Membangun Spiritualitas Kebangsaan
Oleh Prof DR H Haedar Nshir, MSi
Bangsa Indonesia masih menghadapi problem korupsi yang tinggi di tingkat nasional sampai daerah. Penyalahgunaan kekuasaan juga menjadi pemandangan umum, termasuk yang membawa nama golongan atau partai politik di kementerian maupun pemerintahan daerah. Sementara eksploitasi alam terus berlangsung yang dilakukan pihak domestik maupun asing yang memperoleh konsesi leluasa di negeri ini.
Jika kondisi ini tidak diberantas atau dilakukan pencegahan dan penindakan secara tegas, berani, dan sistemik maka hasil pembangunan yang dicapai pemerintah dan rakyat Indonesia tidak akan sebanding. Ibarat di satu pihak membangun tetapi dipihak lain merusak, maka beban negeri ini tetap berat. Karenanya harus menjadi itikad politik dan moral seluruh elite dan warga di tubuh bangsa ini untuk mengakhiri segala bentuk tindakan merusak alam, tanah air, dan negeri tercinta ini.
Selain diperlukan penegakkan sistem, kebijakan, dan aturan yang kokoh dan tegas, tentu diperlukan perubahan mental di tubuh elite dan warga bangsa agar bertindak yang bernar, baik, patut, dan bertanggungjawa. Sebaliknya menjauhkan diri dari segala perbuatan yang salah, buruk, tidak pantas, dan amoral agar Indonesia menjadi negeri yang Baldatun Thayyibatun Wa Rabbun Ghafur sebagaimana pesan Allah dalam Al-Quran. Di sinilah pentingnya spiritualisasi dalam kehidupan kebangsaan untuk seluruh kekuatan dan komponen bangsa, lebih dari sekadar membangun infrastruktur dan fisik bangsa belaka.
Peluruhan Nilai
Indonesia ketika didirikan oleh para pendiri bangsa ini 17 Agustus 1945 memiliki fondasi nilai filosofis-ideologis yang kuat, yang menyatu dengan jiwa dan cita-cita kemerdekaan itu sendiri. Dalam Pidato Soekano 1 Juni 1945, fondasi Negara dan Bangsa Indionesia itu disebut sebagai Philosofische Grondslag (dasar filosofis) yaitu “fondamen, filsafat, pikiran yang sedalam-dalamnya, jiwa, hasrat yang sedalam-dalamnya untuk di atasnya didirikan gedung Indonesia Merdeka yang kekal dan abadi. Dengan dasar filosofis Pancasila, maka negara dan bangsa Indonesia harus bertumpu di atas prinsip Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia, Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Indonesia juga harus menjadi negara dan bangsa yang maju, bersatu, adil, makmur, bermartabat, dan berdaulat. Sedangkan kewajiban utama Pemerintah Negara Indonesia adalah “melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.”
Dalam pandangan Muhammadiyah, harus diakui bahwa setelah hampir 73 tahun merdeka, Indonesia masih mengalami kejumudan (stagnasi), penyimpangan (deviasi), dan peluruhan (distorsi) dalam berbagai bidang kehidupan kebangsaan ditimbang dari semangat, pemikiran, dan cita-cita nasional yang diletakkan oleh para pendiri bangsa sebagaimana termaktub dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945. Meskipun terdapat banyak kemajuan, seperti dalam kehidupan demokrasi dan hak asasi manusia, tingkat pertumbuhan ekonomi, dan suasana kemajemukan bangsa yang terpelihara dengan baik, tak dapat dipungkiri masih banyak persoalan rumit dan mendesak yang harus segera diselesaikan. Di antara masalah yang cukup serius adalah korupsi yang masif, penegakan hukum yang lemah, kesenjangan sosial yang melebar, sumberdaya alam yang dieksploitasi dan dikuasai pihak asing, dan hal-hal lain yang berdampak luas pada kehidupan kebangsaan yang jauh dari cita-cita nasional.
Kehidupan kebangsaan kita masih diwarnai oleh krisis moral dan etika, disertai berbagai paradoks dan pengingkaran atas nilai-nilai keutamaan yang selama ini diakui sebagai nilai-nilai luhur budaya bangsa. Kenyataan ini ditunjukkan oleh perilaku elite dan warga masyarakat yang korup, konsumtif, hedonis, materialistik, suka menerabas, dan beragam tindakan menyimpang lainnya. Sementara itu proses pembodohan, kebohongan publik, kecurangan, pengaburan nilai, dan bentuk-bentuk kezaliman lainnya (tazlim) semakin merajalela di tengah usaha-usaha untuk mencerahkan (tanwir) kehidupan bangsa. Situasi paradoks dan konflik nilai tersebut menyebabkan masyarakat Indonesia kehilangan makna dalam banyak aspek kehidupan dan melemahkan sendi-sendi kehidupan bangsa dan negara.
Akibat lebih jauh dari masalah-masalah krusial dan kondisi paradoks itu, Indonesia semakin tertinggal dalam banyak hal dibandingkan dengan bangsa-bangsa lain. Indonesia telah banyak kehilangan peluang untuk berkembang menjadi bangsa atau negara yang berkemajuan. Jika permasalahan ini tidak memperoleh pemecahan yang sungguh-sungguh melalui upaya-upaya rekonstruksi yang bermakna, maka Indonesia berpotensi menjadi negara gagal, salah arah dalam menempuh perjalanan ke depan. Situasi demikian jelas bertentangan dengan makna dan cita-cita kemerdekaan.
