dengan rekrutmen siswa tergolong jarang disimpan sebagai arsip. Namun, dengan segala keterbatasan yang ada, kita masih bisa melakukan rekonstruksi sejarah tentang aspek persyaratan menjadi siswa di sekolah Muhammadiyah ini.
Salah satu sekolah Muhammadiyah yang masih bisa kita lacak informasi tentang persyaratan siswa ini adalah sekolah yang dikenal sebagai “Madrasah Moehammadijah (HIS m/d Qoer’an)”. M/d di sini mengacu pada istilah dari bahasa Belanda, “met de” yang artinya “dengan”. Jadi, sekolah ini berarti sekolah umum (HIS) tapi memuat pelajaran agama Islam. Sekolah ini pernah mengiklankan dirinya di Soewara Moehammadijah edisi Mei dan Juni 1923. Di sana kita bisa mengetahui beberapa hal. Pertama, kala itu sekolah ini sedang membuka penerimaan murid baru.
Kedua, ada keterangan, walau singkat, tentang kurikulum sekolah itu, yang antara lain mencakup pelajaran-pelajaran yang juga diajarkan di HIS umum. Bedanya adalah ada tambahan pelajaran agama Islam sebanyak 6 atau 9 jam per minggu. Ketiga, keterangan soal latar belakang pendidikan gurunya. Untuk pelajaran umum, mereka merupakan alumnus H.K.S., K.W.S. dan M.U.L.O. Adapun untuk pelajaran agama, gurunya adalah “dari Moehammadijah jang telah mendapat sjahadah”.
Terakhir, ada persyaratan bagi calon murid barunya. Ini tidak dijelaskan poin per poin, namun kita masih bisa memperoleh gambaran yang cukup detail. Pertama, yang dibuka adalah kelas 3 dan 4. Artinya, syarat yang diperlukan adalah bahwa calon siswa tersebut berasal dari kelas 2 dan 3. Kedua, biaya sekolah sebanyak f 3.50 per bulan. Ketiga, biaya masuk untuk murid baru adalah f 5. Syarat keempat berbunyi sebagai berikut:
Oentoek mentjoekoepi hadjatnja orang jang ingin mempoenjai anak jang terplihara benar-benar: Maka sekarang kami telah sedia pondokan anak-anak (internaat) dengan rawatan menoeroet tjara ISLAM.
Syarat terakhir di atas bisa diartikan bahwa sekolah tersebut menyediakan asrama kepada siswanya agar proses belajar mengajar menjadi lebih maksimal. Berbeda dengan pesantren tradisional yang menyediakan pondokan namun kurikulumnya sepenuhnya fokus pada pelajaran agama, sekolah HIS Muhammadiyah met de Qoer’an yang berasrama ini menggabungkan antara kurikulum agama dengan mata pelajaran yang mencerminkan dunia modern, mulai dari ilmu hitung hingga ilmu bumi. Pendeknya, ini merupakan salah satu pelopor dari apa yang sekarang kita kenal sebagai sekolah Islam modern berasrama (modern Islamic boarding school).
Ada sebuah sekolah lain yang dikelola Muhammadiyah di tahun 1923, yang syarat untuk menjadi siswanya jauh lebih sederhana. Nama sekolahnya tidak disebutkan; hanya disebutkan bahwa ini adalah sebuah “sekolahan” yang berlokasi di Suranatan (untuk siswa laki-laki) dan di Kauman (untuk siswa perempuan). Ada beberapa persyaratan untuk menjadi siswa sekolah ini. Pertama, calon siswanya adalah anak-anak yang pada pagi harinya bersekolah di sekolah umum “jang tiada diberi pengadjaran agama Islam”.
Artinya, ini merupakan sekolah yang berbeda dari sekolah HIS Moehammadijah met de Qoer’an di atas karena ini diperuntukkan bagi mereka yang tidak belajar dengan kurikulum yang menggabungkan antara ilmu umum dan agama, serta juga tidak hendak tinggal di asrama. Jadi, semacam tempat mengaji bagi murid sekolah umum. Syarat lainnya adalah calon siswa laki-laki harus mengajukan permintaan menjadi murid baru kepada Muhammadiyah bagian sekolah, sementara bagi calon siswa perempuan kepada ‘Aisyiyah Yogyakarta.
Lalu, bagaimana dengan syarat menjadi siswa di sekolah Muallimin Yogyakarta pada masa dahulu? Dokumen paling awal tentang ini merujuk ke tahun 1936, atau 83 tahun yang lalu. Syarat-syarat menjadi siswa sekolah Muallimin Muhammadiyah Ketanggungan, Yogyakarta, adalah sebagai berikut:
Jang diterima mendjadi moerid jaitoe anak-anak beroemoer 12 tahoen sedikitnja atau 16 tahoen banjaknya, telah tamat dari sekolah angka II atau H.I.S., dengan dioedji lebih dahoeloe (examen), tetapi anak keloearan sekolah Moehammadijah, dari sekolah angka II atau H.I.S. apabila rapportnja terdapat baik, maka bebas dari oedjian.
Dari informasi di atas diketahui bahwa setelah delapan dekade berlalu, ada persyaratan yang masih relatif sama, namun ada juga yang berbeda dari syarat-syarat menjadi siswa Muallimin Yogyakarta. Dari segi umur, sekolah ini ditetapkan bagi mereka yang baru lulus sekolah dasar. Bila di zaman dulu umurnya boleh maksimal 16 tahun, pada masa sekarang usia maksimalnya adalah 13 tahun. Yang masih sama adalah bahwa bahwa baik di zaman dulu maupun di masa kini diterapkan yang namanya tes masuk atau examen. Yang menarik adalah adanya jalur prestasi, di mana nilai sekolah dasar yang baik akan mendapat kesempatan yang lebih besar untuk diterima, bahkan dibebaskan dari ujian.
Muhammad Yuanda Zara, Dosen Ilmu Sejarah Universitas Negeri Yogyakarta
Sumber: Majalah SM Edisi 10 Tahun 2019