Cinta di Mata Orang-Orang Saleh
Oleh: Alif Sarifudin Ahmad
Ada yang bependapat bahwa hidup tanpa cinta bagaikan malam tanpa cahaya bulan, sayur tanpa garam, atau senang tanpa senyum. Cinta merupakan perasaan yang telah dianugerahkan kepada umat manusia. Namun yang perlu diingat bahwa ketika kita menyayangi seseorang sesungguhnya perasaan tersebut datangnya dari Allah. Untuk itu ketika jatuh cinta kepada sesama orang beriman, dianjurkan agar membaca doa berikut ini
اللَّهُمَّ إِنِّى أَسْأَلُكَ حُبَّكَ وَحُبَّ مَنْ يُحِبُّكَ وَالْعَمَلَ الَّذِى يُبَلِّغُنِى حُبَّكَ اللَّهُمَّ اجْعَلْ حُبَّكَ أَحَبَّ إِلَىَّ مِنْ نَفْسِى وَأَهْلِى وَمِنَ الْمَاءِ الْبَارِدِ
“Ya Allah, aku mohon pada-Mu cinta-Mu dan cinta orang yang mencintai-Mu, amalan yang mengantarkanku menggapai cinta-Mu. Ya Allah, jadikan kecintaanku kepada-Mu lebih aku cintai daripada cintaku pada diriku sendiri, keluargaku, dan air dingin.” (HR. Tirmizi)
Doa tersebut diriwayatkan oleh Imam Tirmizi dari sahabat Abu Darda’ RA. Menurut beliau derajat hadis ini hasan atau baik.
Para pembaca yang budiman tidak terasa, penulis sudah hadirkan tulisan melalui rubrik ini edisi yang keenam belas dari delapan puluh yang penulis azzamkan. Kali ini penulis ingin mengajak kepada para pembaca untuk melihat cinta di mata orang-orang saleh. Manusia lahir dari cinta, semangat karena cinta dan berkaryalah atau berbagi diilhami cinta sesama orang beriman. Perjalanan hidup orang beriman akan terasa nyaman apabila disemangati dengan nilai-nilai cinta karena Allah SWT. Kita bisa belajar dari kisah cinta dan kasih sayang nabi Adam kepada Hawa di Surga. Pepisahan tidak menjadikan surut dengan rasa kasih dan sayangnya, hingga ratusan tahun dalam pencarian akhirnya Allah persatukan lagi dalam cinta yang penuh keberkahan.
Kita sebagai umat Islam terkadang kurang menyadari bahwa kekuatan kita teletak pada cinta sesama orang yang beriman. Persatuan islam itu lahir karena kekuatan cinta. Lihatlah sejarah keberkahan Islam di Madinah yang diawali kepiawaian Rasulullah SAW dalam mempersaudarakan antara kaum Muhajirin dan Anshar.
Madinah ternyata menyambut mereka dengan kekuatan cinta yang sangat antusias. Tak peduli mereka awalnya belum saling mengenal, tetapi dengan didasari cinta sehingga menjadi kekuatan untuk saling berbagi dan peduli. Ikatan persaudaraan itu bahkan lebih kuat dibanding saudara sedarah mereka di Makkah yang justru mencabik-cabik kekeluargaan karena nafsu dan kesombongan. Tak ada ambisi apa pun saat itu para pemuda Yatsrib atau kaum Anshar yang begitu sukacita menyambut kaum Muhajirin karena didasari satu iman.
Inilah ikatan cinta karena iman dan akidah yang luar biasa terpancar dan terbit dari ufuk fajar kota Yastrib waktu itu. Saat pernyataan tentang keesaan Allah SWT yang dibarengi pengakuan terhadap Nabi Muhammad SAW sebagai utusan, maka sinar dan cahaya keimanan telah melonggarkan sekat-sekat persaudaraan yang turut membuyar. Siapa pun dia, asalkan akidah Islam tertancap di hatinya, ia adalah saudara yang mesti dilindungi. Inilah kekuatan cinta yang semestinya saat dibangun di antrara kita karena begitu mengedepankan egonya kadang cinta di antara kita tak terbangun atau cinta yang hilang. Sesama muslim di Indonesia banyak yang lebih mengedepankan golongannya sendiri, primordialisme, keangkuhan, dan kesombongan sehingga menjadikan cinta tak bertemu. Ikatan cinta menjadi lepas dari tali simpul dan jerat-jerat yang semestinya kita anyam dalam tirai yang bisa menjawab kejumudan.
Orang-orang Anshar menganggap kaum Muhajirin sebagai belahan jiwanya. Lihatlah sebagaimana terdapat dalam Al-Qur’an surat Al Hujurat ayat 10,
إِنَّمَا ٱلْمُؤْمِنُونَ إِخْوَةٌۭ فَأَصْلِحُوا۟ بَيْنَ أَخَوَيْكُمْ ۚ وَٱتَّقُوا۟ ٱللَّهَ لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَ [٤٩:١٠]
Orang-orang beriman itu sesungguhnya bersaudara. Sebab itu damaikanlah (perbaikilah hubungan) antara kedua saudaramu itu dan takutlah terhadap Allah, supaya kamu mendapat rahmat.
