Peran Umat Islam dalam Kemajemukan Bangsa

Peran Umat Islam dalam Kemajemukan Bangsa

Oleh DR H Haedar Nashir, M.Si.

Beberapa tahun terakhir ini terus mengemuka isu intoleransi dan ancaman atas kemajemukan yang diangkat oleh sejumlah pihak. Kadang aura kedua isu itu mengarah pada kalangan umat Islam, lebih-lebih pasca Pilkada DKI Jakarta. Suatu isu yang tidaklah sesederha itu realitas objektifnya. Persoalan intoleransi itu terjadi muktifaktor dan pelaku maupun sasarannya bermacam-ragam. Kasus Tolikara Papua beberapa tahun lalu menimpa umat Islam. Kasus terbaru menima Arnita Rodella Turnip mahasiswi asal Simalungun dihentikan beasiswanya dari daerahnya karena masuk Islam.

Persoalan konflik dan kemajemukan di Indonesia bersifat kompleks memgikuti kerumitan karakter masyarakat Indonesia yang majemuk. Karenanya kalau ada kasus atau masalah mesti dilihat secara objektif dengan detail dalam berbagai kaitannya secara menyeluruh. Namun demikian, dalam kaitan kemajemukan bangsa maupun memghadapi masalah-masalah yang terjadi di dalamnya, peran umat Islam haruslah positif dan konstruktif. Sebagai mayoritas umat Islam harus menjadi problem solver atau penyelesai masalah dan jangan menjadi sumber masalah. Lebih dari itu, umat Islam harus menjadi kekuatan perekat dalam kehidupan kebangsaan.

Masyarakat Majemuk

Masyarakat Indonesia memiliki identitas sebagai sebuah bangsa yang majemuk, yang dalam kepusparagamannya telah membentuk diri menjadi satu: Bhineka Tunggal Ika. Kebhinekaan masyarakat Indonesia tersebut terbentuk dalam proses sejarah yang panjang, didukung oleh  komitmen kolektif para pendiri dan warga bangsa yang menemukan titik integrasi nasional dalam keekaan yakni kesatuan dan persatuan Indonesia. Meski demikian, kebhinekaan itu tetap tumbuh berproses dan tidak pernah final mengikuti hukum kehidupan umat manusia yang berinteraksi sosial secara dinamis. Di dalamnya ada dinamika antara konsensus dan konflik, persaingan dan kerjasama, idealisasi dan jalan pragmatis, nilai ideal dan kepentingan, serta beragam dialektika khas dunia.

Masyarakat majemuk (plural society) memiliki  sifat non-komplementer, satu sama lain pada dasarnya sulit bersatu,  yang terdiri atas dua atau lebih komunitas maupun kelompok-kelompok yang terpisah serta memiliki struktur kelembagaan yang berbeda satu sama lain, seperti sukit bersatunya golongan penduduk Belanda, Tionghoa, dan pribumi di Indonesia di masa lalu (Furnivall, 1967). Bagi Furnivall, masyarakat majemuk terdiri dari dua atau lebih tatanan sosial yang berbeda, hidup sejajar dalam satu entitas politik, tanpa banyak bercampur aduk, dan mengingatkan pembaca tentang citra “mangkuk salad” seperti yang sering digunakan untuk menentang gagasan ideal dari “melting pot” Amerika.

Menurut antropolog Clifford Geertz (1968; 1976), masyarakat majemuk terdiri atas subsistem-subsistem yang lebih kurang berdiri sendiri dan dipersatukan oleh ikatan-ikatan primordial, sehingga sering secara sosial.  Kaum santri, priyayi, dan abangan di samping memiliki potensi integrasi, pada saat bersamaan berapa sukitnya mereka untuk bersatu, bahkan terjadi konflik. Dalam konteks Indonesia, masyarakat majemuk merupakan suatu masyarakat yang menganut sistem nilai yang berbeda di antara berbagai kesatuan sosial yang menjadi anggotanya, mereke bersatu karena ada nilai yang mengikat dan memaksa untuk bersatu dalam hal ini Pancasil sebagai nilai yang memoersatukan  (Nasikun, 1984).

Dalam kemajemukan atau kebhinekaan itu terdapat perbedaan agama, suku bangsa, ras, dan golongan yang di dalamnya terkandung sejuta aspirasi, pemikiran,  sikap, dan orientasi tindakan dalam dinamika sosial yang kompleks (cross cuting of interest).  Lebih-lebih dengan jumlah penduduk yang terus bertambah sampai sekitar 250 juta jiwa dengan segala macam persoalan yang menyertainya seperti kemiskinan, kesenjangan sosial ekomomi, masalah ketenagekerjaan, urbanisasi, narkoba, terorisme, alienasi, marjinalisasi, hilangnya akses politik, terkurasnya sumberdaya alam, korupsi, dan berbagai masalah krusial lain yang berpotensi menimbulkan ledakan sosial bagaikan api dalam sekam di tubuh bangsa ini.