Spiritualitas Berbangsa
Bahwa kehancuran suatu bangsa dan negara ialah karena keserakahan manusianya. Di tangan generasi yang mengidap virus serakah ala kaum Saba, Madyan, Qarun, Hamam, dan Fir’aun anugerah Tuhan yang luar biasa itu jadi hancur berantakan. Bumi, air, dan kekayaan yang terkandung di dalamnya dijarah habis-habisan oleh generasi baru Qarun, Hamam, dan Fir’aun. Para koruptor kelas hiu kekayaannya mengerikan dan bertebaran di mana-mana dengan jumlah yang tak terbilang. Pengusaha-pengusaha hitam baik domestik maupun asing yang serakah menguras habis-habisan tanah dan sumberdaya alam milik negeri. Para pemegang mandat kuasa pun sama hitam perangainya, lain di bibir lain pula tindakannya. Mereka jumlahnya kecil sekitar satu prosen tetapi menguasai mayoritas kekayaan alam dan penduduk negeri yang membawa kehancuran.
Para pembuat kerusakan di muka bumi itu selain serakah juga kebal hukum dan moral publik layaknya Qarun, Hamam, dan Fir’aun di masa lampau. Mereka haus kekayaan, kekuasaan, dan segala kedigdayaan duniawi nyaris tanpa batas. Mereka tak pernah berpikir panjang akan kelangsungan negeri dan generasi bangsa ini ke depan. Mereka hanya mengejar keuntungan sebesar-besarnya dan mengabdi pada kepentingan dirinya yang tak pernah merasa puas. Kolusi dan nepotisme pun tidak kalah marak dibanding masa lalu dalam bentuk politik dinasti. Mereka benar-benar mengidap penyakit kronis At-Takatsur sebagaimana firman Allah dalam Al-Qur’an: “Saling berbanyak-banyak telah melengahkan kamu, sampai kamu masuk ke liang kubur” (QS At-Takatsur: 1). Para Qarun, Hammam, dan Fir’aun generasi baru tidak akan pernah berhenti menumpuk-numpuk kekayaan dan kekuasaan sebesar-besarnya hingga ajal memutuskan dirinya. Mungkin nafsu angakaranya terbawa hingga ke kuburan.
Sikap at-takatsur sering menjadikan manusia yang semestinya menjadi khalifah yang menjaga dan mengurus bumi ini dengan baik, malah sebaliknya merusak. Celakanya, ketika merusak alam dan bumi semesta ini tidak sedikit manusia yang mengatasnamakan pembangunan. Mereka mengaku sedang membangun tetapi sesungguhnya merusak, sebaliknya ketika merusak atasnama membangun. Itulah paradoks kemunafikan manusia sebagaimana firman Allah dalam Al-Quran, yang artinya: “Dan bila dikatakan kepada mereka: “Janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi”. Mereka menjawab: “Sesungguhnya kami orang-orang yang mengadakan perbaikan” (QS Al-Baqarah: 11).
Ketika nafsu At-Takatsur memenuhi jiwa dan kesadaran diri para ponggawa negeri, pengusaha, elite, dan siapapun yang memilikinya maka sistem sebaik apapun akan terus digerogoti, dikorupsi, dan dieksploitasi. Bahkan pengadaan kitab suci dan tanah kuburan pun dengan tega dikorupsi. Padahal itu ranah suci dan ruhani menyangkut dunia kematian. Apalagi untuk benda-benda profan yang terbiasa dicuri dengan segala siasat dan manipulasi yang pongah. Akhirnya, negara Indoensia laksana Zamrut di Khatulistiwa pun hanya jadi ajang penjarahan yang penuh keserakahan dan suatu saat bisa tinggal puing-puing yang melahirkan sengsara bagi generasi bangsa ke depan.
Negara kepulauan Indonesia yang kayaraya dan dapat menjadi sumber kemakmuran akan sia-sia dan bahkan jatuh manakala virus keserakahan itu dimiliki para elite dan petinggi negeri dari pusat sampa daerah. Karena itu baik dalam konteks membangun Indonesia secara keseluruhan maupun membangun poros maritim, maka selain faktor-faktor struktural dan kebijakan yang harus dirancang-bangun secara benar dan tepat, tidak kalah pentingnya meluruskan perilaku para elite dan warga bangsa agar menjadi khalifah di muka bumi Indonesia yang benar-benar sidiq, amanah, tabligh, dan fathanah demi kemajuan Indonesia ke depan. Jauhi sikap merusak dan sewenang-wenang gaya kaum Saba dan Madyan yang lupa diri atau seperti perangai Qarun, Hammam, dan Firaun dalam sejarah Bani Israil.
Karenanya diperlukan spiritualitas iman dan taqwa yang terwujud dalam kesalihan perilaku di tubuh elite dan warga bangsa. Khusus dalam membangun negara kepulauan dengan kesadaran poros maritim, selain harus berangkat dari spirit cita-cita nasional 1945 dan Deklarasi Juanda 1957, pada saat yang sama secara etik dan teologis diperlukan sikap kekhalifahan untuk membangun atau memakmurkan seluruh bumi Indonesia sebagai negara kepualauan sekaligus harus dicegah perilaku “fasad fi al-ardl”. Suatu bangsa harus memiliki “roh” atau “jiwa”, kata Soepomo dalam pidato di BPUPKI tahun 1945. Dalam lagu Indonesia Raya disebutkan, “Bangunlah jiwanya, bangunlah raganya”. Di sinilah pentingnya spiritualitas kebangsaan yang harus menjiwai para elite dan warga bangsa.
Sumber: Majalah SM Edisi 18 Tahun 2018