Mas Mansur: Ulama Hendaklah Mendahulukan yang Ahamm Daripada yang Muhim
“Para ulama hendaklah mendahulukan yang ahamm daripada yang muhim, artinya mendahulukan yang lebih perlu daripada yang sekedar perlu. Janganlah tenggelam di dalam ilmu, tetapi gunakanlah ilmu itu untuk bekerja atau berjuang bagi kebaikan dan kemajuan masyarakat. Janganlah pula sampai mau dibujuk untuk mengikuti barang yang bathil sekalipun diberi upah yang banyak, tetapi pertahankanlah barang yang haq sekalipun akan menerima resiko”.
Kyai Haji Mas Mansur, putra Madura kelahiran 25 Juni 1896. Mula-mula memperoleh pendidikan agama Islam di Pesantren Sidoresmo dan Pesantren Demangan Madura. Putra dari pasangan suani isteri KH Mas Ahmad Marzuki dan Raudah ini bergabung dengan Muhammadiyah pada tahun 1921. Pada Kongres ke-26 Muhammadiyah bulan Oktober 1937, Mas Mansur mendapat amanah untuk menjadi Ketua Umum Muhammadiyah periode 1937-1943. Pada kongres ini Mas Mansur mengusulkan kepada sidang agar dalam Persyarikatan Muhammadiyah dibentuk lembaga atau majelis ulama yang membahas berbagai persoalan agama antara lain untuk menjaga dan memelihara kemurnian agama Islam dari berbagai usaha penyimpangan.
Usulan teresebut didasari pada pemikiran dan kekhawatiran akan timbulnya perpecahan, terutama dikalangan ulama Muhammadiyah, karena adanya perbedaan pemahaman dan pendapat dalam masalah hukum Islam yang berimbas kepada perpecahan dikalangan warga Muhammadiyah. Selain itu, dikhawatirkan pula munculnya penyelewengan dari batas-batas hukum agama karena didorong keinginan untuk mengejar kebesaran organisasi dengan melupakan inti pokok dan jiwa ajaran Islam. Usul Mas Mansur ini mendapatkan respon yang bagus dari para muktamirin, sehingga kemudian dibentuklah Majelis Tarjih. Pada kepemimpinan beliau inilah gerakan Muhammadiyah memilik roh yang kuat dengan pengaktifan kegiatan Majelis Tarjih yang kemudian menghasilkan rumusan tentang Masail al Khamsah (Masalah Lima), yang meliputi hakekat dunia, agama, qiyas, sabilillah dan ibadah.
Mas Mansur juga sering memberikan ceramah di pengajian malam Selasa yang diselenggarakan di Gedung Aisyiyah Kauman. Materi-materi ceramah beliau dikumpulkan dan dikaji ulang serta dirumuskan oleh para Pimpinan Muhammadiyah untuk dijadikan sebagai pegangan dalam menggerakkan Muhammadiyah. Rumusan itu melahirkan sebuah pedoman Muhammadiyah yang kemudian dikenal sebagai “Langkah Muhammadiyah Tahun 1938-1940”, karena berisi 12 pasal, maka dikenal dengan sebutan “Dua Belas Langkah KH Mas Mansur”.
Sebagai seorang Ketua Pengurus Besar, KH Mas Mansur termasuk pemimpin yang ketat disiplinnya, terutama dalam menetapi waktu bersidang, sesuai dengan waktu yang tersebut dalam undangan. Pernah beberapa kali dia membatalkan rapat karena pada saat yang ditentukan yang hadir masih jauh daripada cukup. Peristiwa ini berhasil menimbulkan kesadaran kawan-kawannya yang menyebabkan bertambah lancarnya persidangan karena dapat dimulai tepar pada waktunya.
Dalam pidatonya di Kongres Seperempat Abad di Betawi tahun 1936, KH Mas Mansur menguraikan sikap Muhammadiyah terhadap lima golongan dalam masyarakat, yaitu golongan pemerintah, golongan pemeluk agama lain, golongan terpelajar, golongan alim-ulama, dan golongan rakyat umum. Kepada golongan pertama, yakni pemerintah, Muhammadiyah bersikap terbuka, bekerja dengan terang-terangan. Oleh sebab itu, Muhammadiyah mengharap kepada pemerintah agar tetap netral dan adil terhadap Muhammadiyah. Kepada golongan kedua, yaitu pemeluk agama lain, Muhammadiyah berseru dan mengajak agar mereka sudi kembali kepada tauhid, bersatu serta menghormati sekalian para Nabi, suka membantu bagi amal usaha Muhammadiyah karena amal usaha itu tertuju bagi kesejahteraan seluruh bangsa tanpa membedakan agama.
