Para “‘Aisyah” di Tanah Paman Sam
Oleh: Aditya Pratama
Setidaknya, tiga tahun belakangan ini publik dunia ada kejutan baru dalam kontestasi politik di Amerika Serikat. Betapa tidak, Pemilu Amerika Serikat pada 2016 yang berlangsung di “godfather”nya demokrasi modern itu justru menahbiskan Donald Trump sebagai Presiden. Sosok kontroversial yang oleh sebagian warga dunia dianggap brutal terhadap humanisme. Bermodalkan jargon “Make America Great Again” dan bersenjatakan “I think Islam hates us”, Trump berhasil mendulang suara hampir 54 juta pemilih di Amerika Serikat.
Sebagaimana demagog-Islamofobis lainnya, Trump memang menjadikan Islam sebagai musuh bersama, dan itu, menurut Khaled Beydoun—seorang profesor dalam bidah hukum di Detroit University—adalah lebih dari sekadar pesan pemilu belaka, melainkan strategi untuk memenangi pemilu (Anthony Zurcher, “What Trump team has said about Islam,” BBC 7/2/17) dan fondasi untuk merumuskan kebijakan Islamofobis lainnya, seperti larangan bepergian yang muncul hanya beberapa hari setelah Trump bertakhta (Alexia Underwood, “What Most American Get Wrong about Islamophobia,” Vox, 6/4/2018). Meski perlu diingat bahwa administrasi pemerintah Amerika Serikat memang sudah beberapa dekade memerangi Islam, termasuk George W Bush Jr. dan Barack Obama.
Kebijakan fear-mongering seperti itu, tentu saja berdampak negatif terhadap Muslim di Amerika Serikat. Dampak negatif itu salah satunya berwujud hate crime. Katayoun Kishi—peneliti Pew Research Center—dalam tulisannya yang bertajuk “Assault Against Muslims in US Surpass 2011 Level” (2017), juga mencatat bahwa hate crime di Amerika Serikat meloncak hingga mencapai 127 kasus pada 2016. Jumlah itu bahkan melampaui yang pernah terjadi pada 2001, pasca ambruknya World Trade Center. Selain itu, dalam surveinya, ditemukan bahwa 50% Muslim Amerika belakangan ini merasa sulit untuk menjadi Muslim di Amerika Serikat. Sedangan berdasarkan survei Pew Research Center, penduduk Muslim di Amerika pada 2017 sudah mencapai sekitar 3,45 juta jiwa (“New estimates show U.S. Muslim population continues to grow,” 2018). Artinya, setidaknya sekitar 1,5 juta Muslim di Amerika merasakan getirnya hate crime di negeri Paman Sam itu, yakni negeri yang kerap dielu-elukan—jika bukan mengklaim diri—sebagai salah satu yang terdepan dalam memperjuangkan humanisme.
Namun dibalik itu juag ada kenyataan lain di sana. Islam justru mampu terus bernafas di Amerika Serikat, dan itu ditunjukkan dengan semakin bertumbuhnya populasi Muslim di Amerika Serikat. Dalam tulisannya yang bertajuk “The Share of Americans who Leave Islam is Offset by Those Who Become Muslim” (2018), Peneliti Pew Research Center, Besheer Mohamed dan Elizabeth Podrebarac Sciupac mendapati bahwa jumlah populasi Muslim di Amerika Serikat bertambah 100.000 jiwa setiap tahunnya. Fakta itu seakan memperkuat temuan Sherwood bahwa 23% Muslim Amerika adalah mualaf, dan pada 2060 70% penduduk dunia adalah Muslim (“Religion: why faith is becoming more and more popular,” The Guardian, 27/8/2018). Pertumbuhan populasi Muslim Islam di Amerika itu tak lain disebabkan oleh membanjirnya mualaf dan imigran Muslim yang datang dari berbagai belahan dunia. Tren serupa sebetulnya dapat disaksikan pula di Eropa.
