Sebutan Al-‘Alim kalau diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia adalah Yang Maha Tahu. Sebutan ini tergolong sering disebut dalam ayat-ayat Al-Qu’an. Barangkali penyebutan Al-‘Alim berkali-kali dalam ayat-ayat Al-Qu’an di atas adalah untuk melayani kecenderungan keingintahuan manusia. Lebih lanjut, barangkali, dengan penyebutan berkali-kali tersebut adalah untuk menegaskan betapa luas tak terkiranya ilmu Allah dan karena itu manusia didorong untuk menggali, menemukan, dan memanfaatkan ilmu untuk kemajuan hidupnya.
Menurut Muhammad Fuad Abdul Baqy, penyebutan kata Al-‘Alim dalam Al-Qur’an tak kurang dari 140 ayat (kali). Penyebutan sekian banyak tersebut dikaitkan dalam berbagai konteks masalah. Dalam tulisan pendek ini penulis akan mencuplik beberapa konteks masalah dan di situ diulang-ulang lebih lima kali (ayat). Pertama, Allah maha mendengar dan maha tahu (As-Sami’ Al-‘Alim, 31 kali), bahwa Allah selalu pasang telinga dan ilmu-Nya. Kedua, Allah maha tahu dan maha bijak (Al-‘Alim Al-Hakim, 19 kali), bahwa keluasan ilmu-Nya dan keagungan kebijakan-Nya adalah seiring.
Ketiga, Allah maha tahu terhadap segala sesuatu (bikulli syai’in ‘Alim, 16 kali), bahwa Allah tahu persis sedetail-detailnya apa saja yang menjadi makhluknya secara sempurna. Keempat, Allah maha tahu terhadap apa yang ada dalam dada manusia (‘Alim bi dzati ash-shudur, 12 kali), bahwa Allah sangat tahu apa yang terjadi isi dan gerak yang ada dalam hati manusia. Kelima, Allah maha luas rahmat-Nya dan maha tahu (wasi’un ‘Alim, 7 kali), bahwa Allah murah memberikan rahmat-Nya kepada seluruh makhluk-Nya dan tak pernah berkurang, apalagi kehabisan, kekayaan rahmat-Nya itu. Keenam, Allah maha perkasa dan maha tahu (al-‘aziz Al-‘Alim, 6 kali), bahwa kekuasaan dan keperkasaan-Nya adalah seiring dengan keluasan ilmu-Nya.
Sampai ujung uraian di atas dapat ditarik beberapa pemaknaan bagi kita umat manusia terhadap kenyataan kemahaluasan dan jenis keilmuan yang dimiliki Allah. Pertama, pembeberan kemahaluasan dan penerapan ilmu Allah paling tidak dalam 6 konteks di atas, mengingatkan bahwa hidup kita di dunia ini dari satu tempat ke tempat lain, dari satu waktu ke waktu yang lain, dari detik ke detiknya, diketahui secara seksama oleh Allah. Karena itu, kita tidak layak sembrono dalam berbuat apa saja, baik terang-terangan maupun berusaha menyembunyikannya.
Kedua, walaupun kita telah berhasil memiliki dan menguasai suatu bidang ilmu yang kita tekuni, hal itu masih terlalu kecil dibandingkan ilmu Allah yang mumpuni. Karena itu tak layak menyombongkan diri, baik di depan sesame manusia, apalagi di hadapan Allah. Wallahu a’lam bishshawab.
Mohammad Damami Zain, Dosen tetap UIN Suka Yogyakarta
Sumber: Majalah SM Edisi 4 Tahun 2018