Agama dan Kesehatan Spiritual (1)
Oleh: Wildan, Nurcholid Umam Kurniawan dan Suwardiman Anwar Huda
“Bimbing (antar) lah kami (memasuki) jalan lebar dan luas. (Yaitu) jalan orang-orang yang telah Engkau anugerahi nikmat kepada mereka; bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan bukan (pula jalan) orang-orang yang sesat”. (QS Al- Fatihah [1] : 6 – 7).
Dalam pandangan pakar tasawuf (filsafat), manusia pertama yang diturunkan Tuhan ke bumi menemukan tiga hal. Pertama, dia temukan alam raya ini sangat indah, dia melihat bintang-bintang gemerlapan indah sekali. Dia menemukan keindahan. Kedua, dia menemukan kebaikan. Dia temukan angin saat dia berjalan dan berkeringat, dia rasakan alangkah nikmat dan baiknya sentuhan angin ini. Di sini dia menemukan kebaikan. Selanjutnya yang ketiga, dia berjalan, melihat segala sesuatu pada tempatnya. Saat itu dia menemukan kebenaran, maka dia bertemu (dalam perjalanannya) dengan keindahan, kebaikan, dan kebenaran. Manusia mempunyai naluri ingin tahu.
Dia melihat mawar. Mawar indah tapi berduri. Dia ingin tahu apa yang paling baik, tanpa keburukan; apa yang paling indah tanpa kekurangan; apa yang paling benar tanpa kekeliruan. Di situ dia bertemu dengan Tuhan. Naluri untuk selalu baik ini mengantarnya untuk meneladani Tuhan. Maka mulailah saat itu dia mengenal agama, dan berusaha mendekatkan diri pada Tuhan. (Shihab, 1997).
Menurut Nasution (2001), masyarakat Indonesia selain kata agama, dikenal pula kata din dari bahasa Arab dan kata religi dari bahasa Eropa. Agama berasal dari kata Sanskerta. Satu pendapat mengatakan bahwa kata itu tersusun dari dua kata, a = tidak dan gam = pergi, jadi tidak pergi, tetap di tempat, diwarisi turun temurun. Agama memang mempunyai sifat yang demikian. Ada lagi pendapat yang mengatakan bahwa agama berarti teks atau kitab suci. Dan agama-agama memang mempunyai kitab-kitab suci. Selanjutnya dikatakan lagi bahwa gam berarti tuntunan. Memang agama mengandung ajaran-ajaran yang menjadi tuntunan hidup bagi penganutnya. Ada lagi yang mengatakan kata gam berarti pergi, seperti kata go dalam bahasa Inggris yang juga berarti pergi, karena kedua bahasa itu berasal dari batang pohon bahasa yang sama Proto-Eropa. Kemudian dapat awalan dan akhiran a lalu berubah arti menjadi jalan. Jadi, agama berarti jalan menuju Tuhan (road to Allah).
Din dalam bahasa Semit berarti undang-undang atau hukum. Dalam bahasa Arab kata ini mengandung arti menguasai, menundukkan, patuh, hutang, balasan, kebiasaan. Agama memang membawa peraturan-peraturan yang merupakan hukum, yang harus dipatuhi orang. Agama selanjutnyua memang menguasai diri seseorang dan membuat dia tunduk dan patuh kepada Tuhan dengan menjalankan kewajiban yang kalau tidak dijalankan oleh seseorang menjadi hutang baginya. Paham kewajiban dan kepatuhan membawa pula kepada paham balasan. Yang menjalankan kewajiban dan yang patuh akan mendapat balasan baik dari Tuhan. Yang tidak menjalankan kewajiban dan tidak patuh akan mendapat balasan tidak baik.
Religi berasal dari bahasa Latin. Menurut satu pendapat asalnya yaitu relegere yang mengandung arti mengumpulkan, membaca. Agama memang merupakan kumpulan cara-cara mengabdi kepada Tuhan. Ini terkumpul dalam kitab suci yang harus dibaca. Tetapi menurut pendapat lain kata itu berasal dari religare yang berarti mengikat. Ajaran-ajaran agama memang mempunyai sifat mengikat bagi manusia. Dalam agama selanjutnya terdapat pula ikatan antara ruh manusia dengan Tuhan. Dan agama lebih lanjut lagi memang mengikat manusia dengan Tuhan.
Intisari yang terkandung dalam istilah-istilah di atas ialah ikatan. Agama mengandung arti ikatan-ikatan yang harus dipegang dan dipatuhi manusia. Ikatan ini mempunyai pengaruh yang besar sekali terhadap kehidupan manusia sehari-hari. Ikatan itu berasal dari suatu kekuatan yang lebih tinggi dari manusia. Satu kekuatan gaib yang tidak dapat ditangkap dengan pancaindra.
