Hadits: Refleksi Korelatif Taqwa, Taubat dan Akhlak Muslim
عن أبي ذر جُندُب بن جُنادَة وأبي عبدِ الرحمنِ معاذِ بن جبل ر.ض. عن رَسولِ الله صلعم قال : إتَّقِ اللهَ حَيْثُمَا كُنْتَ وَأتْبِعْ السَّيْئَةَ الْحَسَنَةَ تَمْحُهَا وَخَالِقِ النَّاسَ بِخُلُقٍ حَسَنٍ (رواه الترمذي)
Dari Abu Dzar Jundub bin Junadah dan Abu Abdirrahman Mu’adz bin Jabal ra, bahwa Rasulullah Saw pernah bersabda, “Bertakwalah kepada Allah di mana pun kamu berada, iringilah kesalahanmu dengan kebaikan niscaya ia dapat menghapuskannya, dan saling bergaulah kalian (manusia) dengan akhlak yang baik.” (HR. At-Tirmidzi)
Hadits ini diriwayatkan At-Tirmidzi dalam kitab Al-Birru, bab Mu’asyarah an-Nas (Pergaulan dengan manusia), nomor 1906. Rangkaian sanadnya terdiri dari perawi yang terpercaya kecuali Maimun bin Abi Syabib yang dinilai shaduq, karenanya kualitas riwayat ini menjadi hasan. Hadits ini dikategorikan sebagai hadits akhlak mengingat para penulis hadits menempatkannya pada bab-bab akhlak seperti At-Tirmidzi dalam mu’asyarah an-nas, Ad-Daruquthni dan Ad-Darimi dalam Husnul Khuluq, At-Thabrani dalam Makarim al-Akhlaq, At-Taufiqi (penulis Shahih Kunuz Sunnah Nabawiyah) dalam fadhlu khusn al-khuluq dan Al-Baihaqi dalam Syu’abul Iman. Hadits ini sejatinya adalah penjelas dari Al-Qur’an surat. Ali-Imran [3]: 112, tentang syarat meraih kemuliaan hidup, yaitu menata hubungan dengan Allah dan sesama manusia. Berdasar ayat di atas dan pandangan para penulis hadits, dipahami bahwa akhlak merupakan syarat untuk meraih kemuliaan hidup.
Menarik bahwa riwayat ini mencakup tiga kata (taqwa-taubat-akhlak) yang murni berasal dari khazanah Islam dan tidak akan ditemukan dalam agama lain. Setiap kata melahirkan makna, setiap makna melahirkan konsep. Demikian halnya, ketiga kata tersebut, baik dipisah atau disatukan, masing-masing ataupun gabungan, akan mengandung konsep yang sama yaitu; tauhid, penciptaan, kehidupan, ilmu, etika, hari akhir, din (agama), dan alam. Dengan kata lain, berbicara tentang taqwa, taubat dan akhlak, akan mengajak kita menyelami karakter ajaran tauhid, peranan ilmu pengetahuan, rahasia penciptaan, peran etika, dan hakikat hari akhir. Hal ini mengingatkan kita pada sabda Nabi Saw, sungguh aku diutus dengan anugerah menyampaikan pesan yang luas dan dengan kalimat yang singkat dan jelas. Walhasil, hadits ini singkat, tetapi cakupan maknanya sangat luas.
Sadar atau tidak tentang makna dan konsep yang dikandungnya, kata taqwa telah menjadi bagian dari tujuan Pendidikan Nasional melalui undang-undang No. 23 tahun 2003 tentang Pendidikan Nasional. Ini berarti segala aktifitas pendidikan diarahkan untuk mewujudkan manusia yang bertauhid, berakhlak, mengerti tentang hakikat dan tujuan ilmu pengetahuan, dan berorientasi pada hari akhir. Dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, tentu kita harus selalu melakukan evaluasi, sudah sejauh mana amanah undang-undang itu direalisasikan dalam bidang pendidikan, baik dari aspek proses maupun capaiannya. Dalam kehidupan lebih luas, kita pun hendaknya selalu mengevaluasi diri sudah sejauh mana undang-undang Ilahi itu menjadi daya gerak aktifitas kita.
