Pembaruan Wawasan Al-Qur’an

Pembaruan Wawasan Al-Qur’an

Ketika kondisi masyarakat jahiliah semakin tidak karuan, Muhammad melakukan khalwat ke Gua Hira. Begitulah ritus penganut agama hanif ketika itu. Sosok al-amin diliputi resah gelisah, menjauh sementara dari kerumunan manusia. Berbagai pertanyaan bergelayut di benaknya. Muhammad yang terbiasa hidup sulit dan yatim piatu semenjak belia, memiliki kepekaan untuk peduli pada nasib sesama. Ketika sedang merenungkan kerusakan masyarakatnya, malaikat Jibril datang membawa kabar gembira.

Iqra! Perintah itu diulang tiga kali. Muhammad sempat ragu, pengalaman menerima wahyu pertama ini sama sekali tidak diduga. Sampai di rumah, sang istri tercinta Khatijah berusaha menenangkan hatinya dengan perkataan, “Sungguh, Allah tidak akan menghinakanmu. Sebab, engkau senantiasa menjalin silaturahim dan persaudaraan, berbicara jujur, bersedia menanggung beban, menolong orang yang papa, menjamu tamu, dan membantu orang yang membawa kebenaran.” (Mukhtashar Shahih Muslim, Juz I, hlm 25)

Menurut Nasr Hamid Abu Zayd (1993), wahyu pada mulanya turun untuk menjawab pertanyaan yang menjadi kegelisahan Muhammad. Al-‘Alaq dan Al-Mudatsir memperkenalkan pengirim pesan, menjelaskan relasi pengirim pesan dengan penerima pertama (Muhammad), dan relasi dengan manusia sebagai objek yang dituju oleh wahyu. Perintah memberi peringatan adalah dalam rangka menawarkan jawaban atas permasalahan, pertanyaan, kebingungan, dan kegelisahan manusia.

Muhammad menjadi penerima dan sekaligus penyampai perkataan yang berat (Qs Al-Muzammil: 5). Laku mulianya disebut sebagai Al-Qur’an berjalan. Muhammad merupakan bagian dari realitas masyarakat, yang diberi bekal kitab suci untuk mengeluarkan manusia dari kegelapan jahiliah menuju cahaya. Ja’far bin Abi Thalib, ketua rombongan hijrah ke Habsyah (Etiopia atau Abyssinia) untuk meminta perlindungan Raja Negus, menjabarkan makna jahiliah dan perubahan yang dibawa Muhammad;

“Wahai Raja, mulanya kami adalah bangsa yang tidak beradab, menyembah berhala, memakan bangkai, melakukan kezaliman, merusak hubungan keluarga, berburuk sangka terhadap tamu. Pihak yang kuat di antara kami memakan pihak yang lemah. Seperti itulah kondisi kami hingga Tuhan mengutus kepada kami seorang rasul yang keturunan, kebenaran, kejujuran, dan kebaikannya telah kami kenal […] Ia memerintahkan kami untuk berbicara benar, menepati janji, memelihara hubungan kekerabatan, menghormati tamu, serta menjauhi kejahatan dan pertumpahan darah. Ia melarang kami melakukan kezaliman, berkata bohong, memakan harta anak yatim, dan memfitnah wanita baik-baik.”

Setiap menerima wahyu, Nabi membaca dan menjelaskan maknanya. Membaca berulang seperti perintah wahyu pertama, sehingga masyarakat menjiwai nilai-nilai Qur’an untuk melakukan perubahan. Al-Qur’an meruntuhkan paham dan keyakinan jahiliah yang sangat mendewakan suku dan tradisi leluhur. Meskipun mengakui tentang Allah, mereka tidak mau meninggalkan ritual dan adat memuja berhala. Bahkan, paman yang senantiasa melindungi Nabi, Abu Thalib, tidak memeluk Islam karena alasan melestarikan warisan leluhur.

Inggrid Mattson (2013), menyatakan bahwa perlawanan masyarakat jahiliyah terhadap Islam adalah perlawanan terhadap ajaran etika dan eskatologi, yang menghadirkan pesan: manusia harus bertindak dalam kerangka moral ilahi dan semua itu menentukan konsekuensi akhir. Mereka menolak konsep hari kebangkitan, pertanggung jawaban moral, dan pengadilan setelah mati. Konsep ini menuntun pada hidup yang bermoral, adil, tidak curang, dan bertanggung jawab.

Kita semua harus memiliki bekal wawasan qur’ani. Kitab suci memiliki sisi-sisi yang tidak ada habisnya untuk dimaknai dan dijadikan inspirasi. Memahami konteks ruang sejarah dan sosial saat wahyu diturunkan menjadi landasan untuk memahami ajaran universal Al-Qur’an yang shalih likulli zaman wa makan. (ribas)

Sumber: Majalah SM Edisi 10 Tahun 2019

Exit mobile version