3 Pantangan Penuntut Ilmu
Ketika seseorang menginginkan agar dirinya memperoleh kesehatan yang baik, maka setidaknya terdapat tiga hal yang harus ia jaga, yakni pola makan, pola pikir dan menghindari setiap pantangan-pantangan seiring bertambahnya usia juga kondisi tubuh yang berubah-ubah. Demikian pula dengan seorang dokter yang sedang memberikan saran kepada pasien untuk kesembuhannya, maka seorang dokter yang menempuh perkuliahan selama 7 tahun tersebut akan menyederhanakan apa yang ia pahami agar seorang pasien dapat menangkap dengan baik, yakni hanya dengan menjaga pola makan, pola pikir dan menghindari pantangan. Hal sederhana tersebut adalah sama dengan penuntut ilmu.
Ketika seseorang ingin menuntut ilmu, maka sudah sepantasnya ia mendalami terlebih dahulu apa yang harus ada pada diri seorang thalibul ‘ilmi, yakni menjaga hati, menjaga pola pikir, juga menghindari setiap pantangan-pantangan yang menyebabkan ilmu seseorang itu dapat hilang atau berantakan. Oleh karena itu, ketika selayaknya seseorang menjaga kesehatannya dengan berbagai macam cara, maka begitu pula dengan seorang penuntut ilmu. Tujuannya supaya ilmu yang diperoleh dapat sesuai target dan tentunya mendapat ridha Allah hingga mampu mendatangkan kebaikan. Karena sejatinya, ilmu bukan hanya tentang sesuatu yang harus dihafal dan bukan pula tentang doa-doa yang harus dibaca, melainkan tentang segala pantangan juga larangan yang harus ditinggalkan.
Hakikat dari sebuah ilmu adalah ketakwaan, dan ini merupakan modal utama yang harus dimiliki oleh seorang penuntut ilmu, sebagaimana kaidah yang dikutip dalam satu ayat di QS. al-Baqarah ‘wattaqullah wa yu’allimukumullah’ yang berarti bertakwalah kamu sekalian kepada Allah maka Allah lah yang akan mengajari kamu. Dari ayat tersebut dapat dipahami bahwa pondasi seorang penuntut ilmu adalah takwa, ketika penuntut ilmu tersebut tidak berupaya untuk menjaga ketakwaannya kepada Allah swt, maka ilmu yang ia cari dan peroleh tidak akan mencapai puncak keberkahan dari Allah swt. Seperti halnya thalibul ‘ilmi yang sudah lama menuntut ilmu, akan tetapi hafalan al-Qur’an dan hadisnya tidak bertambah banyak, begitu pula dengan pemahamannya yang terkadang ia pun meragukannya, ataupun kualitas hidup yang hanya begitu-begitu saja, maka hal tersebut disebabkan kemaksiatan yang lebih mendominasi daripada ketakwaannya.
Pada kehidupan penuntut ilmu, ada beberapa pantangan yang harus ditinggalkan. Mengutip dari buku Hilya Thalibil ‘Ilmi karangan Syaikh Bakr bin Abdullah Abu Zaid, di antaranya ada empat hal; pertama, jangan menjadi ahli asy-syibri (orang yang sombong dengan ilmunya). Terdapat tiga tingkatan ilmu, pertama ialah orang yang takabur (sombong) dengan ilmunya, kedua merasa tawadhu (rendah hati) dan tingkatan ketiga adalah merasa tidak memiliki apa-apa terhadap ilmu yang diperoleh. Kesombongan karena ilmu ini sebagaimana dikatakan Ibnu al-Qayyim merupakan jenis kesombongan yang lebih parah dari sombong karena harta dan jabatan.
Karena sifat kesombongan ini tidak kasat mata dan mempengaruhi diterima atau tidaknya kualitas amal seseorang. Sehingga cara untuk menghindari hal tersebut adalah dengan meyakini bahwa ilmu yang dimiliki adalah semata-mata bentuk pertolongan Allah yang seharusnya membuat ia lebih bersyukur bukan merasa lebih hebat, terus berproses dalam menuntut ilmu tanpa harus mencela atau merendahkan orang yang berbeda pendapat dengannya (mengedapankan sikap menghormati & toleransi) dan tidak memilih teman yang memiliki sifat sombong terhadap ilmunya, sebab su`u al-khulqi yu`ti (penyakit buruk itu menular).
Pantangan kedua ialah jangan selalu memproklamirkan ilmu yang diperoleh. Dalam hal ini tidak berarti seseorang menyembunyikan ilmunya, akan tetapi ketika ia mendapatkan ilmu yang baru dari seorang guru atau ‘alim, maka tidak pantas baginya untuk memberitahukan ke orang-orang bahwa ia baru saja mendapatkan ilmu tersebut. Poin ini sangat berkaitan dengan poin yang pertama. Pantangan ketiga adalah jangan bersikap seperti babi dan lalat, yang hanya mencari dan melihat kesalahan pihak lain tanpa memperhatikan kebaikannya.
Adapun hal terakhir yang harus dilakukan seorang penuntut ilmu adalah bersikap adil terhadap kesalahan ulama atau seseorang yang menyampaikan ilmu. Yang biasa terjadi dalam diri seorang penuntut ilmu adalah merasa dirinya paling benar sehingga kesalahan yang mungkin tidak sengaja dilakukan oleh gurunya membuatnya merasa pantas untuk menghakimi kesalahan tersebut. Oleh karena itu, sikap yang baik terhadap seorang guru adalah menghormati setiap perkataan juga perbuatannya, jika menemukan satu kesalahan yang ada padanya, hendaknya memberitahukannya dengan cara yang baik dan tutur kata yang lemah lembut, karena keberkahan yang Allah swt berikan kepada penuntut ilmu salah satunya adalah berasal dari gurunya.
Demikian pantangan-pantangan yang sejatinya harus dihindari oleh seorang penuntut ilmu demi menjaga keberkahan ilmunya.
Raisya Siregar & Fithri Istiqomah, Mahasiswa Pendidikan Ulama Tarjih Muhammadiyah