Perintah Bertaqwa
Menurut al-Quran, manusia harus bertaqwa di setiap waktu (Qs. Ali Imran [3]: 102). Untuk dapat bertaqwa sepanjang waktu, syariat telah memberikan simbol-simbol taqwa dalam setiap tahapan kehidupan. Hal ini dapat kita lihat pada ritme kehidupan kaum muslimin, di mana setiap hari Jumat para khatib harus menyampaikan pesan taqwa dalam khutbahnya. Setiap tahun, terdapat bulan Ramadhan yang di dalamnya ada kewajiban puasa, di mana tujuannya adalah membentuk pribadi bertakwa. Dua bulan setelahnya, datang Dzulhijjah yang didalamnya terdapat perintah haji, dimana orang yang hendak menunaikan kewajiban haji diminta untuk membawa bekal taqwa (Qs. Al-Baqarah [2]: 197). Bahkan perintah berbekal taqwa itu dapat diperluas maknanya menjadi perintah bertaqwa dalam persiapan menuju rihlah muqaddasah, yaitu perjalanan menuju Tuhan (Qs. Ali Imran [3]: 102).
Sedang menurut hadits Nabi Saw, manusia harus bertaqwa di semua keadaan. Lalu bagaimana hubungan antara taqwa dan perilaku? Taqwa dapat dilihat dari tiga sudut pandang, yaitu: pertama, aspek mental. Mental orang bertaqwa adalah mental baik. Artinya, memposisikan taqwa sebagai daya penggerak tingkah laku. Daya penggerak tersebut menghasilkan kecenderungan pada yang “baik” setiap merespon aspek kehidupan. Saat butuh pekerjaan, maka taqwa sebagai daya penggerak menghasilkan kecenderungan pada pekerjaan yang baik. Saat butuh teman, mental taqwa cenderung memilih teman yang baik. Saat butuh ilmu pengetahuan, dipilihnya ilmu yang mampu menghasilkan kebaikan.
Bahkan saat hendak mati pun, mental taqwa memilih mati dalam keadaan baik. Kedua, aspek jati diri. Orang bertaqwa mengasosiasikan dirinya dengan karakter muttaqin sebagai peneguhan identitasnya di tengah-tengah kehidupan duniawi yang multi identitas. Peneguhan identitas itu penting karena akan berpengaruh pada perilaku, karena ia menjadi semacam profesi. Orang yang telah meneguhkan identitasnya sebagai guru akan memenuhi aktifitasnya dengan hal-hal yang berkaitan dengan profesinya sebagai guru. Pebisnis akan akan mengarahkan seluruh kegiatannya untuk kegiatan bisnis. Pengacara akan memenuhi hari-harinya dengan persoalan hukum, demikian seterusnya. Orang yang tidak meneguhkan identitasnya, tentu tidak punya pedoman dalam berbuat.
Baginya hidup seperti gerak ilalang yang bergerak ke sana kemari mengikuti tiupan angin. Masalahnya kemudian, bahwa jangan-jangan secara tidak sadar, orang yang tidak memiliki jati diri terperangkap dalam paham materialisme sebagaimana ilmuan evolusi memahami kehidupan. Bagi mereka, kehidupan adalah sebuah kebetulan tanpa maksud dan tujuan. Jika demikian keadaannya, bahwa hidup tidak punya tujuan, maka kita telah menjatuhkan derajat kemanusiaan menjadi setara dengan derajat hewan. Jika manusia disetarakan dengan hewan, lalu apa gunanya taqwa dalam kehidupan. Atau lebih jauh lagi, jika taqwa dianggap tidak penting, lalu bagaimana dengan ayat-ayat al-Quran yang berbicara tentang taqwa.
Mengapa hewan? sebab hewan tidak punya jati diri. Karena itu, al-Quran banyak mencela manusia yang senang berbuat jahat dengan sebutan hewan (Qs. Al-A’raf [7]:179). Sementara itu, para penganut materialisme menjadikan hewan sebagai landasan dalam menghasilkan teori-teori ilmu pengetahuan. Misalnya Freud, melalui aliran psikoanalisa yang dibangunnya, mencirikan perilaku manusia sebagai upaya memenuhi hasrat seksual. Karenanya, psikolog-psikolog setelahnya banyak mengkritik pandangan Freud ini karena menjatuhkan martabat manusia menjadi hewan. Darwin, melalui teori evolusi yang dikembangkannya, sangat yakin bahwa secara ilmiah manusia berasal dari kera. Lagi-lagi manusia adalah hewan. Karl Max, dengan gagasannya, masyarakat tanpa kelas, menginginkan agar hidup harus dijalani dengan kebebasan tanpa terikat oleh aturan keagamaan sebagaimana hewan hidup alami tanpa campur tangan agama.
