Puasa, Momentum Merasakan Kehadiran Tuhan
Oleh Bahrus Surur-Iyunk
Sebagaimana disebutkan dalam Al-Quran surat Al-Baqarah ayat 183, puasa itu (seharusnya) berujung pada tujuan la’allakum tattaqun. Supaya kamu bertakwa. Hampir semua orang sepakat bahwa tujuan berpuasa itu bertakwa, meskipun tidak semua setuju jika puasa itu menjadikan seseorang itu bertakwa atau muttaqin.
Bertakwa secara sederhana sering dimaknai dengan menjalankan perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya. Takwa adalah tempat bermuaranya seluruh kebaikan. Kebaikan itu akan terus berjalan dan dijalankan oleh seseorang manaka ia memiliki kesadaran akan hadirnya Tuhan dalam kehidupannya. Yaitu, sebuah kesadaran yang mengantarkan seseorang untuk merasakan hadirnya Tuhan. Allah bukan hanya melihat, tapi juga mengetahui seluruh apa dikerjakan manusia. Sebuah kesadaran bahwa Allah Maha Hadir dan selalu menyertai semua orang di mana saja, kapan saja dan dalam kondisi bagaimanapun. Dia Maha Memperhitungkan amal perbuatan.
Ada sebuah kisah terkenal dan menarik yang bisa menggambarkan bagaimana kesadaran kehadiran Tuhan itu ada dalam diri manusia. Kisah ini berawal dari salah satu kebiasaan khalifah Umar ibn al-Khattab yang suka berjalan-jalan ke perkampungan untuk melihat keadaan rakyatnya. Hingga pada suatu malam menjelang fajar, Al-Faruq menyandarkan tubuhnya di pojok rumah warganya sejenak menghilangkan keletihan. Tiba-tiba, ia mendengar suara seorang wanita berkata kepada putrinya, “ Anakku, campurlah susu itu dengan air sebelum subuh datang.”
Gadis itu menjawabnya, “Wahai ibuku! Tidakkah engkau mengetahui apa yang diserukan Amirul Mukminin Umar ibn al-Khattab?”
Wanita itu berkata, “Apa yang ia serukan, wahai putriku?”
“Dia memerintahkan penyerunya untuk mengingatkan, ‘Jangan (mencampur) susu yang hendak dijual dengan air!’” jawab putrinya.
Wanita itu berkata, “Sudahlah, campurlah susu itu dengan air dan aduklah. Sesungguhnya engkau berada di sebuah tempat yang kamu tidak akan dilihat oleh Umar, dan tidak pula penyeru Umar.”
Dengan tangkas gadis itu menyahut, “Wahai ibuku! Jika Umar tidak tahu, maka sungguh, Tuhan Umar mengetahui. Demi Allah! Aku tidak akan mematuhi-Nya di depan umum lalu mendurhakai-Nya di kala sendiri.”
Pagi harinya, Umar yang mendengar percakapan wanita dan putrinya itu berkata kepada putranya, Ashim. “Wahai Ashim, pergilah ke tempat ini, sesungguhnya di sana terdapat seorang gadis. Jika engkau mau dan ia tidak sibuk, nikahilah dia. Semoga Allah menganugerahimu kelembutan dan kejujuran yang diberkahi darinya.”
Ashim pun akhirnya menikahi gadis itu dan memberinya seorang anak perempuan bernama Ummu Ashim. Ummu Ashim ini kemudian dinikahi oleh Abdul Aziz bin Marwan. Dari pasangan ini lahirlah seorang anak bernama Umar bin Abdul Aziz, yang kelak menjadi khalifah adil, jujur dan membawa masa keemasan kekhalifahan Bani Umayyah di Damaskus.
Bukan hanya pelajaran pertimbangan agama dalam memilihkan jodoh untuk anaknya. Umar bin al-Khaththab memilih putri wanita penjual susu sebagai istri bagi anaknya, Ashim. Ia tidak memandang keturunan, harta dan kedudukan calon menantunya.