Persaudaraan itulah yang membuat orang Anshar berebut untuk mengais cinta dan mendapatkan saudaranya yang baru datang dari Makkah untuk menginap di rumahnya. Mereka rela berbagai harta, jiwa, serta kepentingan keluarganya untuk orang-orang yang mereka bahkan belum kenal. Bahkan ada tawaran yang luar biasa sebagaimana Abdurrahman in Auf ditawari oleh saudaranya Sa’ad bin al-Rabi’ al-Ansar agar menerima harta dan rumahnya bahkan rela melepas istri yang sangat dicintainya demi saudara yang seiman kalau Abdurrahman bin Auf mengharapkannya. Hal ini terlahir karena kekuatan cinta yang bisa mengubah segala yang gelap menjadi terang untuk menggapai ridha ilahi.
Ketika Rasulullah mempersaudarakan antara sahabat Muhajirin dengan sabahat Anshar, Abdurrahman bin Auf dipersaudarakan dengan Sa’ad bin al-Rabi’ al-Ansari. Semua dilakukan untuk saling membantu, terutama Sahabat Muhajirin yang telah berkorban meninggalkan tanah kelahiran dan harta benda mereka. Begitu tiba di Madinah, Sa’ad berkata kepada Abdurrahman, “Wahai saudaraku, aku adalah penduduk Madinah yang kaya raya. Silakan pilih separuh hartaku dan ambillah, dan aku mempunyai dua istri, pilihlah salah satu yang menurut anda lebih menarik dan akan aku ceraikan dia supaya anda bisa memperistrinya.” Abdurrahman pun menjawab, “Semoga Allah memberkati anda, istri anda dan harta anda. Tunjukkanlah jalan menuju pasar.”
Jawaban Abdurrahman bin Auf kemudian menjadi fenomenal. Menjadi inspirasi bagi pembisnis terutama dari kalangan muslim. Ia melihat kondisi pasar Madinah yang dulunya dikuasai oleh Yahudi. Setelah mengamati kondisi perekonomian di sana, Abdurrahman membentuk strategi dan taktik bisnis. Dengan bantuan sahabat Ansharnya, Abdurrahman membeli tanah di pasar tersebut dan membolehkan para pedagang berjualan di tempat itu.
Islam berkembang saat itu karena berawal dari ikatan cinta sesama orang yang beriman. Cinta di mata orang-orang yang saleh akan menggelorakan jiwa dan mengetarkan ruh semangat perjuangan dalam membangun peradaban kemanusiaan. Saatnya sekarang di antara kita untuk saling membangun cinta dari pengejawantahan nilai-nilai melaksanakan amaliah dan ibadah kepada Allah SWT. Dengan cinta semua akan menjadi indah dan menghasilkan keberkahan.
Ada sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Anas bin Malik, bahwa seseorang akan bersama orang yang ia cintai. Nabi bersabda, “Engkau akan bersama dengan yang kaucintai.” Anas berkata, “Tidaklah kami gembira dengan sesuatu seperti gembiranya kami mendengar sabda beliau, ‘Kamu bersama orang yang kamu cintai’.” Anas berkata, “Aku mencintai Nabi SAW, Abu Bakar, dan Umar, dan aku berharap bersama mereka disebabkan kecintaanku pada mereka, walaupun belum beramal seperti amalan mereka.”
Di antara tanda cinta adalah mengikuti apa yang diinginkan oleh yang dicintainya. Cinta yang sempurna menuntut kesesuaian dengan apa yang dicintai kekasihnya dan siap berkorban bahkan setiap saat ingin selalu bersama dalam suka maupun duka. Orang yang jatuh cinta rela berkorban untuk menyerahkan segalanya demi kebahagiaan yang dicintainya. Orang tua yang begitu cintanya kepada anaknya, terkadang ia tidak memperhatiakan kebahagiaan dirinya asal anaknya bahagia.
Seorang ahli makrifat ditanya tentang cinta, dia menjawab, “Kesesuaian dengan yang dicintai dalam semua kondisi dan situasi.” Lalu bersyair, “Kalau Anda jujur mencintainya, pasti Anda akan menaatinya, sesungguhnya pencinta itu menaati yang dicintai.” (lihat Syarh Hadits Ikhtishom al-Mala’ al-A’la, juz I, hlm 55).
