Sepeda dan Muhammadiyah dalam Lintasan Sejarah
Muhammad Yuanda Zara
Bersepeda di jalan raya pada masa kini merupakan sebuah aktivitas yang menyenangkan, tapi pada saat yang sama juga membahayakan. Bersepeda memberikan orang kesempatan untuk bergerak dengan santai diiringi oleh terpaan angin yang sejuk. Namun, di sisi lain, jalan raya telah dikuasai oleh sepeda motor dan mobil. Alhasil, pengendara sepeda—yang dianggap lamban—kerap kesulitan untuk melaju dengan lancar. Tidak sedikit pengendara sepeda yang tertabrak kendaraan bermotor. Padahal, di masa lalu sepedalah yang mendominasi jalanan. Bahkan, pada masa dahulu ada masa-masa ketika sepeda memainkan peranan penting dalam sejarah persyarikatan Muhammadiyah.
Walau kapan pertama kali kendaraan roda dua yang digerakkan oleh kaki pengendaranya ini persisnya ditemukan, namun banyak pengamat sepakat bahwa versi awal dari sepeda yang kita kenal sekarang lahir di Jerman di awal abad ke-19. Dari Jerman, penggunaan sepeda, yang kala itu disebut velocipede, menyebar ke negara-negara Eropa lainnya serta daratan Amerika. Belanda memperkenalkan sepeda kepada negeri jajahannya, Hindia Belanda, terutama sejak awal abad ke-20.
Mulanya, sepeda hanya dipakai oleh kalangan terbatas. Di antara mereka ada kalangan militer Hindia Belanda, yang memakai alat beroda ini untuk melakukan patroli. Selain mereka, pengendara sepeda lainnya di masa itu adalah para priyayi, keluarga bangsawan serta misionaris. Karena harganya yang sangat mahal, memakai sepeda belumlah lazim. Tidak semua orang mampu membelinya.
Tapi, perekonomian Hindia Belanda lumayan membaik pada masa interbellum (periode antar-Perang Dunia I dan II, jadi sekitar 1918-1939). Penjualan sepeda lebih laris dari masa sebelumnya. Produsen sepeda asal Eropa menjual sepeda mereka di kota-kota besar di Jawa, Sumatera, Kalimantan dan Sulawesi. Era 1930an dipandang oleh para pengamat sebagai era emas sepeda di Indonesia.
Di tengah masa interbellum itu pula kita bisa melihat kehadiran sepeda di dalam sejarah perkembangan Muhammadiyah. Berdasarkan catatan tertulis yang tersedia, sepeda mulai mewarnai Muhammadiyah sejak tahun 1924. Pada 28 Maret-1 April 1924 di Yogyakarta diadakan Kongres Muhammaadiyah ke-13. Kongres ini diramaikan oleh utusan dari berbagai kota besar dan kecil di Jawa, memperlihatkan jangkauan Muhammadiyah yang sudah cukup jauh di dekade-dekade awalnya.
Kegiatan utama kongres adalah vergadering atau rapat umum. Tapi ada juga aktivitas hiburan, yang dipusatkan di alun-alun pada hari Minggu, 30 Maret 1924. Salah satu kegiatan yang menarik minat banyak penonton adalah unjuk kebolehan anak-anak Hizbul Wathan Solo dan Yogyakarta serta Padvinder Mangkunegaran dalam “Main Fit”. Kemungkinan yang dimaksud “Main Fit” di sini adalah kepandaian mengendarai sepeda. Dalam kosa kata Jawa, “pit” dikenal sebagai “sepeda”, dan berasal dari kata bahasa Belanda, “fiets”. Dalam konteks ini, kata “fiets” bertransformasi menjadi “fit” lalu “pit”.
Dari kisah di atas diketahui bahwa anak-anak muda Muhammadiyah sudah mulai mengenal sepeda sejak era 1920an. Menaiki sepeda adalah simbol modernitas di zamannya. Namun, tidak semua orang bisa bersepeda karena diperlukan teknik tertentu untuk menaiki, mengendarai, mengarahkan dan pada akhirnya mengerem sepeda. Maka, menampilkan kebolehan membawa sepeda merupakan sebuah hiburan yang mengasyikkan bagi kebanyakan masyarakat biasa di zaman itu.
