Agama dalam Kehidupan Berbangsa dan Bernegara
Oleh Prof DR H Haedar Nashir, M.Si.
Indonesia sebagai suatu bangsa dan negara tidak dapat dipisahkan dari agama. Lebih khusus agama Islam dan umat Islam sebagai mayoritas di negeri ini. Secara historis dan sosiologis agama dan umat bergama telah hidup menyatu dengan kelahiran, pertumbuhan, dan perkembangan hidup masyarakat dan bangsa Indonesia. Apa yang disebut agama setempat atau kepercayaan fondasinya ialah agama yakni keyakinan akan Tuhan yang masih sederhana dan belum memperoleh bimbingan kitab suci dan kehadiran Nabi.
Agama dan umat beragama menyatu dengan kebudayaan Indonesia, sehingga masyarakat atau bangsa Indonesia dikenal relijius. Dalam perjuangan kemerdekaan dan pembentukan negara Indonsia, peranan umat beragama sangatlah besar dan menentukan. Setiap perang dan perlawanan melawan penjajah selalu melibatkan umat beragama dan simbol-simbol maupun nilai-nilai ajaran agama. Lebih khusus, secara konstitusional agama maupun umat beragama juga memperoleh tempat yang kuat dalam konstitusi dasar Indonesia.
Karenanya tidak boleh ada usaha maupun kebijakan negara yang menjauhkan, memisahkan, dan menegasikan agama dan umat beragama dari kehidupan kebangsaan dan kenegaraan. Tidak boleh negara Indonesia berpaham anti-Tuhan (ateis) atau anti-agama (agnostis), sebab menyalahi Pancasila dan UUD 1945 serta sejarah dan kepribadian Indonsia. Berpijak pada dasar negara tersebut tentu saja jangan pula Indonesia dijadikan sebagai negara agama serta paham agama tertentu menjadi paham negara. Jangan pula tokoh dan umat beragama menjadikan agama sebagai alat transaksi-transaksi politik dan lainnya yang menodai agama dan ketulusan pemeluk agama.
Peluruhan Nilai
Setelah 73 tahun merdeka, Indonesia masih mengalami kejumudan (stagnasi), penyimpangan (deviasi), dan peluruhan (distorsi) dalam berbagai bidang kehidupan kebangsaan ditimbang dari semangat, pemikiran, dan cita-cita nasional yang diletakkan oleh para pendiri bangsa sebagaimana termaktub dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945. Meskipun terdapat banyak kemajuan, seperti dalam kehidupan demokrasi dan hak asasi manusia, tingkat pertumbuhan ekonomi, dan suasana kemajemukan bangsa yang terpelihara dengan baik, tak dapat dipungkiri masih banyak persoalan rumit dan mendesak yang harus segera diselesaikan. Di antara masalah yang cukup serius adalah korupsi yang masif, penegakan hukum yang lemah, kesenjangan sosial yang melebar, sumberdaya alam yang dieksploitasi dan dikuasai pihak asing, dan hal-hal lain yang berdampak luas pada kehidupan kebangsaan yang jauh dari cita-cita nasional.
Kehidupan kebangsaan di Indonesia saat ini diwarnai oleh krisis moral dan etika, disertai berbagai paradoks dan pengingkaran atas nilai-nilai keutamaan yang selama ini diakui sebagai nilai-nilai luhur budaya bangsa. Kenyataan ini ditunjukkan oleh perilaku elite dan warga masyarakat yang korup, konsumtif, hedonis, materialistik, suka menerabas, dan beragam tindakan menyimpang lainnya. Sementara itu proses pembodohan, kebohongan publik, kecurangan, pengaburan nilai, dan bentuk-bentuk kezaliman lainnya (tazlim) semakin merajalela di tengah usaha-usaha untuk mencerahkan (tanwir) kehidupan bangsa. Situasi paradoks dan konflik nilai tersebut menyebabkan masyarakat Indonesia kehilangan makna dalam banyak aspek kehidupan dan melemahkan sendi-sendi kehidupan bangsa dan negara (PP Muhammadiyah, 2014).
Dalam pandangan Muhammadiyah dalam Buku Indonesia Berkemajuan (2015) bahwa kehidupan kebangsaan di Indonesia memerlukan rekonstruksi bermakna di bidang politik, ekonomi, dan budaya. Keberhasilannya sangat ditentukan oleh salah satunya faktor dinamis karakter kepemimpinan dalam seluruh struktur kehidupan kebangsaan. Indonesia saat ini memerlukan karakter kepemimpinan yang progresif, reformatif, inspiratif dan berakhlak mulia yang mampu menyerap aspirasi masyarakat dan mengkristalisasikan nilai-nilai etika keagamaan dan moral Pancasila secara aktual sebagai landasan kebijakan di pelbagai sektor kehidupan kebangsaan. Dalam konteks kehidupan kebangsaan, kepemimpinan profetik adalah kepemimpinan yang memiliki komitmen terhadap kebenaran, mendorong terwujudnya keadilan sosial dan ekonomi, berpihak kepada hak-hak masyarakat, serta mengutamakan kepentingan bangsa dan negara di atas segalanya.