Sudut pandang ketiga dari akhlak adalah aspek pandangan hidup. Orang bertaqwa memiliki pandangan hidup yang jelas, visinya jelas, arahnya jelas, yaitu akhirat. Bersama dengan mental dan jati diri, pandangan hidup seseorang juga mempengaruhi cara bersikap dan berperilaku. Pandangan hidup ibarat sorotan cahaya yang menuntun ke arah sesuatu yang dituju. Demikian halnya, taqwa sebagai daya gerak akan mengarahkan gerak geriknya menuju akhirat. Jika dia politikus, maka aktifitas politiknya berorientasi akhirat. Jika dia adalah hakim, maka segala aktifitas kehakimannya berorientasi pada akhirat. Jika dia pejabat negara, maka segala aktifitas pemerintahannya diarahkan menuju akhirat.
Persoalannya kemudian adalah ada apa di akhirat ? Adakah akhirat itu akhir dari kehidupan, atau sekedar tempat peristirahatan terakhir, atau justeru sesuatu yang penuh misteri. Bagi orang yang terpengaruh pandangan materialisme seperti ilmuan biologi evolusionis -yang menganggap bahwa gerak kehidupan adalah alami tanpa tujuan-, maka tentu ia menganggap akhirat itu fiktif. Sedangkan bagi orang yang bertaqwa, baginya akhirat itu adalah kehidupan nyata. Yang membedakannya dengan dunia adalah bahwa dunia terikat dengan hukum gerak, sedang akhirat adalah hasil dari gerak. Karenanya berlaku rumus; dunia= akhirat. Artinya, pandangan hidup menjadi penghubung antara dunia dan akhirat.
Perintah Bertaubat
Teks hadits di atas menggunakan istilah hasanah, yang umumnya diartikan kebaikan. Namun merujuk pada pandangan Ibnu Al-Jauzi dalam Nuzhatul A’yun An-Nawadzir fi ‘Ilmi al-Wujuh wa Nadza’ir, Al-Quran selalu menampilkan kedua kata ini (al-hasanah dan as-sayyi’ah) secara bersamaan, dengan pengertian yang berlawanan. Sehingga, jika as-sayyi’ah dipahami sebagai perbuatan dosa, maka kebalikannya adalah ampunan. Sementara ampunan hanya dapat diraih dengan taubat. Kata taubat sendiri berasal dari kata taaba-yatubu-taubatan, yang berarti, penyesalan. Maka, sesuai arti dasarnya, taubat adalah keadaan jiwa yang mengakui kesalahan dan bersumpah untuk tidak mengulanginya. Pada saat jiwa bersumpah untuk tidak mengulangi perbuatan buruk, saat itulah dinamai hasanah, yang kemudian mengundang hasanah berikutnya, yaitu ampunan Allah SWT.
Nabi Saw menegaskan bahwa kehidupan dipenuhi tarik menarik antara daya hasanah yang timbul dari taqwa dan daya sayyi’ah yang muncul dari fujur (Qs. As-Syams [91]:8). Allah SWT Maha Mengetahui keadaan hamba-Nya dengan menyiapkan alternatif saat manusia melenceng dari prinsip hidup yang digariskan oleh-Nya, yaitu taubat. Taubat adalah bentuk kasih sayang Khalik karena menyadari sisi-sisi kelemahan ciptaan-Nya, yaitu rentan pada bisikan jahat. Dengan kata lain, taubat adalah manifestasi dari sifat Allah yang Maha Rahman dan Maha Rahim.
Berbeda dengan Islam yang memandang taubat sebagai bentuk kemurahan Allah SWT, teolog Kristen seperti Holmes Roston misal dalam bukunya, Science and Religion, menilai kemurahan Tuhan justeru saat dimana Dia memberi kebebasan pada organisme makhluk hidup untuk berevolusi. Menurutnya, kemurahan Tuhan identik dengan kebebasan makhluk hidup untuk berevolusi dari satu bentuk ke bentuk yang lain, seperti sebuah materi berubah menjadi ikan, lalu berubah menjadi hewan melata, berikutnya berkembang menjadi hewan yang berjalan dengan empat kaki, lalu sebagian bisa terbang, dan sebagian berjalan tegak. Bagi umat Islam yang dibimbing wahyu, kita tetap pada pendirian bahwa Allah SWT menunjukkan bentuk kemurahan-Nya dalam ajaran taubat. Karena dalam taubat, bertemu kemurahan Allah SWT dan kerendahan hati manusia.
