Bukhara, Kotanya Imam Bukhari dan Ibnu Sina
Oleh: Azhar Rasyid
Seorang filsuf bernama George Gurjieff suatu saat pernah mengatakan: “Jika Anda benar-benar ingin menemukan rahasia-rahasia Islam, Anda akan menemukannya di Bukhara”. Ia tentu tidak sekedar berucap saja. Kota Bukhara (dalam bahasa Uzbek: Buxoro, dan dalam bahasa Persia: Bukhara yi-Sharif atau Bukhara yang Mulia) yang berjarak sekitar 300 km dari ibukota Uzbekistan, Tashkent, merupakan salah satu kota yang paling terkenal dalam sejarah Islam.
Di masa keemasan Islam, kota ini, seperti layaknya Baghdad, adalah salah satu pusat intelektual di dunia Islam. Kota ini menghasilkan dua orang sosok terkemuka: Ibnu Sina, ahli kedokteran Muslim yang karyanya dijadikan sebagai rujukan di dunia medis, dan Imam Bukhari, sosok yang dikenal sebagai pengumpul hadis Nabi Muhammad SAW. Berbagai masjid dan sekolah agama berumur ratusan tahun di kota ini menjadi saksi bahwa pendidikan Islam pernah mencapai level yang tinggi di masa lalu.
Kota ini sudah dihuni manusia sejak sebelum zaman Masehi. Pertanian adalah bidang pekerjaan utama penduduknya di masa-masa awal. Dalam perkembangan selanjutnya, kota ini terkoneksi dalam jaringan perdagangan regional, khususnya dengan Cina. Para sejarawan sepakat bahwa kota ini mengalami kemajuan pesat setelah orang-orang Arab-Muslim menguasai kota ini pada awal abad ke-8 M. Penduduknya berpindah ke Islam.
Prosesnya tidak mudah karena sebagian dari mereka, walau sudah menganut Islam, tetap mengikuti keyakinan lamanya, yakni menyembah berhala. Orang-orang Arab-Muslim berupaya keras agar kepercayaan lama ini bisa dihilangkan. Salah satu institusi awal yang didirikan penguasa Arab-Muslim di kota ini ialah masjid, yang kemudian berkembang menjadi sekolah-sekolah agama atau madrasah.
Setelah sempat berada di bawah kekuasaan Dinasti Abbasiyah, kota ini diambil alih oleh dinasti beraliran Sunni asal Persia, Samaniyah, pada awal abad ke-9 M. Bukhara dijadikan ibu kota Dinasti Samaniyah. Penduduknya beragam, mulai dari orang Arab, Persia, Turk hingga Yahudi. Perdagangan berkembang pesat dengan Bukhara mengekspor berbagai komoditas ke luar negeri, mulai dari lampu tembaga hingga kulit domba.
Secara fisik, arsitektur dan tata kota di Bukhara juga mengalami perkembangan. Kota Bukhara tergolong besar untuk zamannya. Di sana dibangun istana, masjid dengan berbagai ukuran, pasar serta lapangan dan taman. Untuk perlindungan dari serbuan asing, kota ini dilengkapi benteng dan dikelilingi oleh dinding ganda. Beberapa gerbang disediakan untuk akses keluar dan masuk warganya. Istana dan masjid didirikan dengan arsitektur yang indah.
Kanal air dibangun untuk menyuplai kebutuhan air warga kota dan penghuni istana. Keindahan arsitektur kota Bukhara di Abad Pertengahan membuatnya dijuluki sebagai “Kubah Islam di Timur”. Sebagian di antara bangunan ini masih eksis hingga kini—oleh UNESCO diakui sebagai Situs Warisan Dunia—dan dijadikan sebagai tujuan wisata serta obyek penelitian arkeologis.
Di tengah denyut perkembangan tersebut Bukhara mulai menunjukkan kontribusinya pada ilmu pengetahuan. Perpustakaan istana di kota ini menyimpan banyak koleksi buku berharga yang dimanfaatkan oleh para ilmuwan setempat. Ada tiga sosok ilmuwan yang dilahirkan oleh dunia intelektual di kota ini. Pertama, ahli kedokteran Ibnu Sina (980-1037 M).
Ia menguasai berbagai macam cabang ilmu, mulai dari matematika, astronomi hingga teologi dan kedokteran. Di bidang yang disebut belakangan inilah ia paling dikenal. Ia pernah mengobati penguasa Samaniyah saat para ahli medis lain tak mampu melakukannya. Sebagai hadiahnya, ia diberi penghargaan besar, termasuk akses terhadap perpustakaan istana yang menyimpan berbagai manuskrip langka.
Kedua, Imam Bukhari. Lahir pada tahun 810 M di Bukhara, Imam Bukhari kecil dikenal sebagai murid yang punya ingatan sangat kuat. Saat masih remaja ia naik haji ke Mekah, baik untuk menunaikan rukun Islam kelima maupun untuk menimba ilmu pada para ulama Hijaz. Pencariannya akan ilmu hadis membawanya tidak hanya ke Mekah dan Madinah, tapi juga hingga ke Mesir dan Irak. Ia tak hanya mengumpulkan hadis, tapi membangun metode untuk menentukan terpercaya tidaknya suatu hadis. Ia membutuhkan waktu hingga 16 tahun untuk mengumpulkan 600.000 hadis yang kemudian ia seleksi dan ia kompilasikan dalam karya monumentalnya, Sahih.
Ketiga, sejarawan asal Desa Narshak, Bukhara, yang bernama Abu Bakr Narshaki (899-959 M). Karyanya yang paling terkenal adalah Tarikh-i Bukhara (Sejarah Bukhara), sebuah buku yang ditulis sebagai hadiah bagi penguasa Samaniyah. Buku ini memperlakukan sejarah kota itu dengan berbeda.
Lebih Dekat dengan Bukhara
Bila sejarah kota di masa itu umumnya hanya mengkisahkan soal tokoh-tokoh agama terkemuka di kota itu, Narshaki memberi lebih banyak perhatian pada topografi kota itu, komposisi penduduknya, bagaimana kota itu tumbuh dan posisi Islam di sana. Bukunya ini menjadi referensi pokok para sejarawan sesudahnya, bahkan hingga kini, dalam memahami bentang alam, masyarakat, institusi sosial-politik serta bangunan publik di Bukhara pada masa silam.
Semua kemajuan ekonomi dan intelektual itu berakhir dengan serbuan bangsa Mongol di bawah komando Genghis Khan pada tahun 1220 M. Penduduknya dibunuh dan kotanya dihancurkan. Bukhara masuk ke masa gelapnya. Namun, kota ini kembali bangkit di abad ke-16 saat berada di bawah Dinasti Shaybaniyya.
Kala itu, perhatian banyak dicurahkan pada pendidikan anak dan remaja yang dibuat lebih terstruktur. Dunia ilmu pengetahuan dan sastra kembali menggeliat. Ini menarik minat para murid yang berasal dari luar Bukhara, seperti Khiva dan Samarkand, untuk belajar di sana. Bukhara pun kembali mendapatkan reputasinya sebagai pusat keilmuan Islam di Asia Tengah.
Azhar Rasyid, Penilik sejarah Islam
Sumber: Majalah SM Edisi 23 Tahun 2017