Berguru Kepada Pak Umar Kayam
Yogyakarta beruntung pernah dihadiri Dr Umar Kayam, priyayi Ngawi yang pernah menjadi Dirjen RTF termuda, Ketua DKJ lalu menclok di Pusat Studi Kebudayaan UGM mendinamisasi jagad seni dan budaya Yogyakarta. Pak Umar Kayam, demikian para sahabatnya menyebut dia, memang punya power untuk Itu. Dia bisa membuat abang ijone jagad seni budaya Yogyakarta. Punya legitimasi akademik dan aura kultural yang kalau di pewayangan mirip dengan Batara Narada.
Memang perawakan pak Umar Kayam mirip Narada, gemuk, glendam-glendem, suka makan enak, terutama jajan pasar dan jajan warung. Kantor dia punya langganan pengamen agak tua, pemain siter. Sambil makan jajanan pasar, telinga dan jiwa dihibur petikan siter. Wah, nglaras tenan. Staf kantor, tamu, para wartawan dan muridnya merasa nikmat hidup sebagai priyayi tulen. Kalau sudah bisa hidup nglaras seperti sudah mengalami mobilitas vertikal menjadi kaum priyayi, walau hanya priyayi cilik-cilikan.
Saya sebagai wartawan muda, selalu mengikuti kegiatan di kantor ini sejak awal. Sejak ada sarasehan atau diskusi budaya dan seni di hari Rabu dengan narasumber yang ‘wah’ di mata seniman dan wartawan. Hazim Amir, budayawan Malang, tokoh gerakan Dipo Kromo Dipo atau gerakan anti bahasa Kromo dan pro bahasa Ngokonya dia undang. Lalu penulis yang pernah bikin geger dengan bukunya Among the Bilieviers, bernama Naipaul, penulis Perancis kelahiran Afrika Utara, dan banyak peneliti dari Amerika diundang di forum ini. Meski bahasa Inggris saya belepotan tapi sebagai alumni ECC Kotagede saya berusaha menyimak sambil melirik ke Landung Simatupang. Kalau mulut dia siap ketawa karena pembicara melucu saya pun siap ketawa, biar disangka paham.
Oya, di kantor Pak Kayam banyak dosen muda yang jadi staf dia, sesuai dengan keahlian masing-masing. Ada Landung, ada Faruk HT, ada Kang Adaby Darban, Pak Bakdi Soemanto, dan Mas Joko. Lalu ada Pak Sabar dan Mbak Menik dan bagian belakang Pak anu saya lupa namanya.
Kabinet Kayam ini yang menyiapkan acara diskusi, ada yang mencatat dan menyiapkan ubarampe.
Pak Kayam yang punya kenalan banyak sekali yang mengatur jadwal narasumber atau pembicara diskusi.
Saya biasanya paling awal datang, agar tidak kehabisan tempat duduk. Kalau topik diskusi bisa disederhanakan menjadi judul berita biasanya saya tulis menjadi berita. Kalau topik terlalu tinggi melangit saya catat untuk suatu ketika saya kutip pada esai yang saya tulis.
Setelah berbulan-bulan diskusi hangat dan aktual dilakukan maka saya menangkap bahwa alat yang dia ajarkan kepada hadirin adalah membuat peta seni budaya, termasuk sastra dan teater yang senantiasa berubah dinamis. Maklum, zaman itu termasuk awal Orde Baru.
Selain hari ada acara diskusi, kantor ini cenderung sepi tetapi tidak sepi-sepi amat. Biasanya ada satu dua atau malah tiga seniman memerlukan mampir atau malah mereka kangsenan ketemu di kantor ini. Saya pernah kangsenan dengan Linus Suryadi untuk diajak menyembuhkan penyakit aneh saya ke tempat pendeta Buddha di Karangjati dan diberi teh untuk diminum. Saya juga ketemu penyair muda yang mau memrotes Linus yang waktu itu panitia FKY dan dinilai tidak melibatkan semua komunitas sastra.