Oleh karena itu agama diberi definisi-definisi sebagai berikut :
- Pengakuan terhadap adanya hubungan manusia dengan kekuatan gaib yang harus dipatuhi.
- Pengakuan terhadap adanya kekuatan gaib yang menguasai manusia.
- Mengikatkan diri pada suatu bentuk hidup yang mengandung pengakuan pada suatu sumber yang berada di luar diri manusia dan yang mempengaruhi perbuatan-perbuatan manusia.
- Kepercayaan pada suatu kekuatan gaib yang menimbulkan cara hidup tertentu.
- Suatu sistem tingkah laku (code of conduct) yang berasal dari suatu kekuatan gaib.
- Pengakuan terhadap kewajiban-kewajiban yang diyakini bersumber pada suatu kekuatan gaib.
- Pemujaan terhadap terhadap kekuatan gaib yang timbul dari perasaan lemah dan perasaan takut terhadap kekuatan misterius yang terdapat dalam alam sekitar manusia.
- Ajaran-ajaran yang diwahyukan Tuhan kepada manusia melalui seorang Rasul.
Dengan demikian unsur-unsur penting yang terdapat agama ialah :
- Kekuatan gaib. Manusia merasa dirinya lemah dan berhajat pada kekuatan gaib itu sebagai tempat minta tolong. Oleh karena itu manusia merasa harus mengadakan hubungan baik dengan kekuatan gaib tersebut. Hubungan baik ini dapat diwujudkan dengan mematuhi perintah dan larangan kekuatan gaib itu.
- Keyakinan manusia bahwa kesejahteraannya di dunia ini dan hidupnya di akhirat tergantung pada adanya hubungan baik dengan kekuatan gaib yang dimaksud. Dengan hilangnya hubungan baik itu, kesejahteraan dan kebahagiaan yang dicari akan hilang pula.
- Respons yang bersifat emosional dari manusia. Respons itu bisa mengambil bentuk perasaan takut, seperti yang terdapat dalam agama-agama primitif atau perasaan cinta, seperti yang terdapat dalam agama-agama monoteisme. Selanjutnya respons mengambil bentuk penyembahan yang terdapat dalam agama-agama primitif, atau pemujaaan yang terdapat dalam agama-agama monoteisme. Lebih lanjut lagi respons itu mengambil bentuk cara hidup tertentu bagi masyarakat yang bersangkutan.
- Paham adanya yang kudus (sacred) dan suci, dalam bentuk kekuatan gaib, dalam bentuk kitab yang mengandung ajaran-ajaran agama yang bersangkutan dan dalam bentuk tempat-tempat tertentu.
Agama ada yang bersifat primitif dan ada pula yang dianut oleh masyarakat yang telah meninggalkan fase keprimitifan. Agama-agama yang terdapat dalam masyarakat primitif ialah 1) Dinamisme (percaya pada kekuatan gaib yang misterius. Dalam paham ini ada benda-benda tertentu yang mempunyai kekuatan gaib dan berpengaruh pada kehidupan manusia sehari-hari, ada yang bersifat baik maupun jahat); 2) Animisme (mengajarkan bahwa tiap-tiap benda baik yang bernyawa maupun tidak bernyawa, mempunyai roh. Roh dalam masyarakat primitif belum mengambil bentuk ruh dalam paham masyarakat yang telah lebih maju): 3) Politeisme (kepercayaan kepada dewa-dewa. Hal-hal yang menimbulkan perasaan takjub dan dahsyat bukan lagi dikuasai oleh roh-roh tapi oleh dewa-dewa).
Dalam masyarakat yang sudah maju agama yang dianut bukan lagi dinamisme, animisme, politeisme atau henoteisme (mengakui satu tuhan untuk satu bangsa, mengandung paham tuhan nasional dan bangsa-bangsa lain mempunyai tuhannya sendiri-sendiri. Yahweh menjadi tuhan nasional bangsa Yahudi); tetapi agama monoteisme, agama tauhid. Dasar ajaran monoteisme ialah Tuhan satu, Tuhan Maha Esa, pencipta alam semesta. Dengan demikian perbedaan antara henoteisme dan monoteisme ialah bahwa dalam agama akhir ini Tuhan tidak lagi merupakan Tuhan nasional tetapi Tuhan internasional, Tuhan semua bangsa di dunia ini bahkan Tuhan Alam Semesta.