Kepada golongan ketiga, yakni kaum terpelajar, Muhammadiyah mengharap agar mereka sudi menaruh perhatian kepada agama karena dengan agama ini rasa kasih dan mesra kepada sesama hidup akan lebih meresap, serta budi pekerti yang luhur akan meningkat. Kaum terpelajar yang belum mengenal Islam janganlah tergesa-gesa mencela, tetapi hendaklah menyelidikinya terlebih dahulu sedalam-dalamnya. Kepada golongan keempat, yaitu alim-ulama, Muhammadiyah mengharap dan berseru agar mereka suka memperhatikan setiap keadaan pada zaman Rasulullah saw dan para Khulafaur Rasyidin, terutama tentang bagaimana cara dan sikap Rasulullah dan sahabat-sahabatnya itu di dalam membimbing serta memimpin umat dengan ajaran Islam. Para ulama hendaklah mendahulukan yang ahamm daripada yang muhim, artinya mendahulukan yang lebih perlu daripada yang sekedar perlu. Janganlah tenggelam di dalam ilmu, tetapi gunakanlah ilmu itu untuk bekerja atau berjuang bagi kebaikan dan kemajuan masyarakat. Janganlah pula sampai mau dibujuk untuk mengikuti barang yang bathil sekalipun diberi upah yang banyak, tetapi pertahankanlah barang yang haq sekalipun akan menerima resiko.
Kepada golongan kelima, yakni rakyat umum, Muhammadiyah bersikap membimbing dan memperbaiki. Membimbing mereka kepada agama yang benar, kepada kehidupan yang baik. Memperbaiki adat istiadat serta akhlak mereka serta memajukan pendidikan dan kecerdasan mereka.
Selain itu, menarik pula perhatian KH Mas Mansur tentang sistem perbankan dipandang dari ajaran Islam. Perhatiannya itu, dia kemukakan dalam tulisan yang dimuat majalah Siaran yang diterbitkan oleh Majelis Tabligh tahun 1937 yang isinya: 1). Nash-nash yang sharih (jelas) dari Al-Qur’an Hadits nyata-nyata melarang riba, bunga pinjaman atau renten dan tiada satupun yang membolehkan, 2) Tujuan agama Islam ialah akan mendasari segala usaha dan hubungan manusia dengan dasar kecintaan, kasih dan tolong-menolong, sedang bunga bagi pinjaman nyata memberatkan serta menimbulkan rasa terpaksa dan dendam, 3) Laba daripada pinjam meminjam atau bunga atau rente dan apa saja namanya yang dilakukan oleh bank, adalah berdasar perjanjian terlebih dahulu dengan syarat yang mengikat merupakan paksaaan batin bagi orang yang terpaksa meminjam. Serta sangat memberatkan, dengan demikian merupakan aniaya. Padahal, menurut dasar Islam, pinjam-meminjam adalah tolong menolong berdasar kasih sayang dan tidak disyaratkan peminjam harus memberi laba. Laba boleh diberikan nanti pada waktu pelunasan atas kehendak sukarela dari peminjam dalam jumlah sukarela pula. Bagi yang memberi pinjaman, Allah akan menggantinya dengan pahala.
Dengan alasan tersebut, KH Mas Mansur dengan tidak ragu lagi menetapkan bahwa hukum Bank sebagai keadaannya sekarang ini yang berdasar kepada bunga atau rente adalah HARAM.
KH Mas Mansur dikenal juga akan keberaniannya dalam mengemukakan pendapat walaupun tau akan mendapat tantangan dari orang yang tidak setuju. Memang, pemimpin harus begitu. Pendapat yang telah digariskan melalui ijtihad yang diyakini, setiap pemimpin harus berani mengetengahkan dan bertanggungjawab, berani pula mempertahankan pendapatnya itu, karena disanalah letaknya kepemimpinan itu. Setiap pemimpin yang tidak berani berbuat demikian, adalah pemimpin yang hanya mencari simpati, tidak memimpin dan tidak mengarahkan. Menyatakan pendapat yang berbeda dengan pendapat umum dapat dilakukan dengan cara bijaksana. Apakah harus tegas, ataukah harus bertahap tetapi mengarah, itu adalah kebijaksanaan.
Berdasarkan sejarah hidupnya yang penuh kepahlawanan, pada tahun1946,Pemerintah Republik Indonesia mengangkat KH Mas Mansur menjadi pahlawan nasional, bersama dengan teman seperjuangannya KH Fachrodin. (im)