Ada Kegelapan di Setiap Hati Manusia

Ada Kegelapan di Setiap Hati Manusia

Oleh: Royyan Mahmuda Daulay

Sebagai seorang petugas penjara, saya sering bertemu dengan narapidana yang memiliki kasus pembunuhan. Baik dari yang biasa saja hingga di luar logika manusia. Mulai pembunuhan yang disebabkan oleh rasa kecemburuan hingga aksi bunuh-bunuhan yang didorong oleh nafsu kehewanan.

Paling tidak, narapidana kasus pembunuhan yang sering saya temui hingga saat ini adalah tipe kasus pembunuhan mikro. Maksudnya kasus pembunuhan lingkup kecil antar perorangan. Biasanya disebabkan oleh perasaan dengki, iri, kepepet, terpaksa dan alasan lainnya. Intinya mereka melakukan bukan karena niat yang terstruktur dan sistematis, melainkan ada banyak aspek yang mempengaruhi.

Pernah saya menemui narapidana dalam tipe ini yang setelah dia keluar dari penjara bukan hanya diterima kembali oleh lingkungan, lebih jauh lagi dia mampu menciptakan peluang ekonomi yang manfaat dirasakan oleh orang sekitar. Bahkan tindak tanduknya berubah dari sebelumnya. Sikap keagamaannya lebih taat. Mungkin ada penyesalan yang mendalam sehingga dia berbenah dan pulih kembali.

Dalam konteks ini, makna pulih adalah keberhasilan narapidana kasus pembunuhan yang bisa kembali hidup normal selayaknya masyarakat. Tidak bisa dipungkiri bahwa ada tekanan psikis yang dialami oleh mereka pasca terjadi pembunuhan. Dari yang sering mengalami halusinasi hingga ingin mengakhiri diri sendiri. Pernah saya menjumpai klien yang mengalami ganguan mental setelah menghabisi istri dan anaknya. Sehingga diperlukan mental yang bagus bagi narapidana kasus pembunuhan kategori ini untuk bisa berubah.

Belum lagi image pembunuh yang telah melekat kuat terhadap dirinya di masyarakat. Tentu ini menjadi tantangan bagi mereka untuk bisa hidup normal sebagai seorang insan. Tetapi ternyata cukup banyak yang bisa melewati tantangan tersebut hingga akhirnya kembali pulih menjadi manusia pada umumnya.

Namun ada juga kasus pembunuhan berskala makro. Maksudnya kasus pembunuhan yang dilakukan secara tertata rapi bahkan memiliki kelompok khusus yang bergerak di bidang seperti ini. Bahkan yang lebih mengerikan ada segelintir orang yang tanpa harus turun tangan bisa melakukan pembunuhan masal terhadap manusia.

Misal koruptor dana bantuan  bencana alam atau musibah lainnya yang akhirnya menyebabkan rakyat miskin semakin menderita bahkan ingin menganggap kematian lebih baik. Bisa juga oknum korporasi yang memiskin masyarakat akibat penggusuran lahan sehingga menyebabkan manusia mati kelaparan di tengah kemiskinan, dan segudang kelompok lain yang sering membunuh tanpa menyentuh dengan keistimewaan yang dimilikinya.

Saya sendiri belum pernah bertemu dengan kasus-kasus (makro) demikian. Akan tetapi tidak bisa dipungkiri bahwa hal seperti itu bisa saja ada, entah sekarang atau di masa lalu. Atau mungkin bisa saja di masa depan. Bahkan tidak menutup kemungkinan ada dalam angan-angan beberapa orang. Hal yang pasti bahwa pembunuhan adalah salah satu pelanggaran tertua umat manusia.

Dalam sejarahnya, keturunan manusia pertamalah yang mulai melakukannya. Bukan dalam rangka menyudutkan, tetapi fakta yang termaktub dalam kitab suci telah menceritakan semua kisah pilu itu. Tentu ada banyak hikmah yang bisa diambil dari kisah nahas tersebut.

Seyogyanya manusia mampu mengambil pelajaran berharga bahwa ada potensi kegelapan dalam dirinya yang tidak bisa ditangani oleh akal belaka. Perlu cahaya Ilahi untuk bisa mengikis atau bahkan mengekang kegelapan diri setiap insan agar mampu menciptakan kedamaian dalam kehidupan.

Mental health yang berdasar pada kejernihan hati adalah pondasi untuk menghadirkan cahaya Tuhan dalam diri setiap insan. Ritual keagamaan akan mendekatkan kepada ketenangan jika dilakukan dengan kejernihan hati. Interaksi antar sesama manusia pun akan menimbulkan kedamaian dengan menghadirkan kejernihan di sanubari. Pada akhirnya qolbun salim adalah puncak tertinggi dari spiritualitas setiap manusia yang akan membentengi dari kungkungan kegelapan dalam kehidupan. Memang persoalan kejernihan hati adalah hal yang mudah untuk diucapkan, tetapi teramat sulit dilakukan. Namun hal tersebut tidaklah mustahil bukan?

Royyan Mahmuda Daulay, Alumni UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Saat ini menjadi ASN di Kementerian Hukum dan HAM Republik Indonesia pada Bapas Kelas II Pekalongan

Exit mobile version