Iman, Takwa dan Hakekat Islam
“Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu kebajikan, akan tetapi sesungguhnya kebajikan itu ialah beriman kepada Allah, hari kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi, dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan) dan orang-orang yang meminta; dan (memerdekakan) hamba sahaya, mendirikan shalat, dan menunaikan zakat; dan orang-orang yang menepati janjinya, dan orang-orang yang sabar dalam kesempitan, penderitaan dan dalam peperangan. Mereka itulah orang-orang yang benar (imannya); dan mereka itulah orang-orang yang bertakwa”. (QS Al-Baqarah [2] : 177).
Iman diterjemahkan dengan percaya. Kata percaya berasal dari kata cahaya. Maka, wajah orang yang mengaku atau merasa beriman akan memancarkan cahaya (keimanan), meskipun jidatnya tidak hitam. Perilakunya akan baik dan benar bahkan bisa jadi indah. Tuhan menciptakan manusia dengan penuh kecintaan, maka sudah sepatutnya dan selayaknya manusia tunduk dan patuh kepada Tuhan dengan penuh rasa cinta dan ketulusan (worshiping Allah on the bases of love and sincerity) .
Oleh karena itu, tanda-tanda bahwa orang itu beriman apabila disebut nama Allah berdebar-debar jantungnya (bukan bergetar hatinya, hati letaknya di rongga perut, di rongga dada itu jantung – heart), karena saking cintanya kepada Allah. Selain itu, apabila mendengar ayat-ayat Allah akan bertembah-tambah imannya karena makin bertambah cintanya kepada Allah (QS Al-Anfal [8] : 2).
Menurut Shihab (1997), takwa itu adalah adalah suatu kata yang menggambarkan semua pesan Ilahi. Semua pesan Allah Swt. Itu tergambar di dalam kata takwa. Itu sebabnya orang yang paling rendah imannya, bisa diajak untuk bertakwa. Rasul pun, yang telah mencapai puncak, masih tetap diajak untuk bertakwa. Allah misalnya berfirman : “Bertakwalah kepada Allah”.
Ini ditujukan kepada siapa saja. Takwa itu artinya menghindar, sehingga kalau kita ingin menerjemahkan secara harfiah, artinya : Menghindarlah dari Allah. Kita tidak dapat menghindar dari Allah. Maka di sini ada sisipan, bertakwalah kepada Allah, artinya “menghindarlah dari sanksi-sanksi yang dapat dijatuhkan Allah”.Sanksi Tuhan itu ada dua, sanksi di dunia dan sanksi di akhirat. Sanksi di dunia adalah akibat pelanggaran terhadap hukum-hukum atau perintah-perintah Tuhan yang berkaitan dengan hukum-hukum alam. Orang yang makan terlalu banyak, bisa sakit. Sakit adalah sanksi terhadap pelanggaran hukum alam. Orang yang makan makanan kotor, bisa sakit. Orang tidak bekerja padahal dia mampu, akan hidup di dalam kemiskinan. Itu adalah sanksi.
Takwa sisi pertama ini berkaitan erat dengan kehidupan duniawi. Takwa sisi kedua, berkaitan dengan ganjaran atau sanksi di akhirat. Misalnya orang yang tidak shalat, tidak dikenai sanksi hukum alam, karena shalat itu hukum syariat. Pelanggaran atau pelaksanaan hukum syariat, akan mendapat sanksi atau ganjaran di akhirat. Keliru kalau orang mengatakan, saya sudah shalat, kok belum kaya. Atau ada yang berkata : “Si A tidak shalat, kok kaya”. Si A itu tidak beragama dengan baik, kok hidupnya senang. Dia melaksanakan sisi takwa yang pertama, tidak melaksanakan sisi takwa yang kedua. Karena itu Tuhan menyatakan : Berpuasalah supaya kamu dapat terhindar dari sanksi Tuhan yang di dunia ini, dan sanksi Tuhan yang ada di akhirat nanti. Dengan demikian, jika ada suatu peristiwa pesawat terbang jatuh seluruh penumpangnya meninggal dunia, itu sunnatullah. Jika ada satu penumpang yang masih hidup atau selamat, itu inayatullah.
Menurut Nasution (2001), Islam adalah agama dalam pengertian definisi nomor delapan tersebut di atas, yaitu agama yang ajaran-ajarannya diwahyukan Tuhan kepada masyarakat manusia melalui Nabi Muhammad Saw. sebagai Rasul.
“Tidak dapat terjadi bagi manusia bahwa Tuhan berbicara dengannya kecuali melalui wahyu. Atau dari belakang tabir ataupun melalui utusan yang dikirim, maka disampaikanlah kepadanya dengan seizin Tuhan apa yang dikehendaki-Nya. Sesungguhnya Tuhan Maha Tinggi dan Maha Bijaksana. Demikianlah Kami kirimkan kepada ruh atas perintah Kami”. (QS Al-Syura [42] : 51 – 52).