Dalam kehidupan kebangsaan saat banyak krisis terjadi, justru jadikan agama sebagai kekuatan moral dan intelektual yang mencerahkan. Jadikan agama sebgai Din at-Tanwir, ajaran yang mencerahkan kehidupan untuk menerangi kegelapan jiwa, pikiran, dan tindakan manusia dari apa yang oleh Peter L Berger disebut chaos yang memerlukan kanopi suci agama. Nilai-nilai agama merupakan pandangan hidup yang kokoh dan menjadi bagian terpenting dari denyut-nadi kehidupan bangsa Indonesia.
Agama manapun bukan hanya kumpulan tuntunan ritual ibadah dan doktrin moral yang terkandung dalam ajaran kitab suci. Lebih dari itu, agama merupakan model perilaku yang tercermin dalam tindakan nyata yang mendorong penganutnya memiliki watak jujur dan dipercaya, dinamis, kreatif, dan berkemajuan. Dalam pandangan Islam, Agama tidak hanya mengatur hubungan manusia dengan Allah yang Maha Pencipta (habl min Allah), tetapi juga mengatur dan memberi arah kehidupan dalam hubungan antar umat manusia (habl min al-nas) yang membentuk peradaban hidup yang utama. Di sinilah letak esensi agama dalam kehidupan umat manusia.
Kehadiran Agama
Para pendiri bangsa Indonesia menyadari pentingnya agama dan kehadiran Tuhan dalam perjuangan kebangsaan, sehingga dalam paragraf Pembukaan UUD 1945 dinyatakan, “Atas berkat rakhmat Allah Yang Maha Kuasa dan dengan didorongkan oleh keinginan luhur, supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas, maka rakyat Indonesia menyatakan dengan ini kemerdekaannya”. Dalam pasal 29 UUD 1945 bahkan secara tegas dicantumkan tentang eksistensi dan kemenyatuan bangsa Indonesia dengan agama sebagai sistem keyakinan dan kepercayaan.
Agama merupakan ajaran Ilahi yang sangat penting dan mendasar bagi kehidupan bangsa Indonesia. Agama sebagai sumber nilai utama yang fundamental berfungsi sebagai kekuatan transendental yang luhur dan mulia bagi kehidupan bangsa. Orang Indonesia menjadi tahu mana yang benar dan salah, baik dan buruk, serta pantas dan tidak pantas karena tuntunan ajaran agama. Nilai-nilai instrinsik keagamaan telah memberi inspirasi bagi para pendiri bangsa dan perumus cita-cita negara dalam mewujudkan kehidupan kebangsaan yang berbasis pada ajaran agama. Nilai-nilai agama bahkan tercermin dalam Pancasila sebagai ideologi negara.
Karenanya, agama bagi kehidupan bangsa Indonesia dapat dijadikan sebagai sumber nilai pedoman hidup, panduan moral, dan etos kemajuan. Nilai-nilai agama dapat menumbuhkan etos keilmuan, orientasi pada perubahan, kesadaran akan masa depan yang lebih baik, pendayagunaan sumberdaya alam secara cerdas dan bertanggungjawab, inovasi atau pembaruan, kebersamaan dan toleransi, disiplin hidup, kemandirian, serta hal-hal lain yang membawa pada kemajuan hidup bangsa. Nilai-nilai agama juga dapat mengembangkan relasi sosial antara laki-laki dan perempuan yang adil tanpa diskrimansi, serta hubungan antarumat manusia yang berkeadaban mulia. Dengan nilai-nilai agama itu, bangsa Indonesia dapat menjalani kehidupan di abad moderen yang membawa pada keselamatan dunia dan akhirat.
Agama dalam konteks berbangsa dan bernegara tentu harus menyatu dalam jiwa, pikiran, dan praktik hidup elite dan warga. Para elite negeri di manapun berada, termasuk di legislatif, eksekutf, dan yudikatif mesti menghayati setiap agama yang dipeluknya sekaligus menjadikan agama sebagai fondasi nilai yang esensial dan fundamental dalam kehidupan berbangsa dan bernegara tanpa harus dihantui oleh paham sekularisme negara. Indonesia memang bukan negara agama, tetapi agama menjad sumber nilai penting, sekaligus tidak boleh menjadikan negeri ini menjadi sekuler. Berbagai macam krisis dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, termasuk merebaknya korupsi, kemaksiatan, dan ketidakadilan antara lain karena lepasnya nilai agama dari kehidupan kebangsaan dan kenegaraan.
Agama dan umat beragama sungguh berperan penting dalam kehidupan kebangsaan di negeri ini. Karenanya agama dan institusi keagamaan jangan direduksi oleh satu atribut dan golongan primordial tertentu, seolah mereka mewakili seluruh umat Islam khususnya dan umat beragama pada umumnya. Lebih-lebih manakala klaim golongan keagamaan itu hanya dijadikan alat meraih kekuasaan politik dan memperalat negara untuk memenuhi kepentingan golongan sendiri dalam hasrat ananiyah-hizbiyah yang menyala-nyala. Agama yang hidup dalam dengut nadi bangsa Indonesia meniscayakan pesan ajaran dan umat beragama yang benar-benar objektif, membawa kemajuan dan pencerahan, konsisten antara nilai dan perilaku, serta membawa rahmatan lil-‘alamin dalam makna dan fungsi yang sebenar-benarnya!
Sumber: Majalah SM Edisi 17 Tahun 2018