Ada komunitas sastra yang diabaikan dan wakil mereka datang minta pertimbangan ke Faruk bagaimana baiknya. Kalau merasa perlu protes, ya, protes wae asal tertib. Maka hari berikutnya muncul di koran berita atau tulisan proteis yang ternyata susul menyusul. Panitia kewalahan sehingga protes mereka diakomodir. Juga ada penyair yang datang sebentar ternyata dia kangsenan dengan pacarnya. Itu kerja yang ringan dan tidak layak masuk koran.
Sebenarnya di kantor ini menjadi pusat penggodokan isu seni budaya yang lumayan penting. Misalnya ketika terjadi kelesuan di teater diusulkan ada temu teater, workshop, dan gagasan perlunya Galatama Teater. Muncul istilah orang teater harus gagah walau dana mepet.
Lalu di dunia sastra, pasca perginya Umbu Landu Paranggi ke Sumba kemudian ke Bali yang bergerak justru gerakan nb sastra menyebar di kampus-kampus misalnya di IKIP Negeri Karangmalang, di IKIP Muhamadiyah Sudika, di IAIN Sunan Kalijaga, di kampus Tamansiswa, di majalah Semangat, dan komunitas sastra berbasis koran seperti kelompok Insani harian Masa Kini dan kelompok Remaja Nasional, plus komunitas sastra berbasis Radio seperti yang berbasis di Radio Recobuntung, Arma Sebelas, Rasia Lima, dan lainnya. Kegiatan pengadilan puisi dilakukan keliling dan cukup membuat heboh disamping pertemuan rutin komunitas sastra berbasis koran tadi.
Oya, mungkin banyak yang belum mengenal Pak Umar Kayam era kampus UGM masih dihias barisan pohon Cemara Tujuh ini. Saat komunitas Malioboro berjaya, Pak Umar Kayam yang pejabat Jakarta sekali-sekali muncul di Yogyakarta, tidur di hotel Garuda dan memanggil Umbu untuk ngobrol. Sehabis dari pertemuan itu, konon wajah Presiden Malioboro itu sedikit segar dan saku baju bertengger rokok satu bungkus penuh.
Jadi gerakan sastra Malioboro tidak luput dari pantauan pak Kayam. Siapa yang aktif lesehan lalu jalan kaki semacam kirab atau ‘thowaf’ mengelilingi kota Yogya sepertinya juga dilaporkan ke pak Kayam. Buktinya, ketika beliau bertugas di UGM dan mendirikan kantor PSK para alumni Malioboro seperti tidak asing bagi pak Kayam. Suka diajak ngobrol dan berfikir serius tentang masa depan seni budaya di Yogyakarta.
Dalam mengajar dan menghajar para ‘murid’ pak Kayam suka berterus terang, bertindak langsung memberi contoh lewat perbuatan dan tulisan. Ia mengenalkan gaya baru dalam menulis cerpen yang tidak bertele-tele seperti cerpen dia yang dikumpulkan dalam buku Seribu Kunang Kunang di Manhattan. Saya berguru pada cerpen di buku untuk mencari nilai dramatik, ironik, dan kejutan pada ending cerpen.
Pak Umar Kayam juga memberi contoh bagaimana melakukan penelitian antropologis ketika meneliti komunitas pelukis tradisional di Kemasan Bali. Laporan penelitian dia jernih, enak dibaca.
Esai-esai atau kolom yang ditulis Pak Umar Kayam juga enak dibaca. Mampu menggali kedalaman masalah dengan lembut, kadang jenaka, dan setelah membaca ada jejak pencerahan di sana. Periode tahun-tahun terakhir kehidupannya, Pak Umar Kayam menulis kolom ringan di halaman depan KR seminggu sekali. Filosofi atau gaya berfikir serta bertutur Jawa dia kuasai. Dia menuliskan pikirannya dengan cara berkisah. Kisah hidup keluarga priyayi bersama pembantu setia yang kritis memicu perdebatan seru. Bagi yang pernah atau terbiasa dengan siaran Obrolan Pak Besutan akan mudah mengikuti gaya tulis Pak Kayam.