Taubat dalam hadits di atas diistilahkan dengan hasanah, karena dalam taubat berkumpul antara kebaikan Tuhan dan kebaikan hamba-Nya. Melalui taubat, seorang hamba mengaku salah lalu memohon ampunan kepada Allah SWT. Sedang Allah SWT menampakkan kemurahan-Nya dengan kesediaan memaafkan hamba yang berdosa. Taubat mempertemukan sifat Allah Yang Pemaaf dan ketulusan hati manusia untuk bertaubat. Tabiat manusia yang lurus akan merasa bersalah pada dua situasi, yaitu saat meninggalkan kewajibannya dan saat melanggar larangan Tuhannya. Oleh karena itu, baik saat meninggalkan kewajiban ataupun ketika melanggar larangan, solusi terbaiknya adalah bertaubat.
Perintah Berakhlak
Menarik memang hadits Nabi Saw di atas, awalnya adalah taqwa dan akhirnya adalah akhlak. Bahkan jika kita amati, agama itu pada dasarnya adalah akhlak yang baik. Aqidah sebagai bagian pokok dalam Islam juga terkait dengan akhlak. Demikian halnya bangunan syariat Islam juga adalah akhlak. Sampai Nabi Saw pernah membuat pernyataan tentang tolak ukur seseorang dikatakan baik, yaitu mereka yang berakhlak (HR. Al-Bukhari).
Melalui pintu taqwa, seorang hamba menempuh jalur khusus menuju Tuhan. Lewat taubat, Allah SWT menjemput hamba-Nya pada titik di mana hamba itu berlari menuju-Nya. Sedang akhlak adalah tuntunan bergaul dengan sesama hamba (manusia dan alam) dalam rangka membawa misi ilahi, yaitu memakmurkan kehidupan. Dalam hadits di atas, perintah yang ditampilkan sangat jelas, wa khaliq an-nasa bi–khuluqin hasanin, dan bergaulah kalian dengan akhlak yang baik, agar tercipta kehidupan yang baik pula.
Akhlak yang seakar dengan kata khalaqa, yang bentuk pelakunya (isim fa’il) dinamai khaliq, memberi isyarat bahwa hendaknya manusia berperilaku sebagaimana sifat-sifat sang Khaliq, seperti Maha Penyantun, Maha Pemaaf, Maha Pemberi, tentu dalam kapasitas manusia sebagai makhluk, yang tidak mungkin setara dengan Khaliq. Di antara makna yang dikandung kata khalaqa lainnya adalah at-tashwir (membentuk), an-nuthqu (berbicara), al-kidzbu (dusta), al-bana’ (membangun), al-maut (kematian), dan ad-din (agama). Semua arti dari kata khalaqa tersebut bermuara pada dua kutub yang berlawanan, yaitu ada yang baik dan ada pula yang buruk.
Teks dalam riwayat ini begitu jelas, menyandingkan kata akhlak dengan kata hasan, bi khuluqin hasanin. Artinya jelas, akhlak ada yang baik (mahmudah) dan ada pula yang buruk (mazmumah). Pada saat yang sama manusia memiliki potensi keduanya, bisa berakhlak baik dan bisa pula berakhlak buruk. Karena itu, Nabi Saw menekankan agar manusia mengedepankan akhlak yang baik dalam pergaulan. Pada ranah yang lebih luas, pergaulan tidak hanya mencakup antar keluarga, antar teman, dan antar tetangga, tetapi juga masyarakat secara luas, maka muncul istilah akhlak bermasyarakat, akhlak bersosial media, hingga akhlak bernegara. Bahkan akhlak juga mencakup sikap dan cara pandang kita terhadap alam dan ligkungan,
Belajar pada sejarah kehancuran bangsa-bangsa besar, selalu diawali dengan kemorosatan mental dan akhlak. Pada tahun 1880 M, Jamaluddin Al-Afghani , dalam rangka menjelaskan tentang bahaya paham materialisme yang menurutnya dapat merusak akhlak, menulis sebuah risalah yang dikemudian hari menjadi buku dengan judul, Radd ‘ala Dahriyyin, bantahan terhadap paham materialisme. Teks aslinya berbahasa Persia lalu kemudian dialih-bahasakan oleh muridnya, Muhammad Abduh, ke dalam bahasa Arab. Sesuai judulnya, Al-Afghani berusaha menjelaskan hakikat paham materialisme yang ingin menyingkirkan Tuhan dari kehidupan, termasuk semua hal yang barkaitan dengan Tuhan, termasuk agama.