Warga Muhammadiyah tidak hanya memanfaatkan sepeda sebagai sarana hiburan. Bila di masa sekarang para guru agama Muhammadiyah menjalankan tugasnya dengan sepeda motor dan mobil, maka di masa lalu sepeda adalah andalan mereka. Pada tahun 1928, di antara warga Muhammadiyah Yogyakarta muncul istilah “tablegh dengan fiets” (berdakwah dengan sepeda). Kala itu, ada beberapa pilihan transportasi jarak menengah bagi penduduk Yogyakarta, yakni menyewa kendaraan atau naik spoor (kereta). Tapi, demi hemat dan meringkas waktu perjalanan, para “guru-guru tablegh” Muhammadiyah memutuskan menggunakan sepeda. Mengingat arti penting sepeda untuk menjangkau berbagai penjuru kota ini, Muhammadiyah bagian Tabligh sampai membuat rapat khusus dengan para dermawan untuk menyelenggarakan apa yang dikenal sebagai “derma fiets”. Dana dari para dermawan itu kemudian dipakai untuk membeli lima buah sepeda.
Dalam kongres seperempat abad Muhammadiyah di Betawi (Jakarta) tahun 1936, sepeda bahkan merupakan salah satu sarana transportasi terpenting bagi para peserta kongres, baik bagi mereka yang ada di daerah sekitar Betawi maupun dari daerah-daerah di Jawa Barat dan Jawa Tengah. Panitia kongres menyediakan sebuah panduan khusus bagi mereka yang mendatangi arena kongres dengan menggowes kereta angin ini.
Mereka diharapkan untuk datang berombongan dengan dipimpin oleh seorang leider (pemimpin rombongan). Leider ini yang nanti akan menentukan bagaimana barisan sepeda itu diatur, bagaimana teknis untuk mendahului sepeda di depan, di mana mereka berhenti untuk istirahat, keamanan selama perjalanan dan sebagainya. Rombongan ini kala itu dikenal sebagai “angkatan bersepeda ke Congres”, suatu istilah yang mencerminkan jumlah pesepeda yang besar namun tetap bergerak dengan penuh kedisiplinan.
Salah satu musuh utama pengendara sepeda adalah ban yang bocor di tengah jalan. Bagaimana bila ini terjadi dalam perjalanan menuju kongres? Panitia kongres tahun 1936 mengingatkan apabila ada peserta kongres yang bannya pecah, maka ia hendaknya ditolong oleh sedikitnya tiga rekan perjalanannya yang lain. Sisa rombongan diminta untuk melanjutkan perjalanan, tapi maksimal hanya sejauh 3 km. Setelah berjalan 3 km, mereka diharapkan berhenti agar menunggu pengendara yang bannya bocor tadi. Demikian pula bila ada pesepeda yang sakit, diharapkan agar rekan-rekan seperjalanan yang lain segera membantunya.
Bagaimana bagi mereka yang bersepeda dari daerah yang jauh dari Betawi? Panitia kongres memberi instruksi pada cabang dan grup Muhammadiyah yang ada di berbagai kota di Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur untuk menjadi “post” atau tempat pemberhentian dan menginap sementara bagi para pesepeda ini. Pos-pos tersebut antara lain ada di Serang, Bogor, Tasikmalaya, Bandung, Kebumen, Semarang, Sampang dan Surabaya.
Selama sebelum, saat dan setelah kongres di Betawi itu berlangsung, diharapkan agar cabang dan grup Muhammadiyah yang menjadi pos persinggahan ini untuk menyediakan berbagai rupa-rupa perlengkapan untuk para pesepeda ini, mulai dari tikar, bantal, air, lampu, pompa dan perkakas penunjang lainnya. Dengan segala macam perencanaan dan persiapan ini, diharapkan agar para peserta kongres yang datang jauh-jauh dengan sepeda ini bisa menempuh perjalanan yang jauh itu dengan aman, nyaman, dan selamat sampai di tujuan.
Tapi bersepeda bukan hanya urusan menggerakkan kaki dan tangan. Perjalanan membutuhkan ketenangan dan penyerahan diri. Untuk memotivasi para pesepeda itu, panitia kongres menyampaikan satu pesan yang patut diingat selama perjalanan mengendarai sepeda: “Sabar dan tawakkal serta loeas berfikir, itoelah sendjata jang paling tadjam dan oetama”.
Muhammad Yuanda Zara, Dosen Ilmu Sejarah Universitas Negeri Yogyakarta
Sumber: Majalah SM Edisi 11 Tahun 2019