Selain khas dalam menulis, pak Kayam juga khas dalam memimpin. Yang dipimpin merasa tidak dipimpin, tahu tahu mengikut atau manut dengan apa dia kehendaki. Manajemen karsa pak Kayam perlu diacungi jempol. Paling tidak saya menyaksikan tiga momentum kepemimpinan dia yang lumayan asyik. Pertama, saat Pak Kayam memimpin diskusi budaya secara rutin. Pak Kayam menguasai masalah, mengenal kapasitas narasumber dan bisa mengukur harapan peserta diskusi. Jadi tidak pernah terjadi ‘kecelakaan’ diskusi, misalnya diskusi macet atau terlalu gaduh karena ada yang ngotot dengan pendapat dan egonya. Menurut bahasa Orde Baru, diskusi yang dia pimpin selalu terkendali, terukur dan aman.
Kepemimpinan Pak Umar Kayam dengan gaya Kayam tampak ketika memimpin Panitia Pasar Seni UGM untuk pertama kali. Pasar Seni harus sukses karena kegiatan rintisan. Dia jadi ketua, merancang, mengendalikan, mencari sumber dana dan memberikan arahan tentang penggunaan dana. Dia menunjuk koordinator kegiatan orang yang tepat untuk itu. Suharyoso dari Teater Gajah Mada dan menguasai manajemen pertunjukan dia tunjuk sent koordinator pertunjukan rakyat, Landung Simatupang dia tunjuk sebagai koordinator bazaar makanan tradisional atau makanan rakyat, Ahmad Fanani yang berpengalaman menyelenggarakan acara di kampus, acara Jamaah Shalahuddin, ditunjuk sebagai koordinator pameran kerajinan rakyat.
Seniman perupa yang dikenal sebagai pemberontak di ASRI ditunjuk membuat gapura dan desain Pasar Seni. Untuk publikasi, yang antara lain bertugas menerbitkan tabloid Pasar Seni ditunjuk Ahmad Lukman musikus rock dari grup Jaran Goyang. Saya terlibat intensif di pameran kerajinan rakyat dan di publikasi. Kalau pas memimpin rapat, pak Umar Kayam selalu thes thes thes, begini begitu transparan. Pak Umar Kayam sangat menguasai masalah, dari masalah konsep makro Pasar Seni sampai masalah detail teknis pelaksanaan masing masing orang dan bidang. Sampai mengatur komisi bagi pencari sponsor dia rumuskan.
“Untuk sponsor dalam DIY atau lokal komisi sepuluh persen. Untuk luar DIY atau sponsor kelas nasional komisinya duapuluh persen, setuju?” Katanya mantap. Tentu semua setuju. Dan sponsor pun banyak yang masuk termasuk dari Jakarta. Pak Umar Kayam memberi contoh bagaimana melobi pihak pengusaha besar, mencari sponsor kelas nasional Jakarta, dan dapat banyak.
Momentum kemimpinan kelas dewa (orang kemudian menyebut kepemimpinan model Narada) dia tunjukkan ketika mendapat tugas untuk membenahi kepengurusan Dewan Kesenian Yogyakarta (DKY). Dia memobilisasi dukungan simpul-simpul seni budaya Yogyakarta, dan diajak bertemu di Kepatihan. Saya datang lebih sebagai wartawan dan menyaksikan pertemuan itu sukses membentuk kepengurusan DKY yang definitif dan legitimate. Sehabis pertemuan, saya bersama wartawan lain menyalami Pak Umar Kayam yang sukses menjadi sutradara yang bisa menerjemahkan skenario tepat, tidak meleset. “Saya bukan sutradara, saya hanya tukang jahit, menjahit kepentingan seniman budayawan Yogya,” kata Pak Kayam merendah. (Mustofa W Hasyim)