Paham materialisme yang menimbulkan rusaknya akhlak masyarakat adalah akar kehancuran suatu bangsa. Di mulai dari Yunani, Persia, Perancis, demikian halnya dengan kebesaran Dinasti Umawi, semuanya runtuh berawal dari rusaknya akhlak di kalangan bangsa tersebut. Pandangan Al-Afghani di akhir abad ke 19 tersebut, dipertegas kembali oleh Abdul Halim Uwais di akhir abad ke 20 (seorang pakar sejarah yang fokus mendalami sebab-sebab keruntuhan daulah Islam) dalam karyanya, Dirasah Li-sukuthi Salatsina Daulah al-Islami, menjelaskan bahwa kemorosatan akhlak adalah penyebab utama mundur dan hancurnya suatu bangsa.
Materialisme ingin menyingkirkan peran Tuhan dari kehidupan, maka lahirlah jargon-jargon pendukung paham tersebut seperti, agama adalah candu, Tuhan telah mati, dan alam semesta bukanlah ciptaan Tuhan, melainkan hasil evolusi. Dalam konteks bernegara, sering kita dengar ungkapan, jangan mencampur aduk antara agama dan negara. Semua jargon-jargon tersebut menginginkan agar hidup didasarkan pada hedonisme saja, apa yang menyenangkan itulah hidup. Akhirnya, dampak yang ditimbulkan dari materialisme itu adalah runtuhnya kepribadian Ilahi dalam masyarakat, dari berani menyuarakan kebenaran berubah menjadi pengecut, jujur berganti khianat, malu disingkirkan oleh egois, semua orang memikirkan dirinya saja tanpa perduli dengan orang lain. Jika kerusakan pribadi (syakhsiyah) telah menyebar sehingga kemudian melahirkan masyarakat yang sakit, maka besar kemungkinan umat akan rusak.
Persoalan berikutnya adalah, dari mana akhlak yang baik itu muncul ? seolah melengkapi pandangan Al-Afghani di atas, Muhammad Naquib Al-Attas, seorang pemikir besar muslim abad 20, di tahun 1976 pernah mengatakan, bahwa problem terberat umat Islam saat ini bukan persoalan kemiskinan (ekonomi), kebodohan (pendidikan), perpecahan (politik), dan kesenian, melainkan problem keilmuan. Tetapi bukan sekedar kejahilan, melainkan kekeliruan tentang tujuan ilmu pengetahuan. Oleh karena itu, ia membuat gagasan tentang Islamisasi ilmu pengetahuan dengan mengeluarkan semua unsur-unsur worldview (cara pandang terhadap kehidupan) Barat dari bangunan ilmu pengetahuan. Sehingga dari perbaikan terhadap ilmu akan melahirkan perbaikan terhadap akhlak.
Hubungan antara ilmu dan akhlak, dipahami bahwa kehidupan manusia tidak lepas dari baik dan buruk, konsep baik dan buruk sumbernya dari Tuhan melalui teks Al-Quran dan hadits Nabi Saw sebagai konsep dasar yang kemudian melahirkan konsep ilmu. Ilmu itu sendiri mengandung nilai, nilai inilah yang kemudian melahirkan perilaku. Perilaku seseorang tidak jauh dari apa yang diyakininya, di sinilah bertemu dengan akhlak. Akhlak adalah perpaduan antara iman dan ilmu yang benar. Berbeda dengan konsep nilai dalam pandangan Barat, yaitu human conception. Ukuran baik dan buruk tergantung pada kesepakatan manusia. Wallahu A’lam bi–shawab
Asrul Jamaluddin, Alumni Pendidikan Ulama Tarjih Muhammadiyah Yogyakarta dan Mahasiswa Doktoral Universitas Darussalam Gontor
Sumber: Majalah SM No 19-21 Tahun 2018