Allah SWT menegaskan dalam Al-Qur’an surat 3 ayat 31,
قُلْ إِن كُنتُمْ تُحِبُّونَ ٱللَّهَ فَٱتَّبِعُونِى يُحْبِبْكُمُ ٱللَّهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ ۗ وَٱللَّهُ غَفُورٌۭ رَّحِيمٌۭ [٣:٣١]
Katakanlah: “Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu”. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
Mengutip syair Imam Syafii, ia menjelaskan bahwa ulama mujtahid itu begitu tawadu, sehingga mengaku bukan bagian dari orang saleh, tetapi ia mencintai mereka. “Aku mencintai orang-orang saleh dan aku bukan bagian dari mereka. Semoga dengan mencintai mereka aku mendapat syafaat dari mereka,”
Mengingatkan tulisan penulis pada rubrik ini beberapa saat lalu yang bertemakan Puisi Imam Syafii dalam Cinta Bersemi Tak Pernah Pudar (upaya menghilangkan ketakutan dan kesedihan di zaman akhir) di dalamnya mengandug pesan yang dahwyat untuk sebuah perjuangan cinta sesama orang saleh.
وَإِن كَثُرَت عُيوبُكَ في البَرايا
وَسَرَّكَ أَن يَكونَ لَها غِطاءُ
تَسَتَّر بِالسَخاءِ فَكُلُّ عَيبٍ
يُغَطّيهِ كَما قيلَ السَخاءُ
Seandainya celamu banyak di mata manusia,
Dan engkau ingin ada tirai yang menutupinya.
Maka tutupilah dengan tirai kedermawanan, karena dengannya,
Akan tertutupi segala cacat sebagaimana masyhur katanya.
Siapa yang mampu memberikan kata-kata indah kepada kekasihnya dengan ikhlas maka sang kekasih akan membalasnya dengan cinta kasih yang bersambut. Siapa yang memberikan cinta kasih dengan tulus maka sang kekasih akan membalasnya dengan harta tak terkira, siapa yang berbagi dengan harta tak terkira sebagai wujud cinta kepada kekasihnya maka sang kekasih akan membalasnya dengan bunga-bunga cinta yang terus bersemi tak pernah pudar.
Allah SWT akan terus membalas kebaikan hamba-Nya yang terus bersungguh-sungguh dalam mengabdikan dirinya untuk menebar kebaikan. Bagi kita yang perlu dicermati sebagaimana kata-kata Imam syafii pada puisi di atas adalah tutupi segala cela yang dimiliki kita dengan banyak berbagi. Dengan banyak berbagi kepada sesama segala dosa dan kesalahan akan hilang. Apalagi dilanjutkan dengan amalan-amalan yang mencerahkan sebagaimana diabadikan dalam bait selanjutnya yaitu tirai kedermawanan.
Tirai kedermawanan itu akan menutupi segala cela atau duka akhir zaman. Kebencian akan hilang karena di antara kita saling berbagi. Hal ini sebagaimana yang pernah disampaikan oleh Rasulullah SAW ketika baru saja hijrah dari Makah ke Madinah. Rasulullah SAW berpesan dengan 4 hal, yakni sebarkan salam, memberi makan atau memberikan derma kepada orang lain, silaturrahim, dan salat malam. Akhirnya dengan mengedepankan cinta kepada Allah dan Rasulullah serta makhluk Allah yang lain, maka akan menimbulkan perasaan ketakutan dan kesedihan hilang pelan-pelan namun pasti bersamaan dengan kesungguhannya dalam sebuah perjuangan.
Ada kisah tentang cintanya sahabat kepada Allah saat salat malam walaupun luka ada pada dirinya ia tetap asyik maksyuk dengan kekasihnya Allah Robbul Izzati. Di saat tengah nikmatnya membaca Al-Qur’uran dalam salatnya, ia terkena busur panah musuh. Namun, dia bergeming. Panah kedua juga mengenai tubuhnya. Ia tetap melanjutkan ibadahnya. Saat panah ketiga itu ia segera menyelesaikan salatnya dan membangunkan rekannya. Sahabat yang berjaga, ditanya oleh sahabat yang istirahat terkait alasannya kenapa baru memberi tahunya di panah ketiga.
Akhirnya penulis berpesan kepada sendiri dan pembaca, cintailah di dunia apa yang kita cinta sewajar-wajarnya saja. Cinta di dunia itu tidak ada yang abadi. Saatnya melakukan cinta yang hakiki yaitu cinta seorang hamba kepada Al-Khalik. Dengan cinta dan kasih sayang semua akan menjadi indah dan bahagia. Isilah sisa-sisa usia ini dengan saling mencintai sesama orang beriman. Menyambut datangnya bulan suci Ramadhan tahun ini awali dengan semangat menggelorakan cinta untuk mendapatkan Ramadhan yang terbaik. Rapatkan barisan di antara kita untuk mengokohkan persatuan dengan cinta. Ada empat kekuatan yang semestinya kita bangun untuk saling mencintai di antara kita. Keempat kekuatan itu adalah SIAP yakni Sabar, Ikhlas, Antusias, dan Peduli sesama. Semoga bermanfaat. Nashrun Minallahi Wa fathun Qarieb Wa Bashshiril Mukminin.
Alif Sarifudin Ahmad, Ketua PDM Kota Tegal