Air Mata di Bulan Istimewa, Cerpen Eko Purwati

Cerpen Eko Purwati

 

Seluruh anggota keluarga berkumpul. Mengelilingi meja makan. Televisi dinyalakan dengan suara sedang. Lagu-lagu Bimbo, Opick, dan lagu yang bermuatan panggilan agama, sedang ditayangkan. Lembut, menyegarkan dan tepat menjadi lagu pengantar berbuka puasa.

”Awal bulan Ramadlan seperti ini kita masih sempat berbuka bersama di rumah, ” kata suamiku yang duduk di sebelah kananku.

”Ya, Yah. Lepas tanggal lima belas nanti biasanya kita sudah mulai sulit berkumpul seperti ini, ” sahut Ridwan, anak sulungku.

”Habis sih kita semua punya kesibukan masing-masing di bulan  Ramadhan ini. Paling tidak, sibuk memenuhi undangan buka bersama,” sambung Yanti, adik Ridwan.

”Kalau kesibukanku kan terbatas mengasuh adik-adik di tarwehan anak-anak. Nanti setelah pertengahan bulan, paling-paling saya sibuk melatih adik-adik itu latihan takbiran, agar waktu lomba takbiran bisa menang. Kalau habios tarweh  ditambah kesibukannya, saya sibuk merancang dan membuat lampion agar waktu lomba takbiran lampionnya bisa asyik,” kata Fahmi, anak bungsuku.

”Dan, Ayah pasti nanti lebih banyak di masjid, iktikaf sekaligus sahur bersama di masjid,” kataku,” tetapi aku sendiri jelas tetap harus menyiapkan makan sahur untuk anak-anak. Dan setiap siang saya harus menyiapkan makanan khas Ramadhan yang kutitipkan di Bazar Ramadhan di lorong kampung menuju masjid sana,” kataku.

”Ya, begitulah kita menjalani ibadah di bulan puasa zaman ini. Kalau zaman dulu, di desa atau di kampung tempo dulu, kita biasa menikmati bulan puasa secara sendiri-sendiri dalam keluarga. Sekarang, ada sebagian waktu kita, kita isi kegiatan bersama masyarakat,”  sahut suamiku.

”Lebih senang mana? Manjalani bulan puasa model dulu atau model sekaang?”.tanyaku.

Semua terdiam.

Sebelum ada yang menjawab terdengar penyiar televisi mengatakan wahka waktu berbuka puasa telah tiba. Lalu tedengar adzan Maghrib.

Semua melupakan pertanyaanku tadi. Yang terpikirkan adalah makanan dan minuman yang telah kusiapkan bersama Yanti. Minuman penyegar, semacam rujak  sirsak yang hangat. Lalu ada buah kurma, kue-kue dari beras dan sup pembangkit gairah makan.

Kami semua berdoa lalu makan bersama.

Saya merasakan lezatnya berbuka puasa bersama anggota keluarga. Wajah suami dan anak-anakku berbinar. Mereka menikmati sejumput bahagia yang bisa didapatkan waktu puasa. Kulihat Ridwan dan adik-adiknya seperti berlomba makan. Meski kuingatkan agar jangan sapai kekenyangan, karena sehabis taraweh masih bisa nambah makannya.

”Tanggung nih Bu, kan nanti sehabis tarawih saya harus rapat bersama teman-teman,” kata Fahmi.

Aku dan suami biasanya makan dan minum secukupnya, lalu mengambil air wudlu. Mempersiapkan musholla kecil kami untuk shalat Maghrib berjamaah. Karpet sudah bersih. mukenaku dan mukena anakku masih harum. Dua anak lelakiku yang hari ini kebagian tugas membereskan meja makan, sudah muncul, lengkap dengan sarung, baju koko warna muda dan kopiah hitamnya. Semua sudah mengambil air wudlu.

Kami menata shaf shalat. Dua anak lelakiku di depan, aku dan Yanti di belakang. Suami menjadi imam. Yang bertugas membaca iqomat, Ridwan. Suaranya besar seperti ayahnya.

Ketika shalat berjamaah sampai ada bacaan Aaamiin, karena suami telah selesai membaca Al Fatihah, tiba-tiba mataku basah. Ada suasana yang khusyuk dan mengharukan. Dan satu dua detik terselip ingatanku bagaimana katika aku kecil aku, saudaraku yang semua perempuan, bersama ibu, menjadi makmum ayahku. Kebahagiaan ketika berjamaah di waktu kecil, kunikmati lagi ketika dewasa, bersama orang-orang tercinta. Suami dan anak-anak.

