Agar Tak ‘Gagal Move On’
Oleh: Salahudin
Banyak sekali orang yang suka menggunakan istilah “gagal move on” dalam berkelakar sehari-hari. Istilah ini merujuk kepada mereka yang terus terpaku pada masa lalunya, dan sulit untuk menerima perubahan baru yang dihadapi saat ini. Situasi ini bisa dialami baik oleh tua maupun muda.
Meskipun istilah ini digunakan dalam kelakar harian, bisa jadi sebenarnya situasi ini mengandung banyak kebenaran. Selain itu mengakibatkan konsekuensi yang tidak kecil bagi yang mengalaminya. Sekarang, apakah kita termasuk orang yang mudah untuk move on? Menerima situasi baru, atasan baru, lingkungan baru, peraturan baru?
Mengapa orang sering terbelenggu dengan kebiasaan lama, seolah-olah kapasitas untuk belajar dan mempelajari situasi baru demikian alot? Seorang psikolog Carol Dweck melakukan riset selama beberapa tahun dan mengidentifikasi 2 jenis mindset yang mendasari sukses tidaknya seseorang dalam menghadapi tantangan.
Yang pertama adalah fixed mindset, di mana seseorang lebih percaya bahwa kualitas-kualitas pribadi yang mendasar, seperti kecerdasan dan bakat adalah sesuatu hal yang tidak bisa diubah.
“Memang dasarnya saya tidak bisa, ya saya terima saja” demikian biasanya si individu mengatakan pada dirinya sendiri. Biasanya individu seperti ini tidak henti-hentinya mengkaji apa kekuatannya, namun lupa bahwa dengan upaya keras, kelemahannya akan bisa diatasi. Dengan sendirinya, individu seperti ini tidak meyakini kekuatan upayanya.
Sementara individu lain dengan growth mindset, melihat bahwa kelemahannya saat ini merupakan potensi yang masih terpendam yang masih harus digarap. Inteligensi dan bakat dianggap sebagai modal yang masih harus dikembangkan sementara kegagalan dianggap hanya sebagai salah satu langkah salah dalam mencapai tujuan sehingga ia harus mencari cara lain untuk mencapainya.
Orang seperti ini sangat haus belajar dan kuat melenting dalam kegagalan. Bila memang growth mindset ini demikian menguntungkannya, mengapa orang sering tidak memilih mindset ini? Apakah karena individu tidak menyadarinya? Atau mungkin mereka sadar, tetapi tidak mampu mengontrol diri untuk menjaga mindset berkembang ini?
“Mindset”, akar perilaku
Ada beberapa keyakinan yang tumbuh menyatu di dalam benak individu yang mempengaruhi keputusan individu dalam bersikap, memilih tindakan, dan kemudian berpendapat tentang diri sendiri dan dunia sekitarnya. Kumpulan keyakinan ini begitu dominan, sampai juga bisa menyaring informasi yang masuk.
Alhasil kita mendengar apa yang ingin kita dengar, menentukan arah tindakan dan reaksi kita, yang cocok dengan keyakinan yang sudah ada. Keyakinan yang fixed menyaring informasi baru yang masuk, memilah-milah dan menerima apa yang selama ini sudah kita pahami. Dalam dunia yang terus berubah seperti ini, mindset demikian tidak menguntungkan.
Cepatnya perkembangan teknologi dan informasi sudah tidak memungkinkan kita berdiam diri, apa lagi sekedar menghadap ke masa lalu. Karena itulah kita perlu meninjau kembali mindset dan mempertanyakan kembali apakah mindset yang kita miliki ini masih cocok dalam situasi sekarang. Ini tentunya tidak gampang , namun bisa dilakukan dengan upaya yang sangat keras.
Berbicara pada diri sendiri
Orang yang paling dekat dengan diri kita sebenarnya adalah diri kita sendiri. Ada orang yang menyadari tentang suara hatinya, ada yang tidak mau mendengar kecamuk dan pertikaian alias konflik di dalam dirinya, dan ada yang sama sekali bebal tidak mendengarkan dirinya.
Kita tidak bisa memulai bebenah mindset bila kita tidak berusaha mendalami keyakinan-keyakinan lama kita. Dalam dunia pekerjaan, keyakinan-keyakinan seperti kecerdasan, bakat, upaya, dinamika organisasi dan keadaan politik adalah contoh dari beberapa hal yang perlu kita tinjau kembali karena memang mempengaruhi reaksi kita.
Kita perlu berani mengganti keyakinan yang sudah tidak sesuai dengan jaman lagi, dan belajar mengembangkan keyakinan baru. Keyakinan seperti ”everybody sells”, “mobile office”, “bekerja “, “matrix organization”, “flat organization” perlu kita jejalkan dalam diri kita dalam bentuk kalimat-kalimat indoktrinasi diri yang diulang-ulang, sehingga akhirnya, dengan sendirinya kita terpengaruh.
Pada saat inilah kita akan merasa bahwa mindset kita mulai bergerak. Dialog-dialog positif yang kita lakukan membuat kita mengevaluasi pengalaman masa lalu kita, mencari tahu apa yang berhasil dan tidak berhasil serta menjadikan umpan balik, bahkan sumber kekuatan untuk bounce back dari kegagalan.
Menjaga “growth’ mindset”
Ada kalanya kita memang perlu menghindari orang-orang yang terlalu banyak mengeluh, senantiasa berfikiran negatif dan pesimistis. Bukannya kita tidak mau mendengar informasi mengenai kenyataan buruk dan realistis, namun kita juga perlu mencari sisi positif dari setiap situasi.
Kita perlu menganalisa upaya apa yang sudah dilakukan untuk menanggulangi beragam masalah seperti misalnya kriminalitas, bencana alam, ancaman banjir dan permainan politik yang tidak kunjung selesai, ketimbang hanya berkomentar negatif pada usaha yang belum membawa hasil yang diinginkan.
Kita pun bisa mencari tokoh yang berkata baik, berpraktik baik, sebagai panutan bagaimana mereka melakukan problem solving dan mejaga staminanya. Membaca biografi mereka pastinya akan membuka dan mengubah mindset kita karena kita sadar tidak ada satupun di antara orang hebat tersebut yang tidak pernah mengalami kesulitan maupun kegagalan. “Great men are not born great, they grow great,” kata Mario Puzo.
Salahudin, Aktivis Muhammadiyah / Dosen dan Bankir