Karenanya diperlukan pemahaman yang lebih mendalam dan luas mengenai akar konflik sosial dan keagamaan, terutama dalam konteks kemajemukan masyarakat dan bangsa Indonesia. Selain itu, penting juga dipahamai benih-benih konflik agar dapat dicegah untuk tidak terjadi sebutlah faktor kesenjangan sosial-ekonomi yang melebar, kelompok kecil yang menguasai berbagai kekayaan dan akses ekomomi dan politik, perlikau elite yang berperilaku menyimpang dan provokatif, sikap merendahkan agama dan pemeluk agama, serta faktor-faktor lainnya yang bersifat kontekstual.  Manakala terjadi konflik  maka boleh jadi sifatnya kompleks dan tidak tunggal, selain itu perlu dipikirkan besama bagaiamana penanganan dan pemecehannya secara seksama, sehingga tidak meluas dan terulang kembali di masa depan.

Peran Islam

Hidup dalam masyarakat yang majemuk memang tidak mudah hal itu terbukti masih terjadi sejumkah konflik di daerah baik karena persoalan etnik, agama, kedaerahan, maupun sentimen sosial lainnya. Konflik sosial selalu terjadi di mana pun di muka bumi ini, lebih-lebuh dalam kehidupan bangsa yang majemuk. Dalam kemajemukan atau kebhinekaan itu terdapat perbedaan agama, suku bangsa, ras, dan golongan yang di dalamnya terkandung sejuta aspirasi, pemikiran,  sikap, dan orientasi tindakan dalam dinamika sosial yang kompleks (cross cuting of interest).

Lebih-lebih dengan jumlah penduduk yang terus bertambah sampai sekitar 250 juta jiwa dengan segala macam persoalan yang menyertainya seperti kemiskinan, kesenjangan sosial ekomomi, masalah ketenagekerjaan, urbanisasi, narkoba, terorisme, alienasi, marjinalisasi, hilangnya akses politik, terkurasnya sumberdaya alam, korupsi, dan berbagai masalah krusial lain yang berpotensi menimbulkan ledakan sosial bagaikan api dalam sekam di tubuh bangsa ini.

Faktor kesenjangan sosial dan situasi kehidupan kekinian yang rawan masalah juga dapat menjadi faktor pemicu konflik dalam kehidupan bangsa Indonesia. Ketika sebagian besar rakyat Indonesia bergulat dengan persoalan-persoalan yang berat, mereka menyaksikan sebagian kelompok kecil menguasai segala macam aset dan akses bangsa, mengeksploitasi besar-besaran sumberdaya alam untuk mengeruk keuntungan tak terbatas, bertindak korup dan ajimumpung kekuasaan, bergaya hidup hedonis dan pragmatis, serta demoralisasi. Kondisi ini menjadi benih dan faktor pemicu yang sangat rawan untuk tumbuhnya kecemburuan, kemarahan, dan anarkisme sosial dalam beragam ekspresi. Radikalisme, terorisme, konflik sosial, dan beragam gesekan antargolongan dan kelompok merupakan bagian dari ekspresi amuk sosial yang serbarawan tersebut.

Dalam kaitan ini maka sejumkah konflik sosial perlu dibaca secara mendalam dan luas agar tidak terjadi penyederhanaan yang membuat solusi atau pemecahan masalah yang parsial dan tidak tuntas. Karenanya diperlukan antara lain kekuatan perekai integrasi agar kemajemukan yang rawan konflik karena berbagaj faktor yang kompleks, selain segala usaha dari pemerintah dan segenap komponen bangsa untuk mencegah dan menyelesaikan hal-hal yang dapat menjadi pemicu masalah dalam hubungan masyarakat Indonesia yang majemuk itu. Di antara kekuatan strategis yang dapat menjadi faktor integrasi sebagaimana telah diperankannya dalam sejarah perjalanan bangsa ini ialah umat Islam sebagai mayoritas. Kekuatan mayoritas yang difondasi ajaran Islam yang memiliki karakter toleran dan rahmatan lil-‘alamim menjadi faktor dominan dalam integrasi nasional masyarakat Indonsia yang majemuk.

Coba simak sejarah bagaimana pengorbanan umat Islam menciret tujuh kata dalam Piagam Jakarta dan menkonversikannyan dengan Sila Ketuhanan Yang Maha Esa pada Pancasila, semuanya demi utuhnya integrasi bangsa dan negara yang baru merdeka satu hari sebagai momentum sangat krusial. Ketika bangsa Indonesia yang bhineka itu bersatu, menurut para ahli hal itu karena ada nilai perekat yang disepakati bersama, yakni Pancasila yang menjadi komitmen nasional para pendiri bangsa tahun 1945 melalui proses pergumulan yang intens dan sarat pengorbanan, termasuk peran Ki Bagus Hadikusumo dan para tokoh nasionalis Islam lainnya dalam memberi solusi dari tujuh kata pada Piagam Jakarta ke Sila Ketuhanan Yang Maha Esa demi keutuhan Indonesia yang baru satu hari merdeka.

Peristiwa sejarah yang penting itu oleh Menteri Agama Alamsjah Ratu Perwiranegara disebut sebagai “hadiah terbesar umat Islam untuk Indonesia”. Dalam pandangan antropolog ternama, Prof Dr Koentjaraningrat, umat Islam aebagai mayoritas merupakan kekuatan integrasi nasional dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Karenanya penting dikedepankan peran Islam dan umatnya sebagai rahmatan lil-‘alamim dalam dinamika kebangsaan di negeri ini!

Sumber: Majalah SM Edisi 16 Tahun 2018

Exit mobile version