Sehabis shalat kami semua berdoa sendiri-sendiri. Aku melengkapi doa-doaku sehabis shalat jamaah dengan doa memintakan ampun kepada orang tuaku yang kini tinggal ibn yang kini tinggal bersama kakakku. Aku juga berdoa untuk suami dan anak-anakku. Dan berdoa untuk diriku sendiri. Kembali mataku basah. Betapa indah hidup dan beribadah dengan orang-orang yang kucintai dan orang-orang yang mencintai diriku. Dan ini paling kurasakan setiap bulan Ramadlan tiba.

Fahmi paling cepat menutup doanya. Dia langsung menyalami dan mencium tanganku, kemudian tangan ayahnya. Pamit, kemudian melangkah cepat menuju tempat tarwehan anakanak.

Ynnti menyusul. ”Saya pamit, mau tarweh berama teman-teman sekampus,” bisiknya.

”Ya, hati-hati ya,” bisikku.

Ridwan paling belakang pamit ke tempat tarweh di masjid besar yang agak jauh dari kampungku.

Setelah semua anak-anak pergi, kusalami suami dan kucium tangannya.

”Maaf ya Yah, kalau ada kekuaranganku dalam menyiapkan hidangan berbuka tadi,” bisikku.

”Tidak, Bu, Tadi sudah baik sekali dan sangat lezat,” kata suamiku sambil tersenyum.

Aku jadi tesipu malu dipuji begitu..

”Yuk, kita siap-siap bertarawih di musholla kampung kita,” kata suami, mengurangi rasa maluku.

”Baik, Yah. Saya periksa, makanan dan minuman yang belum habis di almari. Lalu kuperiksa piring-piring dan gelas dan mangkuk yang tadi dicuci dua anak lelaki kita.”

”Baik, Bu. Saya ke ruang tamu sebentar.”

Ketika aku memeriksa dapur, bel pintu berbunyi. Suami membuka pintu lalu teriaknya terdenga sampai dapur,” Bu! Ini ada Bu Azizah melaporkan hasil penjualan kua-kuemu.’

”Baik Yah.”

Bu Azizah, anggota panitia Bazar Ramadhan membnwa nampan kosong dan uang hasil penjualan kua-kue. Ahamdulillah, apa yang tadi kusetor ke pantia bazar semua habis terbeli. Uang yang diberikan padaku sudah dipotong diskon yang masuk kas panitia.

”Terima kasih ya Bu Azizah. Alhamdulillah, habis semua.”

”Sama-sama Bu, ” katanya sambil menyerahkan uang itu. Kemudian dia pamit pulang.

Uang hasil penjualan makanan kusimpan di tempat khusus.

Saya dan suami berjalan perlahan-lahan menuju musholla. Aku sudah memakai parfum, suami juga harum. Jarak antara rumah dengan musholla tidak begitu jauh. Melewati toko busana muslimah yang masih buka. Aku mendekati tubuh suami dan berbisik,” Yah nanti sehabis tarawih kita belanja di toko itu ya Yah.”

”Belanja apa?”

”Aku ingin membelikan hadiah lebaran berupa kerudung warna unggu untuk Ibu. Kemarin waktu aku ke rumah Ibu dia cerita kalau Lebaran tahun ini sudah punya baju baru berwarna ungu, tetapi kerudungnya belum punya.”

”Baik, kebelulan saya bawa uang. Ini di saku.”

Mendengar jawabnya, aku merasa bahagia. Betul, aku berterima kasih kepada Tuhan yang telah mengirim suami sebaik ini kepadaku. Kembali air mataku berlinang.

”Lho kenapa menangsi?” kata suami terkejut.

”Karena aku bahagia dan bersyukur, punya suami sebaik dan sepemurah diruimu, Yah,” kataku memuji dia.

Dia ganti tersipu malu kupuji begitu. Wajahnya tampak demikian kemilau, bertambah tampan berlipat kali dibanding hari-hari biasa.

 

Yogyakarta, 2018

Artikel ini pernah dimuat di Majalah SM No 10 Tahun 2018

 

Exit mobile version