Lebih dari itu, bagaimana merasakan kehadiran Tuhan dalam kehidupan sehari-hari, sebagaimana yang dirasakan gadis pilihan Umar untuk puteranya. Iman gadis itu telah mengantarkan pada satu keyakinan bahwa ia selalu merasa diawasi oleh Tuhannya saat sendiri atau orang lain mengitari. Rupanya, keimanan mendorong seseorang untuk “melihat” dan merasakan kedekatan dengan Tuhannya. Gadis itu telah mencapai tingkatan Ihsan, “Beribadahlah kepada Allah seakan-akan engkau melihat Allah. Jika engkau tidak bisa melihat-Nya, maka yakinlah bahwa Dia pasti melihatmu.” (HR. Muslim)
Sang gadis penjual susu itu rupanya menyadari betul keberadaan Tuhannya. Tuhan memang tidak pernah terlihat secara kasat mata di depan manusia. Tetapi, sebagaimana keyakinan seorang yang beriman kepada Allah, bahwa Allah itu ada. Ada-Nya meliputi segala sesuatu. Allah itu Esa, namun Ada di mana-mana.
Beribadah (an ta’buda) itu bukan hanya ketika seseorang menjalankan shalat, zakat, puasa dan haji, namun mencakup seluruh aktivitas seseorang sebagai hamba Allah. Kesadaran beribadah (ta’abbudi) itu sebagaimana di sinyalir Allah dalam QS. Al-Hadid: 4, “Dialah yang menciptakan langit dan bumi dalam enam masa: kemudian Dia bersemayam di atas ´arsy Dia mengetahui apa yang masuk ke dalam bumi dan apa yang keluar daripadanya dan apa yang turun dari langit dan apa yang naik kepada-Nya. dan Dia bersama kamu di mama saja kamu berada. dan Allah Maha melihat apa yang kamu kerjakan.”
Begitulah semestinya yang tumbuh dalam jiwa orang yang berpuasa. Ia menyadari betapa Allah melihat dan mengetahui apa yang kita lakukan. Sesungguhnya kesadaran akan hadirnya Tuhan dalam kehidupan sudah muncul dala diri orang yang berpuasa. Buktinya, ia tidak berani makan atau minum di kala dia sendirian di rumah atau kamar. Ia mampu menahan diri dan sadar bahwa Allah pasti melihatnya. Jika kemudian ada yang “mencuri” makan dan minum, maka ia masih belum merasakan dan menyadari kehadiran Tuhan dalam diri dan kehidupannya.
Pertanyaannya, mengapa kesadaran itu kadang hanya tumbuh pada saat puasa, sementara dalam kehidupan sehari-hari kita sering lalai dan tidak menyadari kehadiran-Nya? Maka, hal ini mesti dikembalikan pada diri kita masing-masing. Jangan-jangan secara diam-diam banyak di antara kita yang membedakan antara urusan dunia dan urusan agama. Saleh di masjid, salah di kantor dan pasar. Beriman dan menjadi hamba Allah selama bulan Ramadhan, tapi kembali jalan setan di luar Ramadhan.
Selain itu, kita ini seringkali memaknai ibadah mahdhah seperti shalat, puasa dan haji itu hanya pada sisi lahiriah ritualnya saja. Beribadah sekedar menyelamatkan diri dan “menyenangkan” Tuhan, agar Tuhan tidak marah dan melakukan pemutihan atas dosa-dosa (social) kita. Tuhan dibayangkan seperti sosok yang suka marah, kejam, serem.
Puasa memang sebuah kewajiban dari Allah. tetapi, Allah memerintahkannya bukannya tanpa target muara etis. Puasa jelas memiliki nilai etis-humanistik-horisontal. Artinya, puasa itu memiliki kebenaran universal yang bisa membebaskan diri dari jeratan kepentingan duniawi yang telah memenjarakan dan menjauhkan manusia dari pusat pemilik hidup, Allah Yang Maha Hidup.
Semoga Ramadhan yang merupakan madrasah ruhaniah pembentuk karakter Islami dalam diri seseorang bisa menjadi kawah candradimuka penyucian diri dan peningkatan keimanan dan takwa di bulan-bulan berikutnya. Aamiin.. Wallahu a’lamu.
Bahrus Surur-Iyunk, penulis buku motivasi Islam, Wakil Ketua PD Muhamamdiyah Sumenep Madura.