Ramadhan, Upaya Transformasi Diri di Balik Jeruji Besi

Ramadhan, Upaya Transformasi Diri di Balik Jeruji Besi

Oleh: Royyan Mahmuda Daulay

Berbuka puasa adalah salah satu waktu yang sering ditunggu oleh banyak muslim di bulan ramadhan. Pasalnya momentum berbuka merupakan kenikmatan tiada tara bagi orang yang berpuasa. Segelas air putih biasa mampu melegakan dahaga setelah seharian berpuasa. Padahal saat hari biasa itu merupakan hal sederhana pada umumnya.

Belum lagi lezatnya makanan saat mengisi perut yang telah kosong seharian. Tentu itu keistimewaan yang hanya bisa dirasakan dengan berpuasa. Namun nyatanya ada banyak manusia berpuasa tidak bisa mendapatkan nikmatnya berbuka. Entah karena alasan tidak rela menjalankan puasa, keterbatasan biaya untuk berbuka hingga kondisi yang tidak memungkinkan akibat di dalam penjara.

Sebagai seorang pegawai penjara saya seringkali melihat kesedihan narapidana saat menjalankan ibadah puasa. Padahal momentum ramadhan adalah salah satu faktor yang menyebabkan mereka mendapatkan remisi (potongan masa pidana). Alasannya sangat sederhana, tetapi membuat menderita, yaitu rindu keluarga, terutama saat berbuka.

Rindu akan hadirnya senyuman istri dengan membawa segelas es teh kesukaannya. Kangen hangatnya tawa renyah anak-anaknya. Dan segudang relung kenangan kehidupan saat dia dalam kebebasan.

Tidak sedikit narapidana yang menganggap bahwa jeruji besi adalah jalan untuk menjernihkan diri dari duri-duri kehidupan. Penyesalan itu pasti, apalagi di bulan penuh berkah seperti ini. Namun, yang terpenting dari semua itu adalah sistem yang mampu membangun refleksi diri sekaligus motivasi bagi para penghuni di balik jeruji besi agar mau membenahi diri.

Sistem Pendukung

Untungnya, Bangsa Indonesia telah mencoba untuk menangani narapidana di penjara dengan pendekatan-pendekatan kemanusiaan yang mementingkan pemulihan bukan sekadar penjeraan. Hadirnya gagasan pemasyarakatan pada 27 April 1964 membawa perubahan besar dalam menangani manusia-manusia yang telah dinyatakan oleh hukum bersalah dan dilabeli stigma jahat oleh sebagian masyarakat.
Hal ini bukanlah perkara mudah, mengingat budaya masyarakat hingga saat ini masih memandang bahwa pelaku kejahatan haruslah di balas agar mendapatkan penjeraan.

Padahal di satu sisi kejahatan lahir karena keanekaragaman sebab. Salah satu yang paling fundamental, sebagai mana yang disampaikan dalam banyak teori psikologi tentang kriminalitas atau kejahatan. Ada hubungan antara delinquent dan perilaku criminal dengan suatu “conscience” (hati nurani) yang baik, dia begitu kuat sehingga menimbulkan perasaan bersalah atau ia begitu lemah sehingga tidak dapat mengontrol dorongan-dorongan dirinya bagi suatu kebutuhan yang harus dipenuhi segera.

Sigmund Freud, penemu dari psychoanalysis, berpendapat bahwa kriminalitas mungkin hasil dari “an overactive conscience” yang menghasilkan perasaan bersalah yang tidak tertahankan untuk melakukan kejahatan dengan tujuan agar ditangkap dan dihukum. Begitu dihukum maka perasaan bersalah mereka berada.

Pendekatan psikoanalisis masih tetap menonjol dalam menjelaskan baik fungsi normal maupun asosial. Tiga prinsip dasar psikoanalisis yang menarik banyak kalangan psikolog untuk mempelajari teori penyeban kejahatan ini, yaitu :

  1. Tindakan dan tingkah laku orang dewasa dapat dipahami dengan melihat pada perkembangan masa kanak-kanak mereka.
  2. Tingkah laku dan motif-motif bawah sadar adalah jalin-menjalin, dan interaksi itu mesti diuraikan bila kita ingin mengerti kejahatan.
  3. Kejahatan pada dasarnya merupakan representasi dari konflik
    psikologis.

Artinya ada relasi antara kejahatan dengan psikolog setiap orang. Entah akibat dari pengalaman di masa lalu, doktrin-doktrin sejak kecil atau bahkan akibat manajemen emosi yang salah kaprah. Sehingga penjeraan bukanlah solusi untuk menyelesaikan kejahatan dalam perspektif ini.

Perlu ada upaya restorasi agar pelaku kejahatan dapat pulih kembali menjadi manusia yang utuh. Dan gagasan pemasyarakatan menawarkan hal demikian dalam sebuah sistem kepenjaraan nasional yang berbasis kepada perubahan perilaku para narapidana.

Upaya Perubahan

Maka sebenarnya, bagi para penghuni penjara, ketika momentum ramadhan tiba, apalagi sedang ada wabah corona yang melanda seperti saat ini, merupakan kesempatan untuk berbenah secara maksimal. Bukan saja karena keberkahannya, tetapi atmosfer ramadhan menghadirkan atmosfer kerinduan akan kebebasan yang teramat bagi narapidana terhadap keluarganya.

Bahkan perihal berbuka puasa bukan saja kegiatan makan biasa saja bagi mereka, ada gumpalan ingatan romantisme di setiap suapan makanan, baik tentang istri, anak maupun orangtua.

Maka bukan tidak mungkin pata narapidana di penjara akan menemukan titik balik perubahannya, karena didukung oleh kemauan untuk mendapatkan kebebasan akibat kerindua, serta sistem kepenjaraan yang bisa memfasilitasinya dengan baik.

Bahkan Allah SWT menyampaikan dalam Al-Qur’an yang artinya, “Kecuali mereka yang telah bertaubat, mengadakan perbaikan dan menjelaskan(nya). Mereka itulah yang Aku terima taubatnya, dan Akulah Yang Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang. – (Q.S Al-Baqarah: 160).

Jika Allah SWT Tuhan semesta alam pun masih bisa menerima taubat para pendosa asalkan mengadakan perbaikan, maka tidak menutup kemungkinan bagi narapidana untuk melakukan pemulihan hubungan, baik kepada Tuhan maupun sesama insan dengan upaya dan sistem yang ada. Mudah-mudahan ramadhan ini bisa menghasilkan alumnus-alumnus penjara yang benar-benar telah berubah dan berbenah.

Royyan Mahmuda Daulay, alumni UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Saat ini menjadi ASN di Kementerian Hukum dan HAM Republik Indonesia

Exit mobile version