Akhlak kepada Allah dan Rasul

Akhlak Kepada Allah dan Rasul

Mengutip dari buku Prof. Yunahar Ilyas, disebutkan bahwa akhlak manusia kepada Allah adalah diwujudkan melalui takwa. Takwa merupakan konsep konkret hubungan antara Sang Pencipta yakni Allah dengan manusia sebagai hamba-Nya. Hubungan tersebut bersifat hubungan aktif yang menimbulkan konsekuensi logis berupa hubungan manusia dengan sesama dan terhadap alam lingkungannya.

Dalam Ruh ad-Din al-Islam, ulama mendefinisikan takwa sebagai upaya manusia dalam menanamkan rasa takut terhadap hal-hal yang dimurkai Allah. Selain itu, takwa juga berfungsi sebagai benteng penjagaan atau proteksi diri dari azab Allah.

Berbicara mengenai takwa, disebutkan dalam surah al-Baqarah: 177 dengan istilah “al-birru” yang berarti kebaikan. Ayat tersebut mengandung empat komponen takwa, di antaranya; pertama, mengimani adanya Allah, hari kiamat, malaikat, kitab dan para nabi-Nya sebagai bentuk hubungan vertikal manusia kepada Allah. Kedua, berinfak atau bersedekah kepada kerabat, anak yatim, orang miskin, musafir, peminta-minta dan hamba sahaya sebagai bentuk hubungan horizontal manusia terhadap sesama. Ketiga, bentuk religiusitas seorang hamba yang diwujudkan dengan ibadah (melaksanakan salat, menunaikan zakat) serta amanah dalam menepati janji. Keempat, bersikap sabar dalam kemelaratan dan penderitaan sebagai bentuk mentalitas seseorang yang bertakwa. Dari ayat tersebut, dapat dipahami bahwa takwa adalah suatu integrasi hubungan antara iman (kepada Allah), Islam (bentuk ibadah mahdah) dan  ihsan (sosial kemasyarakatan).

Takwa ini juga disinggung dalam surah Ali-Imran: 102 yang mana Allah memerintahkan orang-orang mukmin supaya bertakwa dengan “sebenar-benar takwa”. Merujuk pada hadis masyhur Nabi, “bertakwalah kamu kepada Allah dimana saja kamu berada, dan ikutilah keburukan dengan kebaikan, niscaya kebaikan itu akan menghapusnya, dan pergaulilah manusia dengan akhlak yang baik”, dipahami bahwa maksud sebenar-benar takwa adalah suatu bentuk perilaku yang melampui dimensi ruang dan waktu, dengan kata lain bukan parsial (setengah-setengah). Sebagai contoh orang yang sholeh ketika di dalam masjid, namun rendah moralnya ketika berada di ruang publik belum dapat disebut dengan takwa yang sesungguhnya.

Identifikasi Takwa

Di antara perwujudan orang bertakwa adalah sebagaimana yang disebutkan dalam surah al-Anfal: 29 berupa “furqan”. Di era ketika kebenaran tidak lagi dikembalikan pada validitas wahyu melainkan justru disandarkan kepada nalar manusia, sangat diperlukan kecerdasan mental spritual, intelektual dan emosional untuk memilah antara haq dan yang batil. Dengan kata lain, orang bertakwa dengan kemampuan furqan-nya akan mampu mengambil posisi yang tepat dari berbagai persoalan ambigu.

Dalam surah al-A’raf: 96 disinggung pula bahwa makna takwa adalah suatu hal yang memunculkan keberkahan dalam arti kebermanfaatan bagi lingkungan. Ketika takwa sudah terinstal atau tertanam pada diri manusia, maka akan selalu didapati kemudahan, solusi dalam kehidupan dan tentunya ampunan terhadap dosa-dosa yang pernah dilakukan. Oleh karena itu, puncak keimanan kepada Allah adalah melalui ketakwaan.

Akhlak kepada Rasul

Bentuk akhlak kepada Rasul adalah mengimani terhadap seluruh apa yang terdapat pada diri Nabi Muhammad Saw. Nabi merupakan sosok yang hadir dari kalangan manusia, bukan malaikat. Sosok yang memiliki empati luar biasa terhadap kondisi umat manusia, sudah sepantasnya menjadi tauladan dan inspirasi. Cara sederhananya adalah merasakan keberadaan beliau dari dalam diri, sehingga ketika disebut nama Rasulullah sudah otomatis mengantarkan shalawat atasnya.

Allahumma shalli ‘ala Muhammad

Fithri Istiqomah, Pendidikan Ulama Tarjih Muhammadiyah

Exit mobile version