Adapun wahyu dalam bentuk pertama yaitu .pengertian atau pengetahuan yang tiba-tiba dirasakan seseorang timbul dalam dirinya; timbul dengan tiba-tiba sebagai sebagai suatu cahaya yang menerangi jiwanya. Wahyu bentuk kedua, adalah pengalaman dan penglihatan didalam keadaan tidur atau didalam keadaan trance. Didalam bahasa asingnya disebut ru’ya (dream) atau kasy (vision). Wahyu dalam bentuk ketiga adalah yang diberikan melalui utusan, atau malaikat, yaitu Jibril dan wahyu serupa ini disampaikan dalam bentuk kata-kata. Bahwa wahyu yang diturunkan kepada Nabi Muhammad adalah wahyu dalam bentuk ketiga.
Umat Islam mempunyai keyakinan bahwa apa yang terkandung dalam Al-Qur’an adalah firman Tuhan, dengan kata lain teks Arab yang tersebut dalam kitab suci itu adalah wahyu dari Tuhan. Hanya kata-kata Arab yang tersebut dalam teks itulah yang diakui sebagai wahyu, dan kalau diganti dengan kata-kata Arab lain sungguhpun sinonimnya, itu tidak diakui lagi wahyu. Apalagi terjemahannya ke dalam bahasa asing, semua itu bukan lagi merupakan wahyu, atau Al-Qur’an yang sebenarnya.
Hadist, sebagai sumber kedua dari ajaran-ajaran Islam, mengandung sunnah (tradisi) Nabi Muhammad. Sunnah boleh mempunyai bentuk ucapan, perbuatan atau persetujuan secara diam-diam dari Nabi. Inilah dua sumber asli dari ajaran-ajaran Islam dalam segala aspeknya.
Di kalangan masyarakat Indonesia terdapat kesan bahwa Islam bersifat sempit. Kesan itu timbul dari salah pengertian tentang hakekat Islam. Kekeliruan paham ini terdapat bukan hanya di kalangan umat bukan Islam, tetapi juga di kalangan umat Islam sendiri, bahkan juga di kalangan sebagian agamawan-agamawan Islam.
Kekeliruan paham itu terjadi, karena kurikulum pendidikan agama Islam yang banyak dipakai di Indonesia ditekankan pada pengajaran ibadah, fikih, tauhid, tafsir, hadist dan bahasa Arab. Oleh karena itu Islam di Indonesia banyak di kenal hanya dari aspek ibadah, fikih dan tauhid saja. Dan itupun, ibadah, fikih dan tauhid biasanya diajarkan hanya menurut satu mazhab dan aliran saja. Hal ini memberi pengetahuan yang sempit tentang Islam.
Dalam Islam sebenarnya terdapat aspek-aspek selain dari yang tersebut di atas, seperti aspek teologi, aspek ajaran spiritual dan moral, aspek sejarah, aspek kebudayaan, aspek politik, aspek hukum, aspek lembaga-lembaga kemasyarakatan, aspek misticisme dan tarekat, aspeK falsafah, aspek ilmu pengetahuan dan aspek pemikiran serta usaha-usaha pembaharuan dalam Islam.
Sudah barang tentu bahwa mengenal Islam hanya dari tiga di antara aspek-aspek yang demikian berbagainya menimbulkan pengertian yang tidak lengkap tentang Islam. Hal ini dapat membawa kepada paham dan sikap yang sempit.
Menurut Armstrong ( dalam Abdullah, 2007), partikularitas-eksklusivitas agama yang bergantung pada legitimasi kitab suci yang dipahami secara tekstual, tanpa disadari, rupanya dapat mengantarkan seseorang atau kelompok pada sosok “kesalehan yang keras, militan, dan radikal”. Sosok keberagamaan model ini dengan mudah menanamkan rasa tidak suka pada orang atau kelompok lain di luar diri dan kelompoknya, benci, marah, dendam, konflik, egotisme. Sedang universalitas-inklusivitas agama-agama menekankan Compassionate Ethic (etika berdasarkan rahmat, rasa belas kasih) dengan mengedepankan rasa simpati, empati, rasa hormat, senasib sepenanggungan, suka menolong, suka beramal, murah hati, loyalitas, kerja sama, dan solidaritas antar-sesama umat manusia. Menurutnya , untuk menghindari kehancuran bersama diperlukan cara beragama baru dan sehat dalam kehidupan era kontemporer.
Wildan, Dokter Jiwa RS PKU Muhammadiyah Bantul
Nurcholid Umam Kurniawan, Dokter Anak, Direktur Pelayanan Medik RS PKU Muhammadiyah Bantul, Dosen FK-UAD
Suwardiman Anwar Huda, S Ag., MSI, Kepala Bina Ruhani RS PKU Muhammadiyah Bantul