Meski minoritas, imigran Muslim ternyata juga dapat berbuat banyak untuk negaranya. Itu, misalnya, dibuktikan dengan kemenangan dua “’Aisyah” dalam Pemilu Legislatif Amerika pada 2018 kemarin, yakni Rashida Tlaib dan Ilhan Omar (masing-masing berasal dari Negara Bagian Michigan dan Minnesota). Lahir pada Juli 1976, Rashida Tlaib (42) adalah putri keluarga imigran asal Palestina. Pernah bekerja sebagai pekerja sosial, pada 2004 Rashida memulai karier politiknya dengan magang pada salah satu wakil rakyat di lembaga legislatif (atau sebutan bekennya, DPRD) Negara Bagian Michigan. Kerja itu ternyata membuka pintu baginya untuk menjadi wakil rakyat di DPRD Negara Bagian Michigan pada 2010 dan 2012. Ia menjadi salah satu dari 10 wakil rakyat berlatarbelakang Muslim yang pernah menjabat di DPRD di berbagai negara bagian di Amerika Serikat, sekaligus menjadi wakil rakyat keturunan Palestina pertama yang berhasil melenggang ke DPR Amerika Serikat.
Berbekal program Medicare for All dan peningkatan kesejahteraan pekerja, ia berhasil mengantongi 27.803 (31,2%) suara dalam Pemilu Legislatif Amerika 2018 untuk mewakli Michigan. Sejak menjabat, ia kerap membela rakyat Palestina sekaligus mendukung program Divestment, Boycott, and Sanction terhadap Israel.
“’Aisyah” kedua dalam Pemilu Legislatif Amerika pada 2018 adalah Ilhan Omar (37). Beda dari Rashida yang merupakan imigran asal Palestina, Ilhan Omar adalah putri keluarga imigran asal Somalia yang menginjak Tanah Paman Sam sejak 1995, akibat berkecamuknya Perang Sipil Somalia. Lahir pada Oktober 1981, sejak kecil keluarganya telah banyak menanamkan nilai-nilai demokrasi. Memulai kariernya sebagai pendidik dalam bidang nutrisi University of Minnesota, pada 2012 ia banting setir ke ranah politik dan pembela hak perempuan hingga akhirnya terpilih sebagai wakil rakyat di DPR Negara Bagian Minnesota pada 2016. Mendukung program Medicare for All dan peningkatan kesejahteraan pekerja—sebagaimana juga Rashida Tlaib—pada Pemilihan Legislatif Amerika 2018 ia berhasil mengantongi 78% suara dan menyingkirkan lawannya, politisi Republikan Jennifer Zielinski. Alhasil, Ilhan menjadi perempuan Somalia-Amerika pertama yang berhasil melenggang ke DPR Amerika Serikat. Sebelumnya, ada Keith Ellison sebagai congressman Muslim pertama, yang menjabat dari 2007–2019. Seperti halnya Ilhan, Keith Ellison juga melaju sebagai wakil Minnesota.
Kedua “’Aisyah” di atas sebetulnya sama-sama menyuarakan kritik keras soal kebijakan Islamofobis Donald Trump, sembari mengutuk Zionisme dan menggaugkan program Divestment, Boycott, and Sanction terhadap Israel, yang mereka pandang dapat melumpuhkan ekonomi negara Zionis tersebut. Akibatnya, keduanya kerap pula dikiritik dan, bahkan, dihuat oleh sebagian publik dan media Amerika lantaran bersikap, dan menyebarkan ide, anti-Semitisme. Selain itu, kedua “’Aisyah” itu juga dikenal sebagai feminis kelas wahid, yang agendanya adalah memperjuangkan hak dan peri kehidupan perempuan di Amerika Serikat. Tak kalah menariknya, sebagai hijaber, Ilhan Omar ternyata pernah menjadi korban hate crime. Ia mengaku pernah kerap dirundung karena hijabnya. Namun, sebagai minoritas ganda dalam masyarakat mayoritas Kristen—yakni perempuan berkulit hitam dan Muslim—ia tak gentar, dan meski sekarang menjabat sebagai congresswoman, ia tetap istiqomah berhijab.
Perlu diketahui, tren melajunya wakil rakyat Demokrat dari kalangan Muslim—seperti Rashida Tlaib dan Ilhan Omar—ternyata didorong oleh kesadaran bahwa berpolitik dalam pemilu adalah salah satu cara penting yang harus digunakan oleh Muslim di Barat untuk menepis Islamofobia. Dampaknya adalah, sebagian Muslim di Dunia Barat pun kini semakin dekat dengan demokrasi. (“Islamophobia prompts Muslims to Engage in US Democracy,” Aljazeera, 4/5/2018).
Aditya Pratama, Peminat kajian humaniora
Sumber: Majalah SM Edisi 6 Tahun 2019